Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Yakusa, si penjahat budiman

Yakusa adalah anggota sindikat kriminal di jepang. ia melindungi warga kota di siang hari. pada malam hari mereka mewakili pelbagai cabang dunia hitam. (sel)

9 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA sering dijuluki "walikota malam". Terutama untuk kawasan daerah lusuh yang berhampiran dengan distrik nite club paling hiruk-pikuk itu. Pengikutnya rata-rata berusia muda, dan mematuhi perintahnya dengan taat. Mereka tak boleh minum di kedai-kedai yang berserakan di sekitar markas besarnya yang lapang dan bertembok tinggi. Juga tak dibenarkan merusuhi penduduk setempat. "Polisi biasa datang ke mari dan mengucapkan hello kepada saya," kata Hideomi Oda, direktur Yamaguchi-gumi, sindikat kriminal Jepang terbesar. "Kami bagaikan kerabat," ujarnya menambahkan. Berperawakan gempal, berkacamata, gemar mengenakan kemeja sutera berwarna-warni, Oda memakai jepitan dasi bertatahkan berlian. Kancing lengan kemejanya terbuat dari emas putih. Oda menerima tamu-tamunya di kamar kerja yang luas, tapi penuh dengan burung dan aneka satwa yang diawetkan. "Sepasang pelayan yang gugup dan penuh perhatian keluar masuk dengan senyap mengantarkan teh atau kopi es," kata Donald Kirk, wartawan freelance yang mengkhususkan diri pada masalah-masalah Asia. Donald beruntung diterima sang "walikota" di dalam sarangnya. Kelak ia menuliskan pengalaman itu dalam The New York Times Magazine. "Polisi dan kami punya urusan masing-masing," kata Oda, seperti dituturkan Donald kembali. "Mereka melindungi warga kota siang hari. Tapi bila malam tiba, kamilah yang memegang peranan." ADA kemudian memanggil beberapa anak buahya. Ia menyuruh mereka memperlihatkan kepada wartawan itu lengan mereka yang penuh tattoo, dan jari-jari kelingking mereka yang buntung. "Pemotongan jari dilakukan dengan ulus," kata Oda, yang tampaknya ingin menampilkan citra seorang bapak rohani dan pemegang disiplin yang tegar. Ritus "penebusan dosa" melalui pemotongan jari--dengan kelewang--berasal dari kebiasaan Abad XVII. Gumi (atau kelompok) kriminal muncul pada masa kerusuhan sipil yang membangkitkan keshogunan Tokugawa di Edo, sekarang Tokyo, 1603. Para anggotanya disebutyokuzo. Upacara pemenggalan jari bermula dari rumah-rumah bordil Edo, tempat para perempuan sewaan memotong jari jemari mereka demi membuktikan kesetiaan kepada gendak-gendak mereka yang sejati. "Kami diikat oleh tali spiritual," kata Oda. Dalam geng Yamaguchi yangdipimpinnya terhimpun sekitar 11 ribu anggota. Mereka mewakili pelbagai cabang dunia hitam: penjudi, pemeras, mucikari, dan bajingan kota zaman modern ini. "Kami mengorganisasikan diri bukan demi mengaut keuntungan, melainkan demi persahabatan, saling memberi dukungan rohani," katanya menambahkan. Entahlah. Oda tampak tak peduli tatkala masyarakat Jepang digegerkan kasus "Lockheed". Yaitu ketika sejumlah tokoh bayangan di belakang panggung dihubungkan dengan nama-nama politikus Jepang dalam urusan suap menyuap yang memualkan. Sementara itu, ia juga tak acuh pada perang berdarah tak putus-putusnya antar-geng, yang berkobar mulai dari kota bandar Kobe di barat, melalui Osaka, sampai ke ibukota kerajaan lama Kyoto di timur. Kesediaan Hideomi Oda menerima Donald Kirk untuk suatu wawancara memang merupakan perkara unik. "Sebetulnya, pertemuan itu sebagian dimungkinkan oleh buruknya pemberitaan pers Jepang mengenai para pemuka Yamaguchigumi, " kata Donald mencoba menarik kesimpulan. "Pers kami tak jemu jemunya menyiarkan dusta mengenai kami," kata Mitsuru Taoka, tampan dan berbicara halus, putra gembong sindikat legendaris, Kazuo Taoka. "Dan kami harap anda menceritakan kebenaran," katanya menambahkan kepada Donald Kirk. Dan "kebenaran" itu, menurut Donald, ialah bahwa Jepang sekarang ini memiliki sekitar 110 ribu bajingan fulltimer. Mereka tergabung dalam tujuh grup besar, 20 sampai 30gumi, dan ratusan kelompok kecil independen. Setidak-tidaknya demikianlah perkiraan konservatif polisi nasional Jepang. Terpencar dalam berbagai subgumi, parayakuzo memiliki daerah operasi nnasing-masing. Mereka melibatkan diri dalam perjudian, penjualan narkotik untuk para remaja di pelbagai wilayah busuk kota, pengiriman perempuanperempuan sewaan kelas mahal ke berbagai hotel dan apartemen, dan pemerasan atas sejumlah pejabat yang beradadi bawah pengawasan mereka. Di permukaan, mereka menguasai bisnis yang sah dan mendatangkan duit yang tak sedikit, mulai dari show business sampai real estate. Menurut sumber di jawatan pajak, pemasukan total bisnis yang d ikelola para tokoh bawah tanah itu untuk tahun 1976 lebih dari US$ 5 milyar. Dan mereka tak pernah berhasil menarik pajaknya. Dengan segala permainan jahatnya, parayakuzo senantiasa berusaha memperoleh kedudukan terpandang. Sebagian usaha itu mereka peroleh melalui persekutuan dengan golongan kanan di dalam negeri. Ambillah umpamanya Yoshio Kodama, kuromoku terkemuka dan penyalur uang sogok dalam kasus "Lockhced". Setelah peristiwa itu ia secara sukarela melepaskan kekuasaannya sebagai "boss duniayokuza Tokyo", menyatakan diri sakit, dan beristirahat ke tanah pemukimannya yang dikawal ketat. Ia tetap menyatakan hubungan "persaudaraan"-nya dengan Kazuo Taoka, setelah gagal mengajak Yamaguchi menggalang persekutuan gangster yang berskala nasional. "Kami dipersatukan oleh oposisi kami terhadap komunisme," katanya sekali waktu. "Darah yang sama mengalir di dalam tubuh kami." Pada akhirnya, memang, dunia bawah tanah Jepang menampilkan perkawinan antara kejahatan dan politik. Corak itu tampak nyata dalam serikat ultranasionalis Zen-Ai-Koigi, alias Federasi Patriotik Jepang, yang didirikan Kodama pada 1959. Federasi sayap kanan ini muncul mengimbangi protes kaum kiri. "Parayokuzo dan golongan kanan berjuang untuk tujuan yang sama," kata Nishiin Takei, spion dan sabotir di Cina pada sekitar 1930-an. Bangga akan rekornya, "empat puluh kali ditahan dan tak pernah bisa dibuktikan bersalah," ia sendiri seorang yokuza pada masa mudanya. Menjadi biarawan sekitar 15 tahun lalu, Takei kini seorang rahib kepala. Ia pernah melindungi para bajingan dan tokoh dunia bisnis di kuil Budha, di sebelah timur Tokyo. "Kami memiliki pasukan bersenjata sendiri," kata Takei dalam jubah putihnya. Ia pun menceritakan betapa parayakuza muda ambil bagian dalam pasukan paramiliter Zen-Ai-Kaigi yang berkekuatan 10 ribu anggota. "Mereka mempunyai kelewang, dan mungkin juga senapan," katanya tenang. Tampaknya hampir semua tokoh dunia hitam Jepang mengambil sikap bermusuhan dengan kelompok kiri. "Bila Jepang menjadi negeri komunis, tak akan ada lagi yakuza," kata Michio Sasaki, salah seorang direktur Yamaguchi. BERPENAMPILAN kasar kecil tapi kekar, Sasaki gemar mengenakan busana warna-warni yang didisainnya sendiri. Ia pernah terlibat merencanakan ke jahatan terhadap sebuah bank, pabrik mobil, dan perusahaan konstruksi. Namun, entah dengan cara apa, ia bebas dari tuduhan. "Selama yakuzo masih ada," katanya dengan nada bangga, "Jepang adalah negara merdeka." Hubungan mesra antara dunia kriminal dan kaum politisi tampaknya sudah mengandung pola historis. Secara tradisonal, parayakuzo memang terlibat dalam setiap peristiwa sejarah. Selama perang Rusia-Jepang 1905, para yakuza berada di gari depan sebagai pekerja paksa. Selama pendudukan Jepang di Cina, 1930-an, mereka juga dikirim ke "negeri naga dan burung hong" itu untuk bekerja. Mereka menggali parit dan membangun lapangan terbang untuk pasukan Jepangdi seluruh Asia Tenggara, selama Perang Dunia II. Pada 1960, adalah Kodama yang merekrut sekitar 18 ribu gong-ter untuk menghadapi demonstrasi massa yang menentang kunjungan Presiden Eisenhower ke Jepang. Jumlah itu masih ditambah dengan sekitar 10 ribu pedagang keliling yang dikontrol oleh berbagai geng. Kunjungan Eisenhower itu batal akibat kerusuhan yang timbul di sekitar masalah pakta pertahanan AS-Jepang. Sebagai imbalan jasa itu, "Kodama tak pernah gentar menghadapi polisi, pegawai pajak, atau kantor kejaksaan," kata seorang pejabat senior pemerintah kepada Donald Kirk. "Ia yakin tak seorang pun dapat menjamahnya." Akhirnya Kodama yang takabur itu terlalu banyak berjudi, terlalu berani mengambil risiko, dan terlalu luas digunjingkan. Ia kemudian terperosok dalam kasus "Lockheed" dan secara perlahan mulai menghindar dari "peredaran." Agak lain halnya dengan Mitsuru Taoka, yang suka berpakaian rapi dan bergaya bangsawan. Lulusan universitas, Taoko senantiasa membantah secara sopan bahwa ia anggota Yamaguchi. Selalu dikaitkan dengan ayahnya, Kazuo Taoka yang legendaris, Mitsuru memimpin bisnis entertainment dan stevedoring. Tapi ia bisa bercerita tentang gaya hidup para Yamaguchi, yang disebutnya bercorak kelas menengah konvensional "Mereka tak banyak berbeda dengan warga negara lain," katanya. "Mereka harus mencari uang, dan mereka terjun dalam dunia bisnis." Secara historis,gangster Jepang memperoleh sukses melalui berbagai peristiwa keji, dan kerusuhan serta keonaran di tengah masyarakat. "Orang Jepang tak melihat kemungkinan menghancurkan kelompok-kelompok itu," kata Dr. Fumio Mugishima, penyusun sejumlah telaah tingkah lakupdra bandit untuk Institut Polisi Nasional. "Begitu banyak sumber ekonomi di tengah masyarakat urban ini," katanya menambahkan. SESEORANG dapat memahami tempat yakuza yang unik dalam masyarakat Jepang, dengan berkunjung ke beberapa kantor lokalnya. Dengan keterbukaan yang sangat bervariasi, mercka beroperasi di hampir setiap kota Jepang. Di Osaka, pusat perdagangan Jepang yang paling bising, tempat kejahatan berkembang lebih bebas daripada di metropolitan lainnya sejak resorasi Meiji, "para gangster menerima tamu asingdengan keramahan formal, tak ubahnya para pejabat pemerintah aau wakil dunia usaha," kata Donald Kirk. "Memang, kadang-kadang kami harus bertempur dengan senapan dan pisau," ujar seorangyakuza muda yang cukup penting. Berpakaian konservatif dengan kemeja putih, celana dan dasi hitam, ia menerima Kirk di sebuah kantor cabang Yamaguchi yang kecil. "Peristiwa seperti itu terjadi bila ada dua geng yang tak mampu memperoleh uang cukup banyak, lalu berkelahi satu sama lain," ujarnya menambahkan. Tapi ia juga mengaku, "kami selalu takut pada polisi." Dalam pada itu, seorang yakuza lain selalu siaga mengawasi pintu masuk. Wajahnya pucat, berjaket, bercelana merah muda, dan mengenakan kacamata hitam tipis, khas busana para yakuza masa kini. "Kami tak menyakiti penduduk," katayakuza muda itu. "Karena itu polisi tak bisa menahan kami." Namunia mengaku pernah membunuh "lebih sepuluh orang tahun lalu," sedangkan "bisnis saya adalah perjudian." Potretyakuza gaya "Guys and Dolls" memang sudah berubah. Dengan pelbagai dokumen rahasia di kalangan top eksekutif, dan bukti-bukti pemalsuan pajak yang jatuh ke tangan mereka, parayakuza yang berpakaian necis lebih banyak bertindak sebagai pemeras yang kejam. Mereka belajar melindungi organisasinya seperti melindungi tanah air dan keluarga scndiri. Taat, dan sebagian ada yang menerima gaji tetap. Sering kali yakuza bekerja sama dengan apa yang dinamakan sokaiya-yang secara harfiah berarti "ahli-ahli pertemuan umum." Mereka ini mempunyai keahlian khusus dalam hal memeras. Dalam dunia kejahatan terorganisasi Jepang, adalah sudah dimaklumi betapayakuza, sokaiya, dan sementara tokoh bisnis terjalin dalam suatu kerja sama yang erat. Hubungan itu demikian peliknya, sehingga usaha mengusut untuk selanjutnya menjatuhkan tuduhan resmi nyaris tak mungkin sama sekali. Dalam keterlibatan Marubeni Corporation dengan perkara "Lockhead", misalnya, sokaiya memegang peranan penting. Namun belakangan ini, masyarakat Jepang kian diresahkan sepak terjang para yakuza, yang sedikit demi sedikit kian meninggalkan citra "penjahat budiman" dari masa lampau. Dalam hal gaya, mereka makin condong bertingkah meniru model gangster Amerika. "Perang antar-geng berkobar di jalan-jalan dan mengganggu ketertiban umum," kata tajuk rencana harian Mainichi-Shimbun sekali tempo. Mainichi menurunkan tajuk tersebut setelah tertembaknya seorang kepala gumi di tengah pusat perbelanjaan yang ramai. Dai Nippon Seigi Dan, atau Kelompok Keadilan Jepang Raya -- gumi yang dikepalai korban penembakan tersebut--terkenal sebagai suplaier perempuan sewaan untuk sejumlah hotel. Mainichi menyebut penembakan tersebut sebagai "tantangan terhadap usaha polisi mengontrol serikat-serika kcjahatan." Di belakang perang antargeng itu, menurut para pejabat polisi setempat, mungkin terdapat masalah "kekosongan kekuasaan" yang melanda Yamaguchigumi. Umum mengetahui bahwa Taoka senior, misalnya, sedang terbaring di rumahnya di sekitar Kobe, menanggung penyakit jantung. Boleh jadi di antara para yakuza sedang bertarung pengaruh. Betapa pun juga, kehadiran para yakuza makin terasa meresahkan. Seperti halnya pelbagai serikat sejenis di berbagai negeri gumi dan parayakuza meningkatkan ketrampilan dan peralatannya sesuai kemajuan zaman. Kalau pada masa sebelum Perang Dunia II mereka mempersenjatai diri dengan kelewang, kini sebagian besar yakuza menyandang pistol. "Sebagian senjata api itu diselundupkan dari Amerika Serikat melalui Hawaii," kata Donald Kirk. Tapi ada juga yang disalurkan melalui toko-toko yang menjual "suvenir kemiliteran." Para pemimpin gumi pun memancing selera calon anak buahnya dengan janji yang menggiurkan. "Sepucuk pistol untuk setiap anggota," kata pimpinan sebuah geng, mengiklankan diri. Geng ini juga menjanjikan kepada anggotanya "persenjataan dan persiapan 100%". Pihak kepolisian percaya, sekitar 10 ribu pucuk pistol dan senapan kini beredar di Jepang tanpa pengawasan. Jumlah ini memang belum memadai bila dibandingkan dengan angka-angka di Amerika. Tapi harus diingat, Jepang adalah negara yang mengharamkan senjata api tanpa izin khusus. Apa pun perkaranya, perang antargeng bukanlah sesuatu yang menggembirakan untuk pemimpin Yamaguchi yang sudah mapan, seperti Hideomi Oda. Untuk subgumi-nya yang ditunjang 150 kobun yang taat, Oda adalah oyabun, aliasboss. Istilah kobun dan oyabun menunjuk kepada pertalian khusus dalam satu kelompok, nyaris bersifat kekeluargaan. Yang pertama bersifat "anak", dan yang kedua bersifat "bapak". BIASANYA, perang antargeng dijadikan semacam latihan "menyelamatkan muka," kata Oda. Tokoh ini pernah memiliki sejumlah apartemen, tempat para perempuan sewaan menerima tamu berkantung tebal. Kini bisnis itu dilepaskannya. Oda memiliki usaha resmi dalam pinjam meminiamkan uang, demi "kesejahteraan anak buah." Sebagai salah seorang godfu negeri Matahari Terbit, Oda juga tak luput dari kewajiban melindungi anak buah. "Bila seseorang menjadi bagian suatu kelompok kecil, apakah ia hanya sekedar "cucu" seorangoyabun, ia bemak mendapat perlindungan. Bila ia disakiti, seluruh keluarga akan berdiri membelanya." Oda kemudian menambahkan, dengan kebanggaan yang khas, "ikatan antara oyobun dan kobun berlaku selama hayat dikandung badan." Namun dalam satu hal, Oda tetap bangga dan setia pada adab lama para yakuza yang dipegangnya dengan teguh, yaitu pantangan terhadap narkotik. Kepada Donald Kirk, Oda menunjukkan semacam surat edarannya yang berisi daftar nama anggota yang dipecat akibat terlibat obat bius. Menurut pengamatan Oda,gangster yang kecanduan obat bius akan "mengacaukan masyarakat," dan "tidak dapat mengambil keputusan dalam keadaan teler." Tentu saja. Oda tak lupa mengumbar semacam "patriotisme" di depan Kirk. "Obat bius bisa mengubah semua orang Jepang menjadi tidak manusiawi, dan menimbulkan kerusuhan bagi masyarakat kami," katanya. Ucapan Oda ini bisa dianggap bual besar. Namun Yamaguchi memang melancarkan apa yang disebut Oda "pembersihan terbesar sepanjang sejarah yokuza. " Pembersihan itu ditujukan pada setiap pecandu obat bius dalam keluarga Yamaguchi. Oda bahkan mengirimkan tindasan surat pemecatan itu kepada serikat-serikat rivalnya. "Kelompok lain pastimenghargai tindakan itu," katanya. Maka pada 1975, Oda lagi-lagi membuat kejutan. Ia menerbitkan semacam majalah, "mungkin satu-satunya jurnal dunia bawah tanah di muka bumi," kata Donald Kirk dalam tulisannya yang disiarkan Times. Oda pribadi mengedit, bahkan mendistribusikan "majalah" itu kepada seluruh anggotanya. Melalui majalah itu--tentu saja-Oda berusaha memperbaiki citra kaumnya di mata masyarakat. Ia menulis artikel dan surat yang mencerminkan kekecewaan dan sakit hati parayakuza yang kurang mendapat penghargaan masyarakat. "Sungguh tak enak melihat diri kami diperlakukan sebagai gangster, dan dimusuhi pers," kata Kazuo Taoka mengungkapkan isi kalbunya kepada para pembaca majalah khusus itu. Taoka bertindak selaku "penerbit" majalah tersebut. Ia kemudian mengingatkan para pembaca untuk tidak lupa pada tugas yakuzo, yaitu "merampok si kaya, dan menyantuni si miskin." Hmmm. "Dalam hal etik, para yakuza terhitung cermat," tulis Kirk. Semua gangster terikat pada kewajiban moral dan saling mengasihi, bagian etik yakuza yang sudah berusia berabad-abad. Di dinding setiap kantor Yamaguchi tertempel ikrar yang tak boleh dilalaikan setiap anggota. "Taat pada perintah dan takzim dalam tindakan, menghargai yang tua dan berlaku sopan, suka menenggang dan merendah di tengah masyarakat, belajar dari yang tua dan siap berjuang demi kemajuan," demikian antara lain tercantum dalam ikrar tersebut. Di atas segalanya,yakuza yang baik hendaklah membaktikan dirinya "demi kemakmuran negeri dan masyarakat." Ia tak boleh melupakan "harmoni dan kemurahan hati adalah yang paling berharga dalam membela keluarga." Pretensi budi baik ini hidup dalam tokoh seperti Ryoichi Sasagawa, seorang ultrakanan dari masa sebelum perang, kuromaku yang berhasil, dan Presiden Asosiasi Perahu Motor Jepang. Seraya membantah hubungannya dengan para gangster, Sasagawa mengaut keuntungan dari balap perahu motor, usaha yang sejak lama digalangnya bersama, antara lain, para penjudi. Pada waktu tertentu, Sasagawa tampil dalam siaran niaga televisi Jepang. Ia memberi petuah kepada anakanak untuk "turut memelihara lingkungan" dan "berlaku baik terhadap ayah bunda." Sementara ia berfatwa, di latar belakang tampak perahuperahu motor kecil melintasinya dengan bendera Jepang berkibar-kibar. CITRA Inulia yang kerap kali digembar-gemborkan parayakuza berasal dari masa awal 1600-an. Syahdan ketika itu, tersebut seorang "Robin Hood" jepang bernama Banzuin Chobei. Ia mengumpulkan tenaga kerja yang membangun kastil untuk keshogunan Tokugawa, di Edo. Pada mulanya adalah bandit, para pekerja itu mengakui otoritas Chobei sepanjang ia mengizinkan mereka meneruskan kebiasaan di masa lampau, yaitu berjudi. Kemudian tak adayang keberatan, tatkala para penjudi itu membentuk "keluarga" masing-masing. Inilah asal muasal gumi. Sebaliknya, pemerintah menggunakan jasa mereka dalam pekerjaan memata-matai. Dalam perkara tertentu, mereka juga bertindak sebagai polisi. Maka itu tak heran, kalau kemudian terjadi hubungan historis antara polisi dan parayakuza. Masing-masing anggota kelompok itu kadang-kadang datang dari latar belakang sosial yang sama, lengkap dengan adat istiadat dan gagasannya. Pada masa yang nyaris tak mengenal hukum, menjelang keruntuhan keshogunan dan bangkitnya Emperor Meiji pada 1868, para yakuza malah menjadi semacam barang rebutan antara pihak tentara yang baku hantam. Para perwira yang berjuang atas nama Emperor menjanjikan status Samurai bagi para sukarelawan yakuza --yang sebagian terdiri dari petani dusun dan pedagang kecil di kota-kota. Di lain pihak, keshogunan berjanji akan membebaskan para yakuza dari utang dan cukai. Salah seorang "pahlawan"yakuza yang paling dihormati adalah Jirocho dari Shimuzu, kota pantai sekitar 100 mil dari Tokyo. Ia memerintahkan mengubur jenazah para pelaut keshogunan yang tewas bersama kapal mereka yang tenggelam. Oleh para perwira Meiji, Jirocho dibebaskan dari tuduhan kejahatan, bahkan mendapatkan semacam puji-pujian. Ia melambangkan etos yakuza yang hidup sampai hari ini, yaitu itikad menyembunyikan kelemahan diri sendiri. Mitos seperti ini banyak diangkat oleh film yakuza dari masa sesudah perang. Sebagian besar geng modern Jepang sekarang, termasuk Yamaguchi, mengambil bentuknya di tengah revolusi industri setelah Jepang membuka pintu terhadap Barat, di bawah Emperor Meiji. Yamaguchi sendiri, dinamakan menurut boss-nya yang pertama, berdiri 60 tahun lalu di antara para pekerja konstruksi. Serikat itu berkembang setelah putra sang pendiri, Noboru Yamaguchi mengambil warisan kekuasaan. Adapun Kazuo Taoka menjadi tokoh penting serikat ini pada penghujung Perang Dunia II, setelah pengabdian yang setia kepada Yamaguchi II. Taoka membangun mitologinya melalui "otobiografi" tiga jilid, yang kemudian dibuat menjadi tiga buah film pada 1974. Kisah itu merupakan hikayat perjalanan hidup seorang insan, dari gombal sampai kaya raya. Bermula sebagai magang pada galangan kapal, pernah masuk penjara lantaran menyerbu kantor seorang kepala serikat buruh yang menyerang majikannya, dihukum lagi karena membunuh dengan alasan "membela diri", kemudian membawa Yamaguchi menuju mdsa keemasan setelah perang. SEMENTARA para yakuza tetap muncul dan menyatakan diri setia pada adat dan kebiasaan kuna, yang oleh kritikus film Jepang Donald Ritchie disebut "sisa terakhir periode Tokugawa," popularitas parayakuza di tengah masyarakat semakin luntur. "Mereka tak lagi memikirkan si miskin, yang mereka kejar hanya uang belaka," kata Noboru Ando, salah scorang bintang yakuza. Ando sendiri pada mulanya seorang pemimpin gumi kecil. Kemudian ia melihat kenyataan betapa mudahnya mendapatkan uang dari main film dengan memerankan kehidupannya sehari-hari. Toei, produsen film yakuza terbesar juga merasakan minat penonton yang mulai surut terhadap film-filmnya. "Setelah perang, para yakuza tak dapat menahan diri dari meninggalkan bentuknya yang asli setelah memasuki dunia usaha," ujar seorang Wakil Direktur Toei, Shun-ishi Toishi. Dengan demikian mereka kehilangan "semangat ninkyo"--sepatah kata yang berkaitan dengan seluruh romantika dan keagungan legenda para bajingan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus