IA sering dijuluki "walikota malam". Terutama untuk kawasan
daerah lusuh yang berhampiran dengan distrik nite club paling
hiruk-pikuk itu.
Pengikutnya rata-rata berusia muda, dan mematuhi perintahnya
dengan taat. Mereka tak boleh minum di kedai-kedai yang
berserakan di sekitar markas besarnya yang lapang dan bertembok
tinggi. Juga tak dibenarkan merusuhi penduduk setempat.
"Polisi biasa datang ke mari dan mengucapkan hello kepada saya,"
kata Hideomi Oda, direktur Yamaguchi-gumi, sindikat kriminal
Jepang terbesar. "Kami bagaikan kerabat," ujarnya menambahkan.
Berperawakan gempal, berkacamata, gemar mengenakan kemeja sutera
berwarna-warni, Oda memakai jepitan dasi bertatahkan berlian.
Kancing lengan kemejanya terbuat dari emas putih.
Oda menerima tamu-tamunya di kamar kerja yang luas, tapi penuh
dengan burung dan aneka satwa yang diawetkan. "Sepasang pelayan
yang gugup dan penuh perhatian keluar masuk dengan senyap
mengantarkan teh atau kopi es," kata Donald Kirk, wartawan
freelance yang mengkhususkan diri pada masalah-masalah Asia.
Donald beruntung diterima sang "walikota" di dalam sarangnya.
Kelak ia menuliskan pengalaman itu dalam The New York Times
Magazine.
"Polisi dan kami punya urusan masing-masing," kata Oda, seperti
dituturkan Donald kembali. "Mereka melindungi warga kota siang
hari. Tapi bila malam tiba, kamilah yang memegang peranan."
ADA kemudian memanggil beberapa anak buahya. Ia menyuruh mereka
memperlihatkan kepada wartawan itu lengan mereka yang penuh
tattoo, dan jari-jari kelingking mereka yang buntung.
"Pemotongan jari dilakukan dengan ulus," kata Oda, yang
tampaknya ingin menampilkan citra seorang bapak rohani dan
pemegang disiplin yang tegar. Ritus "penebusan dosa" melalui
pemotongan jari--dengan kelewang--berasal dari kebiasaan Abad
XVII.
Gumi (atau kelompok) kriminal muncul pada masa kerusuhan sipil
yang membangkitkan keshogunan Tokugawa di Edo, sekarang Tokyo,
1603. Para anggotanya disebutyokuzo. Upacara pemenggalan jari
bermula dari rumah-rumah bordil Edo, tempat para perempuan
sewaan memotong jari jemari mereka demi membuktikan kesetiaan
kepada gendak-gendak mereka yang sejati.
"Kami diikat oleh tali spiritual," kata Oda. Dalam geng
Yamaguchi yangdipimpinnya terhimpun sekitar 11 ribu anggota.
Mereka mewakili pelbagai cabang dunia hitam: penjudi, pemeras,
mucikari, dan bajingan kota zaman modern ini. "Kami
mengorganisasikan diri bukan demi mengaut keuntungan, melainkan
demi persahabatan, saling memberi dukungan rohani," katanya
menambahkan. Entahlah.
Oda tampak tak peduli tatkala masyarakat Jepang digegerkan kasus
"Lockheed". Yaitu ketika sejumlah tokoh bayangan di belakang
panggung dihubungkan dengan nama-nama politikus Jepang dalam
urusan suap menyuap yang memualkan. Sementara itu, ia juga tak
acuh pada perang berdarah tak putus-putusnya antar-geng, yang
berkobar mulai dari kota bandar Kobe di barat, melalui Osaka,
sampai ke ibukota kerajaan lama Kyoto di timur.
Kesediaan Hideomi Oda menerima Donald Kirk untuk suatu wawancara
memang merupakan perkara unik. "Sebetulnya, pertemuan itu
sebagian dimungkinkan oleh buruknya pemberitaan pers Jepang
mengenai para pemuka Yamaguchigumi, " kata Donald mencoba
menarik kesimpulan.
"Pers kami tak jemu jemunya menyiarkan dusta mengenai kami,"
kata Mitsuru Taoka, tampan dan berbicara halus, putra gembong
sindikat legendaris, Kazuo Taoka. "Dan kami harap anda
menceritakan kebenaran," katanya menambahkan kepada Donald Kirk.
Dan "kebenaran" itu, menurut Donald, ialah bahwa Jepang sekarang
ini memiliki sekitar 110 ribu bajingan fulltimer. Mereka
tergabung dalam tujuh grup besar, 20 sampai 30gumi, dan ratusan
kelompok kecil independen. Setidak-tidaknya demikianlah
perkiraan konservatif polisi nasional Jepang.
Terpencar dalam berbagai subgumi, parayakuzo memiliki daerah
operasi nnasing-masing. Mereka melibatkan diri dalam perjudian,
penjualan narkotik untuk para remaja di pelbagai wilayah busuk
kota, pengiriman perempuanperempuan sewaan kelas mahal ke
berbagai hotel dan apartemen, dan pemerasan atas sejumlah
pejabat yang beradadi bawah pengawasan mereka.
Di permukaan, mereka menguasai bisnis yang sah dan mendatangkan
duit yang tak sedikit, mulai dari show business sampai real
estate. Menurut sumber di jawatan pajak, pemasukan total bisnis
yang d ikelola para tokoh bawah tanah itu untuk tahun 1976 lebih
dari US$ 5 milyar. Dan mereka tak pernah berhasil menarik
pajaknya.
Dengan segala permainan jahatnya, parayakuzo senantiasa berusaha
memperoleh kedudukan terpandang. Sebagian usaha itu mereka
peroleh melalui persekutuan dengan golongan kanan di dalam
negeri.
Ambillah umpamanya Yoshio Kodama, kuromoku terkemuka dan
penyalur uang sogok dalam kasus "Lockhced". Setelah peristiwa
itu ia secara sukarela melepaskan kekuasaannya sebagai "boss
duniayokuza Tokyo", menyatakan diri sakit, dan beristirahat ke
tanah pemukimannya yang dikawal ketat.
Ia tetap menyatakan hubungan "persaudaraan"-nya dengan Kazuo
Taoka, setelah gagal mengajak Yamaguchi menggalang persekutuan
gangster yang berskala nasional. "Kami dipersatukan oleh oposisi
kami terhadap komunisme," katanya sekali waktu. "Darah yang sama
mengalir di dalam tubuh kami."
Pada akhirnya, memang, dunia bawah tanah Jepang menampilkan
perkawinan antara kejahatan dan politik. Corak itu tampak nyata
dalam serikat ultranasionalis Zen-Ai-Koigi, alias Federasi
Patriotik Jepang, yang didirikan Kodama pada 1959. Federasi
sayap kanan ini muncul mengimbangi protes kaum kiri.
"Parayokuzo dan golongan kanan berjuang untuk tujuan yang sama,"
kata Nishiin Takei, spion dan sabotir di Cina pada sekitar
1930-an. Bangga akan rekornya, "empat puluh kali ditahan dan tak
pernah bisa dibuktikan bersalah," ia sendiri seorang yokuza pada
masa mudanya.
Menjadi biarawan sekitar 15 tahun lalu, Takei kini seorang rahib
kepala. Ia pernah melindungi para bajingan dan tokoh dunia
bisnis di kuil Budha, di sebelah timur Tokyo. "Kami memiliki
pasukan bersenjata sendiri," kata Takei dalam jubah putihnya. Ia
pun menceritakan betapa parayakuza muda ambil bagian dalam
pasukan paramiliter Zen-Ai-Kaigi yang berkekuatan 10 ribu
anggota. "Mereka mempunyai kelewang, dan mungkin juga senapan,"
katanya tenang.
Tampaknya hampir semua tokoh dunia hitam Jepang mengambil sikap
bermusuhan dengan kelompok kiri. "Bila Jepang menjadi negeri
komunis, tak akan ada lagi yakuza," kata Michio Sasaki, salah
seorang direktur Yamaguchi.
BERPENAMPILAN kasar kecil tapi kekar, Sasaki gemar mengenakan
busana warna-warni yang didisainnya sendiri. Ia pernah terlibat
merencanakan ke jahatan terhadap sebuah bank, pabrik mobil, dan
perusahaan konstruksi. Namun, entah dengan cara apa, ia bebas
dari tuduhan. "Selama yakuzo masih ada," katanya dengan nada
bangga, "Jepang adalah negara merdeka."
Hubungan mesra antara dunia kriminal dan kaum politisi tampaknya
sudah mengandung pola historis. Secara tradisonal, parayakuzo
memang terlibat dalam setiap peristiwa sejarah.
Selama perang Rusia-Jepang 1905, para yakuza berada di gari
depan sebagai pekerja paksa. Selama pendudukan Jepang di Cina,
1930-an, mereka juga dikirim ke "negeri naga dan burung hong"
itu untuk bekerja. Mereka menggali parit dan membangun lapangan
terbang untuk pasukan Jepangdi seluruh Asia Tenggara, selama
Perang Dunia II.
Pada 1960, adalah Kodama yang merekrut sekitar 18 ribu gong-ter
untuk menghadapi demonstrasi massa yang menentang kunjungan
Presiden Eisenhower ke Jepang. Jumlah itu masih ditambah dengan
sekitar 10 ribu pedagang keliling yang dikontrol oleh berbagai
geng. Kunjungan Eisenhower itu batal akibat kerusuhan yang
timbul di sekitar masalah pakta pertahanan AS-Jepang.
Sebagai imbalan jasa itu, "Kodama tak pernah gentar menghadapi
polisi, pegawai pajak, atau kantor kejaksaan," kata seorang
pejabat senior pemerintah kepada Donald Kirk. "Ia yakin tak
seorang pun dapat menjamahnya."
Akhirnya Kodama yang takabur itu terlalu banyak berjudi, terlalu
berani mengambil risiko, dan terlalu luas digunjingkan. Ia
kemudian terperosok dalam kasus "Lockheed" dan secara perlahan
mulai menghindar dari "peredaran."
Agak lain halnya dengan Mitsuru Taoka, yang suka berpakaian rapi
dan bergaya bangsawan. Lulusan universitas, Taoko senantiasa
membantah secara sopan bahwa ia anggota Yamaguchi.
Selalu dikaitkan dengan ayahnya, Kazuo Taoka yang legendaris,
Mitsuru memimpin bisnis entertainment dan stevedoring. Tapi ia
bisa bercerita tentang gaya hidup para Yamaguchi, yang
disebutnya bercorak kelas menengah konvensional "Mereka tak
banyak berbeda dengan warga negara lain," katanya. "Mereka harus
mencari uang, dan mereka terjun dalam dunia bisnis."
Secara historis,gangster Jepang memperoleh sukses melalui
berbagai peristiwa keji, dan kerusuhan serta keonaran di tengah
masyarakat. "Orang Jepang tak melihat kemungkinan menghancurkan
kelompok-kelompok itu," kata Dr. Fumio Mugishima, penyusun
sejumlah telaah tingkah lakupdra bandit untuk Institut Polisi
Nasional. "Begitu banyak sumber ekonomi di tengah masyarakat
urban ini," katanya menambahkan.
SESEORANG dapat memahami tempat yakuza yang unik dalam
masyarakat Jepang, dengan berkunjung ke beberapa kantor
lokalnya. Dengan keterbukaan yang sangat bervariasi, mercka
beroperasi di hampir setiap kota Jepang. Di Osaka, pusat
perdagangan Jepang yang paling bising, tempat kejahatan
berkembang lebih bebas daripada di metropolitan lainnya sejak
resorasi Meiji, "para gangster menerima tamu asingdengan
keramahan formal, tak ubahnya para pejabat pemerintah aau wakil
dunia usaha," kata Donald Kirk.
"Memang, kadang-kadang kami harus bertempur dengan senapan dan
pisau," ujar seorangyakuza muda yang cukup penting. Berpakaian
konservatif dengan kemeja putih, celana dan dasi hitam, ia
menerima Kirk di sebuah kantor cabang Yamaguchi yang kecil.
"Peristiwa seperti itu terjadi bila ada dua geng yang tak mampu
memperoleh uang cukup banyak, lalu berkelahi satu sama lain,"
ujarnya menambahkan. Tapi ia juga mengaku, "kami selalu takut
pada polisi." Dalam pada itu, seorang yakuza lain selalu siaga
mengawasi pintu masuk. Wajahnya pucat, berjaket, bercelana merah
muda, dan mengenakan kacamata hitam tipis, khas busana para
yakuza masa kini.
"Kami tak menyakiti penduduk," katayakuza muda itu. "Karena itu
polisi tak bisa menahan kami." Namunia mengaku pernah membunuh
"lebih sepuluh orang tahun lalu," sedangkan "bisnis saya adalah
perjudian."
Potretyakuza gaya "Guys and Dolls" memang sudah berubah. Dengan
pelbagai dokumen rahasia di kalangan top eksekutif, dan
bukti-bukti pemalsuan pajak yang jatuh ke tangan mereka,
parayakuza yang berpakaian necis lebih banyak bertindak sebagai
pemeras yang kejam. Mereka belajar melindungi organisasinya
seperti melindungi tanah air dan keluarga scndiri. Taat, dan
sebagian ada yang menerima gaji tetap.
Sering kali yakuza bekerja sama dengan apa yang dinamakan
sokaiya-yang secara harfiah berarti "ahli-ahli pertemuan umum."
Mereka ini mempunyai keahlian khusus dalam hal memeras.
Dalam dunia kejahatan terorganisasi Jepang, adalah sudah
dimaklumi betapayakuza, sokaiya, dan sementara tokoh bisnis
terjalin dalam suatu kerja sama yang erat. Hubungan itu demikian
peliknya, sehingga usaha mengusut untuk selanjutnya menjatuhkan
tuduhan resmi nyaris tak mungkin sama sekali. Dalam keterlibatan
Marubeni Corporation dengan perkara "Lockhead", misalnya,
sokaiya memegang peranan penting.
Namun belakangan ini, masyarakat Jepang kian diresahkan sepak
terjang para yakuza, yang sedikit demi sedikit kian meninggalkan
citra "penjahat budiman" dari masa lampau. Dalam hal gaya,
mereka makin condong bertingkah meniru model gangster Amerika.
"Perang antar-geng berkobar di jalan-jalan dan mengganggu
ketertiban umum," kata tajuk rencana harian Mainichi-Shimbun
sekali tempo. Mainichi menurunkan tajuk tersebut setelah
tertembaknya seorang kepala gumi di tengah pusat perbelanjaan
yang ramai. Dai Nippon Seigi Dan, atau Kelompok Keadilan Jepang
Raya -- gumi yang dikepalai korban penembakan tersebut--terkenal
sebagai suplaier perempuan sewaan untuk sejumlah hotel.
Mainichi menyebut penembakan tersebut sebagai "tantangan
terhadap usaha polisi mengontrol serikat-serika kcjahatan." Di
belakang perang antargeng itu, menurut para pejabat polisi
setempat, mungkin terdapat masalah "kekosongan kekuasaan" yang
melanda Yamaguchigumi. Umum mengetahui bahwa Taoka senior,
misalnya, sedang terbaring di rumahnya di sekitar Kobe,
menanggung penyakit jantung. Boleh jadi di antara para yakuza
sedang bertarung pengaruh.
Betapa pun juga, kehadiran para yakuza makin terasa meresahkan.
Seperti halnya pelbagai serikat sejenis di berbagai negeri gumi
dan parayakuza meningkatkan ketrampilan dan peralatannya sesuai
kemajuan zaman. Kalau pada masa sebelum Perang Dunia II mereka
mempersenjatai diri dengan kelewang, kini sebagian besar yakuza
menyandang pistol.
"Sebagian senjata api itu diselundupkan dari Amerika Serikat
melalui Hawaii," kata Donald Kirk. Tapi ada juga yang disalurkan
melalui toko-toko yang menjual "suvenir kemiliteran."
Para pemimpin gumi pun memancing selera calon anak buahnya
dengan janji yang menggiurkan. "Sepucuk pistol untuk setiap
anggota," kata pimpinan sebuah geng, mengiklankan diri. Geng ini
juga menjanjikan kepada anggotanya "persenjataan dan persiapan
100%".
Pihak kepolisian percaya, sekitar 10 ribu pucuk pistol dan
senapan kini beredar di Jepang tanpa pengawasan. Jumlah ini
memang belum memadai bila dibandingkan dengan angka-angka di
Amerika. Tapi harus diingat, Jepang adalah negara yang
mengharamkan senjata api tanpa izin khusus.
Apa pun perkaranya, perang antargeng bukanlah sesuatu yang
menggembirakan untuk pemimpin Yamaguchi yang sudah mapan,
seperti Hideomi Oda. Untuk subgumi-nya yang ditunjang 150 kobun
yang taat, Oda adalah oyabun, aliasboss. Istilah kobun dan
oyabun menunjuk kepada pertalian khusus dalam satu kelompok,
nyaris bersifat kekeluargaan. Yang pertama bersifat "anak", dan
yang kedua bersifat "bapak".
BIASANYA, perang antargeng dijadikan semacam latihan
"menyelamatkan muka," kata Oda. Tokoh ini pernah memiliki
sejumlah apartemen, tempat para perempuan sewaan menerima tamu
berkantung tebal. Kini bisnis itu dilepaskannya. Oda memiliki
usaha resmi dalam pinjam meminiamkan uang, demi "kesejahteraan
anak buah."
Sebagai salah seorang godfu negeri Matahari Terbit, Oda juga tak
luput dari kewajiban melindungi anak buah. "Bila seseorang
menjadi bagian suatu kelompok kecil, apakah ia hanya sekedar
"cucu" seorangoyabun, ia bemak mendapat perlindungan. Bila ia
disakiti, seluruh keluarga akan berdiri membelanya." Oda
kemudian menambahkan, dengan kebanggaan yang khas, "ikatan
antara oyobun dan kobun berlaku selama hayat dikandung badan."
Namun dalam satu hal, Oda tetap bangga dan setia pada adab lama
para yakuza yang dipegangnya dengan teguh, yaitu pantangan
terhadap narkotik. Kepada Donald Kirk, Oda menunjukkan semacam
surat edarannya yang berisi daftar nama anggota yang dipecat
akibat terlibat obat bius.
Menurut pengamatan Oda,gangster yang kecanduan obat bius akan
"mengacaukan masyarakat," dan "tidak dapat mengambil keputusan
dalam keadaan teler." Tentu saja. Oda tak lupa mengumbar semacam
"patriotisme" di depan Kirk. "Obat bius bisa mengubah semua
orang Jepang menjadi tidak manusiawi, dan menimbulkan kerusuhan
bagi masyarakat kami," katanya. Ucapan Oda ini bisa dianggap
bual besar. Namun Yamaguchi memang melancarkan apa yang disebut
Oda "pembersihan terbesar sepanjang sejarah yokuza. "
Pembersihan itu ditujukan pada setiap pecandu obat bius dalam
keluarga Yamaguchi. Oda bahkan mengirimkan tindasan surat
pemecatan itu kepada serikat-serikat rivalnya. "Kelompok lain
pastimenghargai tindakan itu," katanya.
Maka pada 1975, Oda lagi-lagi membuat kejutan. Ia menerbitkan
semacam majalah, "mungkin satu-satunya jurnal dunia bawah tanah
di muka bumi," kata Donald Kirk dalam tulisannya yang disiarkan
Times. Oda pribadi mengedit, bahkan mendistribusikan "majalah"
itu kepada seluruh anggotanya.
Melalui majalah itu--tentu saja-Oda berusaha memperbaiki citra
kaumnya di mata masyarakat. Ia menulis artikel dan surat yang
mencerminkan kekecewaan dan sakit hati parayakuza yang kurang
mendapat penghargaan masyarakat.
"Sungguh tak enak melihat diri kami diperlakukan sebagai
gangster, dan dimusuhi pers," kata Kazuo Taoka mengungkapkan isi
kalbunya kepada para pembaca majalah khusus itu. Taoka bertindak
selaku "penerbit" majalah tersebut. Ia kemudian mengingatkan
para pembaca untuk tidak lupa pada tugas yakuzo, yaitu "merampok
si kaya, dan menyantuni si miskin." Hmmm.
"Dalam hal etik, para yakuza terhitung cermat," tulis Kirk.
Semua gangster terikat pada kewajiban moral dan saling
mengasihi, bagian etik yakuza yang sudah berusia berabad-abad.
Di dinding setiap kantor Yamaguchi tertempel ikrar yang tak
boleh dilalaikan setiap anggota. "Taat pada perintah dan takzim
dalam tindakan, menghargai yang tua dan berlaku sopan, suka
menenggang dan merendah di tengah masyarakat, belajar dari yang
tua dan siap berjuang demi kemajuan," demikian antara lain
tercantum dalam ikrar tersebut.
Di atas segalanya,yakuza yang baik hendaklah membaktikan dirinya
"demi kemakmuran negeri dan masyarakat." Ia tak boleh melupakan
"harmoni dan kemurahan hati adalah yang paling berharga dalam
membela keluarga."
Pretensi budi baik ini hidup dalam tokoh seperti Ryoichi
Sasagawa, seorang ultrakanan dari masa sebelum perang, kuromaku
yang berhasil, dan Presiden Asosiasi Perahu Motor Jepang. Seraya
membantah hubungannya dengan para gangster, Sasagawa mengaut
keuntungan dari balap perahu motor, usaha yang sejak lama
digalangnya bersama, antara lain, para penjudi.
Pada waktu tertentu, Sasagawa tampil dalam siaran niaga televisi
Jepang. Ia memberi petuah kepada anakanak untuk "turut
memelihara lingkungan" dan "berlaku baik terhadap ayah bunda."
Sementara ia berfatwa, di latar belakang tampak perahuperahu
motor kecil melintasinya dengan bendera Jepang berkibar-kibar.
CITRA Inulia yang kerap kali digembar-gemborkan parayakuza
berasal dari masa awal 1600-an. Syahdan ketika itu, tersebut
seorang "Robin Hood" jepang bernama Banzuin Chobei. Ia
mengumpulkan tenaga kerja yang membangun kastil untuk keshogunan
Tokugawa, di Edo.
Pada mulanya adalah bandit, para pekerja itu mengakui otoritas
Chobei sepanjang ia mengizinkan mereka meneruskan kebiasaan di
masa lampau, yaitu berjudi. Kemudian tak adayang keberatan,
tatkala para penjudi itu membentuk "keluarga" masing-masing.
Inilah asal muasal gumi. Sebaliknya, pemerintah menggunakan jasa
mereka dalam pekerjaan memata-matai. Dalam perkara tertentu,
mereka juga bertindak sebagai polisi.
Maka itu tak heran, kalau kemudian terjadi hubungan historis
antara polisi dan parayakuza. Masing-masing anggota kelompok itu
kadang-kadang datang dari latar belakang sosial yang sama,
lengkap dengan adat istiadat dan gagasannya.
Pada masa yang nyaris tak mengenal hukum, menjelang keruntuhan
keshogunan dan bangkitnya Emperor Meiji pada 1868, para yakuza
malah menjadi semacam barang rebutan antara pihak tentara yang
baku hantam.
Para perwira yang berjuang atas nama Emperor menjanjikan status
Samurai bagi para sukarelawan yakuza --yang sebagian terdiri
dari petani dusun dan pedagang kecil di kota-kota. Di lain
pihak, keshogunan berjanji akan membebaskan para yakuza dari
utang dan cukai.
Salah seorang "pahlawan"yakuza yang paling dihormati adalah
Jirocho dari Shimuzu, kota pantai sekitar 100 mil dari Tokyo. Ia
memerintahkan mengubur jenazah para pelaut keshogunan yang tewas
bersama kapal mereka yang tenggelam.
Oleh para perwira Meiji, Jirocho dibebaskan dari tuduhan
kejahatan, bahkan mendapatkan semacam puji-pujian. Ia
melambangkan etos yakuza yang hidup sampai hari ini, yaitu
itikad menyembunyikan kelemahan diri sendiri. Mitos seperti ini
banyak diangkat oleh film yakuza dari masa sesudah perang.
Sebagian besar geng modern Jepang sekarang, termasuk Yamaguchi,
mengambil bentuknya di tengah revolusi industri setelah Jepang
membuka pintu terhadap Barat, di bawah Emperor Meiji. Yamaguchi
sendiri, dinamakan menurut boss-nya yang pertama, berdiri 60
tahun lalu di antara para pekerja konstruksi.
Serikat itu berkembang setelah putra sang pendiri, Noboru
Yamaguchi mengambil warisan kekuasaan. Adapun Kazuo Taoka
menjadi tokoh penting serikat ini pada penghujung Perang Dunia
II, setelah pengabdian yang setia kepada Yamaguchi II.
Taoka membangun mitologinya melalui "otobiografi" tiga jilid,
yang kemudian dibuat menjadi tiga buah film pada 1974. Kisah itu
merupakan hikayat perjalanan hidup seorang insan, dari gombal
sampai kaya raya. Bermula sebagai magang pada galangan kapal,
pernah masuk penjara lantaran menyerbu kantor seorang kepala
serikat buruh yang menyerang majikannya, dihukum lagi karena
membunuh dengan alasan "membela diri", kemudian membawa
Yamaguchi menuju mdsa keemasan setelah perang.
SEMENTARA para yakuza tetap muncul dan menyatakan diri setia
pada adat dan kebiasaan kuna, yang oleh kritikus film Jepang
Donald Ritchie disebut "sisa terakhir periode Tokugawa,"
popularitas parayakuza di tengah masyarakat semakin luntur.
"Mereka tak lagi memikirkan si miskin, yang mereka kejar hanya
uang belaka," kata Noboru Ando, salah scorang bintang yakuza.
Ando sendiri pada mulanya seorang pemimpin gumi kecil. Kemudian
ia melihat kenyataan betapa mudahnya mendapatkan uang dari main
film dengan memerankan kehidupannya sehari-hari. Toei, produsen
film yakuza terbesar juga merasakan minat penonton yang mulai
surut terhadap film-filmnya.
"Setelah perang, para yakuza tak dapat menahan diri dari
meninggalkan bentuknya yang asli setelah memasuki dunia usaha,"
ujar seorang Wakil Direktur Toei, Shun-ishi Toishi. Dengan
demikian mereka kehilangan "semangat ninkyo"--sepatah kata yang
berkaitan dengan seluruh romantika dan keagungan legenda para
bajingan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini