Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Seniman dan warga Desa Jepalo di Kabupaten Pati membuat gamelan dari limbah kaca.
Limbah kaca dijadikan alat musik yang unik dengan proses pembuatan yang menantang.
Kaca dibakar dalam suhu tinggi untuk mendapatkan bentuk dan suara yang diinginkan.
JALAN kampung di Dukuh Dombyang, Desa Jepalo, Kecamatan Gunungwungkal, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, pada Ahad petang, 15 September 2024, mulai ramai. Sejumlah warga sibuk menyiapkan puncak Festival Muria Raya Ke-4 yang sedang digelar. Ada yang menata panggung dan menyapu halaman lokasi acara. Beberapa orang terlihat berdandan untuk bersiap tampil di pentas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selepas isya, suara selawatan menggema dari surau di seberang panggung seusai acara peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Warga mulai berdatangan. Mereka memenuhi sisi kiri-kanan jalan desa sambil menunggu peserta arak-arakan. Malam itu adalah puncak acara festival. Rombongan pemusik terbang Jawa dan pemain pencak silat gong cik, kelompok kesenian khas desa itu, memeriahkan arak-arakan. Yang istimewa, para peserta arak-arakan membawa seperangkat gamelan yang terbuat dari kaca. Mereka menamainya Gatotkaca, gamelan yang terbuat penuh dari kaca. Arak-arakan itu membopong Gatotkaca berkeliling kampung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sesampai di depan panggung, sebuah upacara kecil dilaksanakan. Gatotkaca dijamas atau dimandikan dengan air dari tujuh sumber. “Malam ini kita semua menjadi saksi lahirnya Gatotkaca di Dukuh Dombyang dan pengrawit Nyai Murbeng Lungit atau ibu sang pembawa amanah,” kata Adid Rafael Aris Husaini, Ketua Pelaksana Festival Muria Ke-4.
Panggung sederhana berhias daun-daun kering di bagian atas dan latar. Ada juga pohon jagung dan serangkaian bambu di sisi panggung, Segeralah tampil ibu-ibu pengrawit yang diberi nama Nyai Murbeng Lungit memainkan gamelan kaca. Duduk bersila, di hadapan perangkat gamelan kaca, para penampil memukul gamelan dengan hati-hati membawakan komposisi yang diciptakan Brian Trinanda K. Adi. Ia tengah menempuh pendidikan doktoral di Universiteit van Amsterdam, Belanda.
Setelah itu, giliran kelompok remaja siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Gunungwungkal dan Song Meri tampil memainkan gamelan kaca. Suara gamelan yang dimainkan nyaris sama dengan suara yang terdengar dari gamelan logam. Tiga komposisi mereka mainkan malam itu. Penonton cukup antusias melihat sang “Gatotkaca”. Selepas Gatotkaca tampil, beberapa pertunjukan lain mengisi panggung.
Gemelan total kaca atau Gatot Kaca dijamas ketika Festival Muria Raya di Desa Jepalo,, Gunungwungkal, Pati, Jawa Tengah, 15 September 2024. Tempo/Jamal Abdun Nashr
Pusat perhatian acara malam itu adalah Gatotkaca, gamelan yang dibuat warga setempat dengan pendampingan seniman penggagasnya, Muhammad Sulthoni, yang akrab dipanggil Konde. Gamelan ini baik rancak maupun bilahnya terbuat dari kaca. Karena itu, mereka menyebutnya gamelan total kaca. “Proses pembuatan satu set Gatotkaca sekitar dua bulan,” ujar Konde kepada Tempo.
Konde mengatakan mulai membuat gamelan kaca pada 2015. Awalnya dia menemukan banyak sampah kaca. Selama ini dia senantiasa memanfaatkan sampah dan limbah sebagai bahan membuat karyanya. Dia juga membuat wayang berbahan sampah. “Dulu membuat wayang sampah, akhirnya ada ide wayang sampah itu musiknya dari sampah. Saya nemu sampah kaca, akhirnya membuat gamelan kaca,” tuturnya.
Sebelumnya, Konde membuat gamelan kaca di berbagai tempat. Di antaranya Pacitan, Jawa Timur, dan Karanganyar, Jawa Tengah, serta Yogyakarta. Tapi gamelan kaca ini tidak sepenuhnya berbahan kaca. Hanya bilahnya berbahan kaca, sementara rancaknya terbuat dari kayu seperti gamelan pada umumnya. Karena itu, ia bereksperimen membuat gamelan berbahan full kaca.
Bersama tim festival, tim produksi gamelan kaca belajar kepada seniman kaca di Cirebon, Jawa Barat, pada April 2024. Mereka belajar membentuk kaca yang datar menjadi cembung, juga membuat gamelan dengan tungku pemanas. Dari sanalah kemudian mereka membuat gamelan kaca sejak Juli 2024, termasuk tungku seniman Cirebon. Hasil percobaan pertama tak cukup baik.
“Secara keamanan tidak bisa menjamin. Kami rombak total,” tutur anggota tim produksi Gatotkaca, Arif Acong. Kali ini, dengan alasan keamanan, mereka melibatkan warga. Setelah merombak tungku pemanas, mereka masih berjibaku menentukan alat cetak gamelan. Sejumlah bahan dicoba untuk dijadikan cetakan, seperti gipsum, semen isolasi, dan keramik. Semuanya gagal. Bahan kacanya meleleh, meledak, atau lengket dengan cetakan. Hasil proses yang gagal tersebut dipamerkan dalam Festival Muria Raya. “Kami perlihatkan kegagalan prosesnya,” ujarnya.
Arif menyebutkan pembuatan gamelan kaca memakan waktu 12 jam. Proses tersebut bermula dari pembakaran hingga mengembalikan lagi kaca ke suhu normal. “Proses pembakaran suhu tertinggi 850 derajat untuk kaca setebal 1,2 sentimeter,” katanya. Hasilnya berupa gamelan berbilah tiga berbentuk melengkung. Sebagian bilah gamelan juga mempunyai cembungan di tengahnya. Sementara itu, rancak gamelan yang juga berbahan kaca berbentuk persegi panjang. Selama dua bulan proses itu, dibuatlah 15 gamelan kaca yang kemudian dipentaskan di puncak acara festival.
Gamelan kaca Gatotkaca bergaya Monggang. Gamelan ini memiliki tiga nada. Monggang merupakan gaya gamelan tertua dalam Lokananta, selain Kemanak. “Ini inovasi gamelan kaca berpencu. Kami mulai dari tiga. Murio Mung Tigo inspirasinya dari Monggang,” ucap Ketua Yayasan Festival Muria Raya, Brian Trinanda K. Adi.
Brian mengatakan ide membuat gamelan kaca tersebut muncul sejak Festival Muria Raya tahun lalu. Saat itu dia berseloroh kepada Konde untuk membuat gamelan berbahan kaca total. “Tahun depan festival gamelan kaca. Ternyata menjadi doa,” tuturnya.
Brian mengungkapkan, Festival Muria Raya yang telah memasuki tahun keempat merupakan bentuk kerinduan terhadap gotong-royong. Perhelatan sebelumnya belum mendapat dukungan dari Dana Indonesiana. Festival digelar dengan gotong-royong warga.
“Kami tidak meminta. Kami mengajak warga menyumbang,” katanya. Warga memberi barang, jasa, hingga fasilitas untuk festival. Di antaranya kaca untuk pembuatan gamelan. “Tiap warga naruh kaca di depan rumah, tinggal diambilin.”
Pementasan wayang dan gamelan kaca di Festival Muria Raya, Desa Jepalo, Gunungwungkal, Pati, Jawa Tengah, 15 September 2024. Tempo/Jamal Abdun Nashr
Pergelaran Festival Muria Raya, Brian menambahkan, juga merangsang rasa percaya diri warga setempat. Pasalnya, banyak seniman, budayawan, dan dosen datang berkolaborasi dengan warga desa. “Merangsang percaya diri. Sejak awal warga desa sudah hebat. Kami hanya memantik,” ucapnya.
Sebelum puncak acara tersebut, rangkaian festival digelar sejak 8 September 2024. Sejumlah agenda digelar, antara lain lokakarya dan pameran. “Ternyata memiliki dampak ekologi. Mata air kembali didatangi masyarakat,” ujar Brian.
Festival Muria Raya telah tiga kali dilaksanakan di Desa Jepalo. Keputusan itu sesuai dengan arahan Sutanto Mendut, seniman asal Magelang, Jawa Tengah, yang meminta festival yang bertempat di lereng Pegunungan Muria itu tak hanya sekali digelar. “Pak Sutanto memberi mandat seperti itu,” tutur Brian.
Sutanto meminta Festival Muria Raya beberapa kali digelar di sana. “Saya menganjurkan supaya di sini empat atau tiga kali. Setelah itu, pindah tak apa-apa,” katanya. “Karena, maaf, di sini cukup pelosok. Unik, menurut saya.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Jamal A. Nashr dari Pati berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Gatotkaca Lahir di Lereng Muria"