BULAN menyusup dan memancing syair." Demikian Ho Chi Minh,
pemimpin Vietnam yang juga penyair. "Tapi tunggu sampai besok.
Aku sibuk urusan perang."
Dan itu tidak hanya Ho Chi Minh. Dan tidak hanya di Vietnam.
Juga di Khmer, perang menyebabkan nilai budaya yang paling luhur
pun menjadi tak berharga. Candi-candi Angkor bukan saja
terbengkalai dan tersia-sia, tapi juga jadi sasaran peluru.
Secara kait-berkait, kegawatan paling puncak bermula ketika
Khmer Rouge, Khmer Merah, mulai berkuasa di Kamboja bulan April
1975. Penuh endam, secara sistematik mereka tercatat mengadakan
pembantaian bangsa sendiri--yang mungkin sukar ditemukan
contohnya dalam sejarah. "Dalam empat tahun tiga juta mati oleh
kelaparan, penyakit, kerja paksa atau penjegalan," tulis Wilbur
E. Garret dalam National Geographic. Belum termasuk akibat
pengeboman AS sebelumnya -- terhadap sarang-sarang persembunyian
Vietcong.
Tahun 1979 masuk pula musuh turun-temurun Bangsa Khmer, Vietnam,
mendesak Khmer Merahnya Pol Pot ke perbatasan Thai. Pada saat
yang lain giliran gerilyawan Pol Pot dan Son Sann yang menyerang
180 ribu tentara pendudukan Vietnam. Jumlah korban meloncat. Dan
Candi Angkor, saksi sejarah Kekaisaran Khmer yang pernah
berkuasa di Indocina selama enam abad, tak lepas dari
kecenderungan pembinasaan.
Dalam bahasa Khmer, angkor berarti 'kota' atau 'ibukota'.
Kompleks candi-candi itu terletak diantara Pebukitan Kulen dan
Danau Tonle Sap, konon dibangun selama 37 tahun. Jumlah batunya
saja 3 ribu gerobak sapi. Di sini, antara abad IX dan XIII
Masehi, sejumlah raja Khmer berturut-turut membangun beberapa
ibukota. Di dalamnya termasuk jaringan irigasi yang musykil,
dalam usaha mengendalikan air di musim hujan dan kekeringan di
musim kemarau, untuk persawahan penduduk. Sudah tentu juga
sejumlah bangunan dari tanah liat, bata, batu-pasir. Dan yang
paling megah dan perkasa memang Angkor Wat.
"Inilah kreasi agung para penguasa dan seniman dengan konsep
universal, kepercayaan beragama yang dalam," kata Peter T. White
memuji-muji. White, untuk keperluan penulisan di National
Geographic bersama dengan Garret dan tukang potret Dave Harvey,
beruntung diizinkan mengunjungi Angkor beberapa waktu yang lalu.
Katanya, perpaduan keagungan fisik dan spiritual seperti Angkor
Wat itu hanya bisa ditemui dalam kebudayaan Yunani dan Mesir
Kuno, Maya dan Aztec, Eropa abad pertengahan dan pada
kathedral-kathedral Gothik. White tidak menyebut Borobudur,
memang. "Itulah Angkor. Sayang, kecemerlangannya mulai pudar
sejak abad XIII," tulisnya.
Pada abad XX, Angkor menjadi model pemugaran. Arkeologi modern
dan ilmu fisika berhasil menemukan sejumlah monumen sangat
mengesankan, dari penggalian maupun ketakscngajaan. Setelah
dipugar, penemuan itu dibiarkan berada di tempat asalnya di
tengah kehijauan lingkungan tropika. Dalam pandangan para ahli,
penemuan itu merupakan bukti disiplin kerja, anugerah alam yang
liar-subur, yang harmonis meskipun juga dramatis--dan dalam
jumlah mengagetkan. Itulah Angkor pada awal dasawarsa ini.
"TAPI bagaimana Angkor kini?" tanya White. "Perang dan
kerusuhan politik memaksa para arkeolog dan petugas pemeliharaan
henglang dari sana di tahun 1972." Dan sejak saat itu para
sejarawan seni dan direktur museum bertanya-tanya: apa yang
terjadi dengan Angkor? Laporan-laporan yang dibawa sementara
pengunjung yang kebetulan berhasil menerobos ke sana, memberikan
informasi yang saling bertentangan. Sebagian mengata kan tidak
melihat kehancuran yang berarti. Yang lain bilang: mulai rontok
satu per satu, dikerjain pencuri, dibantai meriam artileri, dan
semacamnya Dikisahkan pula adanya pemenggalan leher
patung-patung, untuk dibawa ke perbatasan Thai dan ditukarkan
dengan garam--sejumlah berat kepala patung itu sendiri--kemudian
berpindah-pindah tangan dan akhirnya menjadi milik seorang
kolektor kaya.
White terakhir berada di Angkor tahun 1968. Katanya: "Ketika
beberapa waktu berselang kembali ke sana, saya waswas."
***
Di hari pertama kedatangannya, White berdiri di depan galeri
luar Angkor Wat yang panjangnya setengah mil. Dinding-dindingnya
dipenuhi bas-relief, terbagi dalam delapan lempeng, setiap
lempeng tingginya 6 kaki dan panjangnya 160 sampai 300 kaki.
Lempengan di depannya itu merupakan urutan cerita: para dewa dan
jin "sedang mengaduk Lautan Susu untuk membuat penganan
berkhasiat penangkal semua penyakit." Tema cerita berasal dari
literatur Hindu, dan peradaban Khmer Kuno memang bercikal-bakal
India.
Pada masa Kemaharajaan Romawi, saat hubungan dagang India-Laut
Tengah mencapai puncaknya, para pedagang India yang ingin
memburu emas dan permata, rempah-rempah, kayu cendana dan
obat-obatan mengirim kapal-kapalnya ke Asia Tenggara. Dengan
cara ini mereka mengembangkan diri sebagai pedagang perantara,
dan berabad-abad lamanya diterima orang Khmer. Akibatnya,
penduduk bukan hanya beroleh barang dagangan.Tapi juga aksara
Sanskerta, astronomi, matematika, teknologi dan agama Tentu saja
tidak secara mentah-mentah.
Dengan cara dem ikian lah bangsa Khmer punya kaitan kultural
dengan India--asimilatif, seperti juga Prancis dengan Romawi.
Tak heran jika para pendiri Angkor mempersembahkan
candi-candinya kepada Syiwa, Brahma dan Wishnu.
Di Pebukitan Kulen mereka memahat palung-palung sungai dengan
beribu-ribu motif lingga, yakni (maaf) kemaluan laki-laki, yang
merupakan lambang kekuatan kreatif Syiwa. Manfaatnya konon untuk
mensucikan air sungai yang mengairi Dataran Angkor.
Candi-candi--Phnom Bakheng, Baphoum, Angkor Wat--merupakan model
yang mendunia. Bangunan segi empat yang tertutup dari segala
arah, menggambarkan bumi yang dipagari barisan pegunungan, dan
nun di sana samudra tak bertepi. Di tengahnya berdiri Gunung
Meru, tempat bersinggasana para dewa, yang merupakan subyek
langgeng penciptaan dan penghancuran.
MENGUKUR usia Angkor Wat tampaknya tak gampang. Sejarawan seni
Amerika, Eleanor Mannikka, mencoba menhitung parit selebar 617
kaki dengan ukuran Khmerhat. Hasilnya. 432 ribu tahun "masa
kemunduran". Jarak antara jembatan dengan ambang pusat candi,
sepanjang 2.469 kaki, dihitung sebagai 1.728.000 'tahun emas'.
Seorang Brahma dari awal abad XII, yang melintasi bas-relief dan
urut-urutan teras, harus berkali-kali mundur menghadapi ukuran
yang penuh arti itu. Ini sama seperti yang dibuat Suryawarman
ketika melakukannya pertama kali, 1131--menghadapi gambar agung
Wishnu, menurut Eleanor Mannikka. Di sana, "Waktu berhenti,
nirwana dan ruang muncul. Dan perjalanan dalam waktu yang lama
akan berakhir pada ketakterhinggaan."
Wajah Wishnu telah lama lenyap. "Kini di menara tengah, saya
melihat lima Budha," tulis White. "Ini mencerminkan terjadinya
perubahan mendasar pada akhir abad XII."
Bangsa Campa--yang sempat beberapa kali menjadi vassal
Khmer-datang dari arah timur dan merampoki Angkor. Itu terjadi
tahun 1177. Bangsa Khmer benar-benar terpukul dibuatna. Raja
Jayawarman VII sempa membalas dendam, kemudian membangun
kembali Angkor. Tapi dewa-dewa Hindu ternyata gagal menjadi
pelindungnya. Jayawarman tidak meniadakan pemujaan kaumnya,
kendati ia sendiri mempersembahkan ibukota barunya--Angkor Thom
("Kota Besar")--kepada pelindungnya yang baru, juga asal India:
Budha. Angkor Thom dikelilingi parit selebar 300 kaki Monumen
terbesar yang dibangun Jayawarman, Bayon, terletak di pusat
Angkor Thom. Sejumlah 216 dewa tampil di candi-candi yang
dinilai White sehebat Angkor Wat, dan mempunyai 54 menara kecil
yang merupakan 'kiblat' penyembahan. Salah sebuah menara itu,
yang terletak di pusat, pernah disambar peluru.
Prasasti terakhir dalam bahasa Sanskerta dari Candi Angkor
bertahun 1327. Mulanya dalam bahasa Pali, dialek India yang
biasanya dipakai dalam naskah-naskah Budha, bertahun 1309. Dalam
bahasa Sanskerta candi itu di sebut Yosadhapura. Di sekitar abad
XVI memleloleh nama Khmer, Angkor. Sejak itu nama Angkor Wat
lebih terkenal .
***
Sambil berkeringat di bawah udara lembab dan panas, White
bertanya: Mengapa atap galeri Lautan Susu bisa lenyap? Ternyata
dibongkar oleh Badan Pemugaran Angkor (BP Angkor) sendiri di
tahun 1969. Beratus-ratus balok dari batu-pasir bergeletakan di
sekitarnya. Baselief di dinding tampak berlumur noda-noda
hitam. "Saya harus berhadapan langsung dengan masalah mendasar
Angkor," kesimpulannya.
Pertama masalah bangunan. Untuk fondasi monumen, orang-orang
kuno itu menimbun parit-parit di dasar monumen dengan pasir
halus, yang memungkinkan dinding-dinding tanpa campuran semen
berdiri dengan kukuhnya--di atas lempeng tanah liat merah yang
diletakkan di atas pasir. Setelah berabad-abad, hujan
memindahkan lapisan pasir itu. Dan bangunan candi turuu dan
retak-retak.
NAH, balok-balok batu pasir yang disusun dengan rapinya itu
juga cenderung rusak. Harap tahu, batu pasir terdiri dari
partikel-partikel mineral tanah endapan, relatif lembut kayak
odol. Mungkin mirip yang orang Jawa sebut dengan 'lempung'.
Berabad-abad diterobosi air hujan, sang odol tentu kewalahan
juga. Lalu "balok-balok itu hancur. Benda-benda yang ditopangnya
pun rubuh."
Masalah kedua bersifat bio kimiawi. Yakni sejenis penyakit
kulit. Air menetes turun dari atap, merembes dari tanah melalui
aksi kapiler, membawa senyawa organik, sering bersama sulfur.
Ketika air menerobosi batu lalu keluar kembali, berwujud
penguapan, sang sulfur celaka menempelkan dirinya di permukaan
batu. Bakteri datang, la mengoksidasikan sulfur tadi, dan
merusak ukiran yang ada. Begitu, konon.
Karenanya untuk menghentikan "transmigrasi" air, BP Angkor
memilih dua cara drastis. Pertama, membongkar. Setelah itu,
memugar bagian yang perlu dengan seksama dan hati-hati. Yaitu
dengan cara yang disebut anastylosis, seperti yang diterapkan
pada pemugaran Acropolis, Athena, di abad XIX. Ini berarti
rekonstruksi monumen dilakukan dengan memakai bahan-bahan
bangunan asli, ditambah bahan-bahan baru, jika sangat terpaksa.
Juga berarti adanya pembangunan beton baru--sehingga
dinding-dinding mampu berdiri kukuh dan tak di-embesi air.
Dinding beton bagian dalam juga baru. Juga saluran-saluran air,
yang menampung air hujan dan megnyahkannya.
Banyak pekerjaan telah dirampungkan--di Baphuon, di Prasat
Kravanh, bagian dari Angkor Wat. Galeri Lautan Susu telah diberi
fondasi baru, berikut saluran air. Tapi sebelum atapnya
dipasang, "waktu bagi BP Angkor telah habis," ungkap White.
Disponsori Pemerintah Prancis-yang pernah menjajah Indocina--BP
Angkor mulai bertugas sejak 1908. Dan sejak 1953, ketika Kamboja
merdeka, Pemerintah Kerajaan (Sihanouk) bersama Prancis
membiayai pemugaran. BP ini punya markas besar dan tenaga
pembangkit listrik sendiri--yang sangat merangsang para
arkeolog. Juga truk, buldoer, jip, kerek (ada yang 200 kaki
tingginya), stasiun cuaca, laboratorium yang pakai AC. Lalu
para insinyur, arsitek, tukang potret, operator, juru gambar,
dan seribuan buruh kasar.
MENARA-MENARA Angkor diperiksa secara teratur oleh seorang ahli
topografi, dengan theodolite. "Satu milimeter miring bisa
berarti kesalahan," kata penulis yang senang meliput masalah
Vietnam dan Laos itu. Ia ingat tahun 1968, Bernard Philippe
Groslier, arkeolog yang bertugas di sana, mengatakan kepadanya
"hampir memperoleh apa saja yang dibutuhkan."
Tapi segera setelah itu perang saudara pun menyergap Kamboja.
Dan apa yang menyertainya, dari 1975 sampai 1979, adalah
berkuasanya rezim Khmer Merah pimpinan Pol Pot. "Teror,
pembantaian dan pelaparan yang dilakukannya, juga bisa dilihat
bekas-bekasnya di dinding-dinding Angkor Wat," kata pengarang
yang sama. Penggalan kepala arca (hidungnya sompel) yang
tergeletak di tepi jalan setapak bisa bercerita banyak. Pada
bas-relief dinding candi seorang 'dewi' terluka kedua pahanya,
dikenai peluru AK. "Ia (candi) berhasil selamatdari penjarahan
Bangsa Campa di abad XII dan dari Bangsa Siam di abad XV, tapi
tidak dari kemelut belakangan ini," tulis Garrett.
White dalam kunjungan belakangan ini sempat-bertemu dengan
pembantu Groslier, bernama Pich Keo. "Saya punya sejumlah tenaga
tak terlatih, sebuah truk kecil dan sebuah sepeda," kata si
Khmer Keo. "Tapi tak cukup untuk menebasi semak-semak yang
mengerubungi candi . . . "
***
Si Keo lalu menjadi pemandu White. Memakai scbuah jip milik
pemerintah, mereka membutuhkan dua hari untuk perjalanan dari
Phnom Penh ke lokasi candi. Mula-mula dikunjungi Prasat
Kravanh--salah satu candi yang terawal dibangun, 921 Masehi,
dari bahan bata. Ada lima sanctuary (semacam altar pemujaan)
berbentuk menara yang dirampungkan semasa Harshawarman I. Henri
Marchal dan Georges Trouve menemukan dan membenahinya di hutan
di tahun 1930. Lalu dibangun kembali dengan fondasi baru,
berikut dinding dalam dan saluran air, oleh oleh Groslier
pada 1960-an.
Ketika itu bata-bata disusun kembali ke tempat semula. Yang
pecahpecah dipindahkan hati-hati, dan dibuat reproduksinya. Yang
baru itu ditandai dengan CA--kependekan Conservancy, nama
Inggris untuk Badan Pemugaran. Ini sesuai dengan sistem
anastylosis yang dipakai.
MENARA pusat, aslinya tertutup, atasnya dibiarkan terbuka
sehingga mudah tersentuh sinar matahari. Sebuah kaca khusus
dijadikan penutup untuk menyaring radiasi yang dapat merusakkan
pahatannya. "Kaca itu kena peluru," lapor White pula. Sedang
"pintu bajanya--yang terkunci, untuk mencegah vandalisme - telah
lenyap." Kata Keo, rumput-rumput di luar candi sudah dipotong
sebulan sebelumnya. Tapi kini setinggi lutut. Karena kebetulan
musim hujan, kan?
Raja Jayawarman VII rupanya rajin mandi. Buktinya, ia memiliki
kolam mandi, Sras Srang namanya, dengan kedalaman antara 1.300
dan 2.500 kaki. "Dulu penuh air. Kini penuh rumputan," kata
White pula.
Banteay Kdei adalah nama sebuah benteng yang penuh kamar-kamar
kecil yang dihubungkan dengan galeri. Dulu dihuni para pendeta.
Kini berantakan, dihuni nyamuk.
Balok-balok batu bergeletakan di tempat runtuhnya sebuah galeri,
hijau lumutan. Matahari menerobos melintasi siku-siku atap yang
kayaknya tak lama lagi akan turut terjun. Di tengah sebuah kamar
yang penuh sampah, dulu berdiri sebuah patung, White melihat
pelepah kelapa yang mengarang. "Seseorang membakarnya untuk
menimbulkan asap," kata Keo, "supaya kelelawar berjatuhan." Sop
kelelawar konon enak.
White pernah melihat sepasang tiang yang diklem jadi satu.
Klemnya dari perunggu. "Klem ini telah lama hilang entah ke
mana, mungkin untuk keperluan yang bersifat magis," katanya.
Sebuah pisau perunggu bagi orang Khmer punya keampuhan istimewa.
Pada awal 1920-an, BP Angkor mengklem kembali sejoli tiang itu
dengan simpai baja. "Itu pun hilang," kata White. "Mungkin untuk
pelek kereta lembu."
Di kamar lain, duduk sebuah patung Budha--dada, perut, pusar,
lengan, pergelangan tangan, penuh coretan dengan cat hitam.
Soalnya orang Khmer memang senang tatu--untuk melindungi diri
dari penyakit dan kecelakaan. Dengan men"tatu" sang Budha, rasa
aman diri bisa semakin bertambah.
"Tapi apa maksudnya menggambari lengan Budha dengan sebuah jam
tangan?" tanya White. Eh, belakangan ia memperoleh jawaban dari
yang berwewenang. Begini.
Ketika Khmel- Malah berkuasa, semua agama dicerca - secara
resmi. Satu atau dua cecunguk, dengan restu sang majikan
menggambari Budha-sambil menambahi sebuah jam tangan di
pergelengannya, konon merk Omega. "Dengan harapan memperoleh
sebuah jam untuk dirinya," menurut yang berwewenang," disamping
kekuatan magis."
Masih tentang magi, di ceruk Bayon yang gelap ada sebuah sumur.
Inang-inang Cina dari Phnom Penh konon sudi membeli airnya untuk
dipakai mandi. "Bisa kaya dan mampu menarik perhatian pria,"
kata mereka. Serdadu-serdadu pun mengisi flesnya dengan air yang
sejuk, jernih dan menyegarkan itu. "Seorang tua gentleman
mencoba meyakinkan saya bahwa air sumur itu dapat memperpanjang
usia," cerita White.
Tahunnya 1968. Sekitar 70 ribu turis datang, umumnya orang
Amerika yang sedang keliling dunia. Mereka tinggal di hotel
mewah, di jalan utama menuju Angkor Wat. Jumlah itu merupakan
bagian dari 100 ribuan yang diharapkan datang pada 1970. Dan
untuk itu Air Fronce mendirikan sebuah hotel yang lain.
Tapi harapan buyar: gerilyawan komunis Vietnam menyerbu masuk
dan menyerang pasukan pemerintah. Sejak saat itu dan hingga
seterusnya, Khmer Merah dan sekutu-sekutunya bermain kembang api
di sekitar Angkor. Pariwisata pun terhenti. Groslier
diperbolehkan meneruskan pekerjaannya dalam batas-batas
tertentu, tapi pada 1972 ia diperintahkan pergi.
Kini sejumput pengunjung masih datang. Mereka terdiri dari
delegasi resmi negeri-negeri Komunis, para pejabat lembaga
bantuan internasional yang ada di Phnom Penh. Mereka ditempatkan
di Grand Hotel yang tua di ibukota provinsi Siem Reap, tiga mil
dari Angkor. Hotel ini aliran air dan listrik pada malam hari.
Paginya, sebelum matahari bersinar, bangku-bangku sudah dikuasai
kambing-kambing.
Mengunjungi monumen memerlukan kawalan bersenjata Hansip
provinsi - karena bisa saja tiba-tiba gerilyawan Pol Pot
menyelusup dan menyerang. "Pagi itu Hansip harus membawa senjata
ekstra, granat sundut." Bagaimana granat sundut itu, tak
diterangkan.
Kemakmuran Khmer tergantung pada air--pada distribusi airnya
yang langgeng di seluruh musim. Musim hujan sendiri bisa datang
lebih cepat atau lebih lambat--dan karenanya, ketika mereka
membangun Angkor, mau tak mau juga berarti membangun kota
hidraulik. Ada kanal-kanal, parit-parit !ebar, dan bony--waduk
persegi panlang yang sangat besar.
BARAY tidak merupakan waduk galian. Ia dibentuk oleh
tanggul-tanggul di sekelilingnya. Ketika hujan turun, air yang
tertampung di dalamnya berada di atas permukaan rata-rata
dataran. Nah, ketika air dibutuhkan, bukalah pintu air, dan
benda cair itu mendistribusikan dirinya melalui kanal-kanal dan
saluran. Sistem ini memungkinkan bersawah di musim kemarau.
Tak heran, jika sejak dulu orang bisa menanam padi dalam dua
atau tiga musim setahun, untuk mengempani penduduk yang besar.
Dan pada gilirannya: menumbuhkan topangan kekuatan politis dan
ekonomi. Pada awal musim kering, raja dapat memimpin tentaranya
ke medan perang, di sumur atau di barat, untuk kemegahan atau
pengumpulan budak. Setelah itu raja dapat memerintahkan membikin
monumen baru, baray baru, kota hidraulik baru.
Memecahkan diri dari Sungai Siem Reap yang cokelat, sebuah kanal
selebdr 15 kaki mengalir tenang ke arah barat. Pepohonan
sisi-menyisi kanal begitu tingginya, hingga ujung-ujung
cabangnya dapat bertemu. Kanal menyusuri alun-alun Angkor Thom,
membelok ke selatan dan kemudian ke barat lagi--dan di sanalah
terdapat Baray Barat, dibangun 900 tahun lalu. Terbesar di
antara semua.
Ukurannya memukau: 1/4 kali 5 mil. Sedikit dari setengah jumlah
itu, merupakan endapan yang sudah ditumbuhi tumbuh-tumbuhan.
"Sapi-sapi merumput di sana, dan di kejauhan anak-anak menaikkan
layang-layang," White melukiskan. Di bagian baratnya, aliran
tenang kanal menciptakan sebuah pulau di tengah.
Ada sebuah pintu air di sana, dibangun pada 1 950-an--dengan
bantuan AS. Kemampuan distribusi airnya mencapai 32,5 ribu are,
melalui 140 mil saluran. Para petani memiliki radio, skuter, dan
rumah dengan atap genteng. Pertanda kemakmuran.
Tapi itu 14 tahun yang lalu. Perang saudara dan teror Pol Pot
membawa kemunduran yang menukik dramatis. Penduduk menyusut.
Ladang dan sawah terlantar. Rumah-rumah berubah beratap jerami.
Penduduk susah mendapat garam--menurut seorang kepala desa.
***
Dan apa yang membawa kemunduran Angkor? Groslier percaya, proses
yang rumit itu dimulai sejak abad XI. Bagitu banyak bangunan
didirikan dan begitu banyak air yang dikonsumsikan. Sistem
pengairan memburuk secara bertahap, populasi merosot, dan
Budhisme yang fatalistis dan kaku memperoleh pendukung di
kalangan penduduk.
Serbuan orang Siam yang makin meningkat dari aral barat
akhirnya memberikan pukulan akhir yang mematikan terhadap
Angkor. Laki-laki dibunuh, para wanita dibawa pergi. Di sekitar
1430, hampir semua Angkor ditinggalkan--kendati tidak Angkor
Wat, yang menjadi "Mekah" kaum Budha setempat.
SESUDAH itu raja-raja Khmer membuat keraton jauh di selatan.
Tapi pada pertengahan abad XVI, seorang raja yang berburu gajah
dan badak "tersandung" di Angkor Thom--yang saat itu merupakan
kota mati. Raja budayawan itu kemudian membersihkan dan
memugarnya. Sekitar 50 tahun lamanya raja berganti raja kemudian
berkuasa kembali di sana. Angkor kembali berseri dan beradat
bersantun. Orang Spanyol dan Prtugis pun datang, baik yang
misionaris maupun pedagang."
Dan dari laporan-laporan para pedagang dan misionaris itulah,
yang diterbitkan awal 1600-an, diperoleh informasi pertama
tentang Angkor oleh pihak Eropa. "Keajaiban ini," kata mereka,
"tidak boleh tidak tentu diciptakan oleh Iskandar Zulkarnaen
atau orang-orang Romawi Kuno, atau yahudi-yahudi dari . . .
Cina." Tapi kemudian, sekali lagi Angkor Wat dikuasai
burung-burung dan pepohonan.
***
Burung yang hinggap di candi-candi yang tersia-sia itu,
menjatuhkan kotorannya di sana. Dan bersama kotoran terikutkan
biji-biji ara, yang lalu tumbuh dan berakar. "Ketika batangnya
semakin besar, merekahkan batu candi," tulis White. Rambatan
akar-akarnya juga mendorong batu candi kebawah. Ketika pohon
mati, akar, batang dan daun membusuk--dan membentuk humus.
Ini sudah menjaui pemandangan biasa di Angkor. White melihatnya
di Ta Prohm--malah berlangsung di depan hidung BP Angkor. Mereka
sedang mendaki melalui balok-balok tanah liat merah yang
terpungging, berlumut dan licin ketika Keo berbisik, "Lihat,
ular Hanoman!"
Seperti kita tahu, Hanoman adalah nama pemimpin pasukan tentara
kera dalam cerita wayang, yang berani dan gesit. Ular itu memang
melompat, terbang, cekatan seperti Hanoman dalam medan tempur.
Panjangnya hanya satu kaki, hijau zamrud yang indah sekali, tapi
sangat berbisa.
Batu-batu candi yang rontok, bahkan kerangka bangunan, sering
ditemukan bagai tumpukan puing. Sejumlah candi Angkor pertama
kali ditemukan dalam keadaan begini-Preah Khan, Ta Keo--hanya
tumpukan puing. Ketika dibenahi, untungnya, tanpa kecuali masih
dalam keadaan baik - tanah yang menutupinya mencegahnya dari
lumut dan cendawan.
Groslier membuat banyak foto dalam peninjauan melalui udara, dan
melaporkan masih banyak lagi tumpukan puing candi. Dari
candi-candi yang lumayan besarnya, agaknya dapat diharapkan
beribu-ribu bahan bangunan dari perunggu terselamatkan.
Dibandingkan dengan situs-situs arkeologi di Yunani dan Mesir,
kata Groslier, "Angkor praktis masih perawan."
Di Angkor dan sekitarnya, seperti juga di mana pun di Kamboja
sekarang, seseorang dapat bertemu dengan serdadu Republik
Sosialis Vietnam. Mereka datang mengusir rezim Pol Pot, dan
sampai kini masih menduduki sebagian besar negeri, berjaga-jaga
terhadap kembalinya Pol Pot--yang sekarang bersekutu dengan
Sihanouk dan Kieu Sampan. Berkeliling di sekitar Bayon suatu
pagi, White sempat bertemu dengan beberapa di antara prajurit
Vietnam--tanpa senjata, dan ceria, "Salah scorang mengambil
gambarku. Aku sendiri menjepret mereka diam-diam."
Adalah Jenderal Vo Nguyen Giap yang berjaya terhadap ekspedisi
militer Prancis pada 1950-an--dan belakangan juga terhadap AS.
Ia hanya tiga jam di Angkor Wat, lalu pergi. Ia tak pernah ke
Bayon--yang bas-reliefnya menggambarkan pertempuran darat dan
laut antara Khmer dan Campa. Juga ada gambar orang-orang Vietnam
yang bertempur untuk raja Campa. Orang Khmer menyebut orang
Campa dan serdadu-serdadu bayarannya dengan istilah Sanskerta
yavana: bajingan biadab asing. Dari sini pula datang sebutan
youn, panggilan lecehan orang Khmer terhadap orang Vietnam
sekarang.
Keo tampak semakin gugup, ketika ia bersama White bertambah
mendekati monumen. White sendiri mengaku, panorama tumpukan
bebatuan candi dilingkungi kehijauan itu cukup menenteramkan
perasaan. Maklum di negerinya langka pemandangan begini. Apalagi
ditambah ini: kereta lembu dan sepeda yang melenggang di jalan
anah yang lengang.
Apa yang dikhawatirkan pengarang itu adalah kemungkinan hancur
atau hilangnya bagian-bagian paling berhara dari monumen
bersejarah itu. Patung-patung pada sompal oleh peluru. Di Angkor
Wat ada bas-relief parade besar-besaran angkatan perang Suryaman
lengkap dengan kereta dan gajah, dan obor suci di kepala
barisan. Di sana ada lubang peluru meriam. "Pasukan artileri
pemerintah, mengarahkan moncong meriamnya ke pasukan Khmer
Merah, tentu, tapi melenceng," menurut White.
Di dekat Bayon tergeletak sepotong kepala Budha, yang terlempar
dari tempatnya semula karena dinamit Khmer Merah. Tulis White,
"Ketika aku laporkan hal itu kepada Groslier ilmuwan senior
pemerintah di Paris, berkomentar bahwa itu berasal dari abad
XVI, dan secara artistik tidak penting."
Tapi White berpendapat lain. Orang harus ingat, katanya,
sejumlah benda artistik Angkor lenyap dari tempat aslinya,
untuk kemudian muncul di museum-museum dunia. Apa yang lalu
dicoba jaga dan pelihara oleh BP Angkor pada-1950-an menjadi
sia-sia, dengan meningkatnya pencurian.
Groslier menyaksikan sendiri, patung berharga yang disebut Raja
Lepra di Angkor Thom, lehernya terluka. Tentu ini ulah
seseorang. Groslier mengirimkannya ke museum Phnom Penh dan
membikinkan reproduksinya. Tapi pencuri tengik menggondolnya.
Preah Khan juga mengalami pukulan serupa. Pada 1968, Garett
memotret jajaran lempeng batu bergambar para dewa di gerbang
utara. Saat itu hanya satu kepala yang dipenggal. Kini: dua,
tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan . . . Lenyap
melalui perbatasan Thai, atau pindah ke Vietnam? Atau masih di
gudang para tengkulak, di Bangkok? Atau lainnya?
***
Berulang kali sudah Angkor dikunjungi para pejabat organisasi
interna sional. "Banyak omongan tentang bantuan, tapi tidak
tindakan," komentar White sebal.
Dari kalangan pemerintah negeri-negeri asing, India memang ada
memberi kursus arkeologi kepada orang-orang Khmer di New Delhi,
di samping mengirimkan peralatan untuk laboratorium foto.
Barang-barang itu masih di Phnom Penh. Uni Soviet mengundang
Pich Keo dan sejumlah rekannya ke Moskow, untuk survei teknik
pemugaran. Sebuah organisasi Katolik Roma yang berpular di Paris
mengirimkan peralatan gambar berikut kertasnya, sepuluh
sepeda, satu truk merk Toyota. "Hanya setetes air di bak mandi."
Kembali ke Phnom Penh Kepala Direktorat Pemugaran Monumen
berkata, RUU pencegahan pengrusakan dan pencurian benda-benda
bersejarah sedang disiapkan. "Terdiri dari 104 pasal, dengan
ancaman hukuman yang berat," kata pejabat itu. Ia lalu mengantar
White ke bengkel barang sovenir. "Dijual untuk mengumpulkan
dana." Atas nama Menteri Kebudayaan RRK, ia lalu mengucapkan
terima kasih pada Garrett yang membawa ke sana buku-buku dan
dokumen berharga. "Akan sangat membantu," katanya. "Angkor
memang warisan nasional kami, tapi juga warisan seluruh dunia."
"Kutatap untuk akhir kalinya sosok yang paling mempesonakan dari
candi Angkor: apsara--sang penari sari surga." Demikian tulis
White dalam bagian akhir karangannya.
Kembaran dari penari penghibur kerajaan Khmer ini pernah
digondol pulang orang Siam pada 1394. "Namun tariannya yang
memancing selera masih tetap berlangsung," menurut White. Pada
abad XIX, di Istana Bangkok, seorang gubernur wanita Inggris,
Anna Leonowens, mengagum inya dalam pementasan Anna dan Raja
Siam.
Anna Leonowens lalu menuliskan kesan gemulainya lengan dan jari
dalam lenturan-lenturan yang musykil --lekukan-lekukan tubuh
yang meliuk-liuk bak daun kering dalam semilirnya angin.
"Matanya," kata Leonowens, "memancar dari lubuk perasaan yang
paling .... "
Ningrat Inggris itu menyebutnya "keajaiban seni." Belakangan,
tari semacam itu bisa disaksikan, bukan di Istana, tapi
hotel-hotel Bangkok, di bawah judul yang menyala: "Thai
classical dancing." Sebagai komoditi.
Dari dinding-dinding Angkor masih memancar senyuman apsara yang
ideal itu, dibentuk dari batu pasir, sebagai sajian hiburan bagi
para dewa. Sayangnya mereka sangat menderita di bawah pemusnahan
yang dilakukan waktu dan peperangan, serta vandalisme tak
berotak. Masih lengkapkah, 17 ribu apsara di Angkor Wat dan
ribuan lainnya di Angkor yang lain?
Dan mungkinkah menemukan cara yang sip untuk menyelamatkan dan
memelihara keindahannya? Begitu huru-hara berhenti, warisan
nenek moyang dunia itu memang tidak terganggu urusan perang.
Tapi menjadi urusan dagang. Hayya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini