Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Angkor wat, betapa masa depanmu ankgor wat, betapa masa depanmu

Angkor wat di kamboja mengalami kehancuran, disamping menjadi sasaran peluru akibat perang, juga mulai rontok satu per satu.(sel)

9 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BULAN menyusup dan memancing syair." Demikian Ho Chi Minh, pemimpin Vietnam yang juga penyair. "Tapi tunggu sampai besok. Aku sibuk urusan perang." Dan itu tidak hanya Ho Chi Minh. Dan tidak hanya di Vietnam. Juga di Khmer, perang menyebabkan nilai budaya yang paling luhur pun menjadi tak berharga. Candi-candi Angkor bukan saja terbengkalai dan tersia-sia, tapi juga jadi sasaran peluru. Secara kait-berkait, kegawatan paling puncak bermula ketika Khmer Rouge, Khmer Merah, mulai berkuasa di Kamboja bulan April 1975. Penuh endam, secara sistematik mereka tercatat mengadakan pembantaian bangsa sendiri--yang mungkin sukar ditemukan contohnya dalam sejarah. "Dalam empat tahun tiga juta mati oleh kelaparan, penyakit, kerja paksa atau penjegalan," tulis Wilbur E. Garret dalam National Geographic. Belum termasuk akibat pengeboman AS sebelumnya -- terhadap sarang-sarang persembunyian Vietcong. Tahun 1979 masuk pula musuh turun-temurun Bangsa Khmer, Vietnam, mendesak Khmer Merahnya Pol Pot ke perbatasan Thai. Pada saat yang lain giliran gerilyawan Pol Pot dan Son Sann yang menyerang 180 ribu tentara pendudukan Vietnam. Jumlah korban meloncat. Dan Candi Angkor, saksi sejarah Kekaisaran Khmer yang pernah berkuasa di Indocina selama enam abad, tak lepas dari kecenderungan pembinasaan. Dalam bahasa Khmer, angkor berarti 'kota' atau 'ibukota'. Kompleks candi-candi itu terletak diantara Pebukitan Kulen dan Danau Tonle Sap, konon dibangun selama 37 tahun. Jumlah batunya saja 3 ribu gerobak sapi. Di sini, antara abad IX dan XIII Masehi, sejumlah raja Khmer berturut-turut membangun beberapa ibukota. Di dalamnya termasuk jaringan irigasi yang musykil, dalam usaha mengendalikan air di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau, untuk persawahan penduduk. Sudah tentu juga sejumlah bangunan dari tanah liat, bata, batu-pasir. Dan yang paling megah dan perkasa memang Angkor Wat. "Inilah kreasi agung para penguasa dan seniman dengan konsep universal, kepercayaan beragama yang dalam," kata Peter T. White memuji-muji. White, untuk keperluan penulisan di National Geographic bersama dengan Garret dan tukang potret Dave Harvey, beruntung diizinkan mengunjungi Angkor beberapa waktu yang lalu. Katanya, perpaduan keagungan fisik dan spiritual seperti Angkor Wat itu hanya bisa ditemui dalam kebudayaan Yunani dan Mesir Kuno, Maya dan Aztec, Eropa abad pertengahan dan pada kathedral-kathedral Gothik. White tidak menyebut Borobudur, memang. "Itulah Angkor. Sayang, kecemerlangannya mulai pudar sejak abad XIII," tulisnya. Pada abad XX, Angkor menjadi model pemugaran. Arkeologi modern dan ilmu fisika berhasil menemukan sejumlah monumen sangat mengesankan, dari penggalian maupun ketakscngajaan. Setelah dipugar, penemuan itu dibiarkan berada di tempat asalnya di tengah kehijauan lingkungan tropika. Dalam pandangan para ahli, penemuan itu merupakan bukti disiplin kerja, anugerah alam yang liar-subur, yang harmonis meskipun juga dramatis--dan dalam jumlah mengagetkan. Itulah Angkor pada awal dasawarsa ini. "TAPI bagaimana Angkor kini?" tanya White. "Perang dan kerusuhan politik memaksa para arkeolog dan petugas pemeliharaan henglang dari sana di tahun 1972." Dan sejak saat itu para sejarawan seni dan direktur museum bertanya-tanya: apa yang terjadi dengan Angkor? Laporan-laporan yang dibawa sementara pengunjung yang kebetulan berhasil menerobos ke sana, memberikan informasi yang saling bertentangan. Sebagian mengata kan tidak melihat kehancuran yang berarti. Yang lain bilang: mulai rontok satu per satu, dikerjain pencuri, dibantai meriam artileri, dan semacamnya Dikisahkan pula adanya pemenggalan leher patung-patung, untuk dibawa ke perbatasan Thai dan ditukarkan dengan garam--sejumlah berat kepala patung itu sendiri--kemudian berpindah-pindah tangan dan akhirnya menjadi milik seorang kolektor kaya. White terakhir berada di Angkor tahun 1968. Katanya: "Ketika beberapa waktu berselang kembali ke sana, saya waswas." *** Di hari pertama kedatangannya, White berdiri di depan galeri luar Angkor Wat yang panjangnya setengah mil. Dinding-dindingnya dipenuhi bas-relief, terbagi dalam delapan lempeng, setiap lempeng tingginya 6 kaki dan panjangnya 160 sampai 300 kaki. Lempengan di depannya itu merupakan urutan cerita: para dewa dan jin "sedang mengaduk Lautan Susu untuk membuat penganan berkhasiat penangkal semua penyakit." Tema cerita berasal dari literatur Hindu, dan peradaban Khmer Kuno memang bercikal-bakal India. Pada masa Kemaharajaan Romawi, saat hubungan dagang India-Laut Tengah mencapai puncaknya, para pedagang India yang ingin memburu emas dan permata, rempah-rempah, kayu cendana dan obat-obatan mengirim kapal-kapalnya ke Asia Tenggara. Dengan cara ini mereka mengembangkan diri sebagai pedagang perantara, dan berabad-abad lamanya diterima orang Khmer. Akibatnya, penduduk bukan hanya beroleh barang dagangan.Tapi juga aksara Sanskerta, astronomi, matematika, teknologi dan agama Tentu saja tidak secara mentah-mentah. Dengan cara dem ikian lah bangsa Khmer punya kaitan kultural dengan India--asimilatif, seperti juga Prancis dengan Romawi. Tak heran jika para pendiri Angkor mempersembahkan candi-candinya kepada Syiwa, Brahma dan Wishnu. Di Pebukitan Kulen mereka memahat palung-palung sungai dengan beribu-ribu motif lingga, yakni (maaf) kemaluan laki-laki, yang merupakan lambang kekuatan kreatif Syiwa. Manfaatnya konon untuk mensucikan air sungai yang mengairi Dataran Angkor. Candi-candi--Phnom Bakheng, Baphoum, Angkor Wat--merupakan model yang mendunia. Bangunan segi empat yang tertutup dari segala arah, menggambarkan bumi yang dipagari barisan pegunungan, dan nun di sana samudra tak bertepi. Di tengahnya berdiri Gunung Meru, tempat bersinggasana para dewa, yang merupakan subyek langgeng penciptaan dan penghancuran. MENGUKUR usia Angkor Wat tampaknya tak gampang. Sejarawan seni Amerika, Eleanor Mannikka, mencoba menhitung parit selebar 617 kaki dengan ukuran Khmerhat. Hasilnya. 432 ribu tahun "masa kemunduran". Jarak antara jembatan dengan ambang pusat candi, sepanjang 2.469 kaki, dihitung sebagai 1.728.000 'tahun emas'. Seorang Brahma dari awal abad XII, yang melintasi bas-relief dan urut-urutan teras, harus berkali-kali mundur menghadapi ukuran yang penuh arti itu. Ini sama seperti yang dibuat Suryawarman ketika melakukannya pertama kali, 1131--menghadapi gambar agung Wishnu, menurut Eleanor Mannikka. Di sana, "Waktu berhenti, nirwana dan ruang muncul. Dan perjalanan dalam waktu yang lama akan berakhir pada ketakterhinggaan." Wajah Wishnu telah lama lenyap. "Kini di menara tengah, saya melihat lima Budha," tulis White. "Ini mencerminkan terjadinya perubahan mendasar pada akhir abad XII." Bangsa Campa--yang sempat beberapa kali menjadi vassal Khmer-datang dari arah timur dan merampoki Angkor. Itu terjadi tahun 1177. Bangsa Khmer benar-benar terpukul dibuatna. Raja Jayawarman VII sempa membalas dendam, kemudian membangun kembali Angkor. Tapi dewa-dewa Hindu ternyata gagal menjadi pelindungnya. Jayawarman tidak meniadakan pemujaan kaumnya, kendati ia sendiri mempersembahkan ibukota barunya--Angkor Thom ("Kota Besar")--kepada pelindungnya yang baru, juga asal India: Budha. Angkor Thom dikelilingi parit selebar 300 kaki Monumen terbesar yang dibangun Jayawarman, Bayon, terletak di pusat Angkor Thom. Sejumlah 216 dewa tampil di candi-candi yang dinilai White sehebat Angkor Wat, dan mempunyai 54 menara kecil yang merupakan 'kiblat' penyembahan. Salah sebuah menara itu, yang terletak di pusat, pernah disambar peluru. Prasasti terakhir dalam bahasa Sanskerta dari Candi Angkor bertahun 1327. Mulanya dalam bahasa Pali, dialek India yang biasanya dipakai dalam naskah-naskah Budha, bertahun 1309. Dalam bahasa Sanskerta candi itu di sebut Yosadhapura. Di sekitar abad XVI memleloleh nama Khmer, Angkor. Sejak itu nama Angkor Wat lebih terkenal . *** Sambil berkeringat di bawah udara lembab dan panas, White bertanya: Mengapa atap galeri Lautan Susu bisa lenyap? Ternyata dibongkar oleh Badan Pemugaran Angkor (BP Angkor) sendiri di tahun 1969. Beratus-ratus balok dari batu-pasir bergeletakan di sekitarnya. Baselief di dinding tampak berlumur noda-noda hitam. "Saya harus berhadapan langsung dengan masalah mendasar Angkor," kesimpulannya. Pertama masalah bangunan. Untuk fondasi monumen, orang-orang kuno itu menimbun parit-parit di dasar monumen dengan pasir halus, yang memungkinkan dinding-dinding tanpa campuran semen berdiri dengan kukuhnya--di atas lempeng tanah liat merah yang diletakkan di atas pasir. Setelah berabad-abad, hujan memindahkan lapisan pasir itu. Dan bangunan candi turuu dan retak-retak. NAH, balok-balok batu pasir yang disusun dengan rapinya itu juga cenderung rusak. Harap tahu, batu pasir terdiri dari partikel-partikel mineral tanah endapan, relatif lembut kayak odol. Mungkin mirip yang orang Jawa sebut dengan 'lempung'. Berabad-abad diterobosi air hujan, sang odol tentu kewalahan juga. Lalu "balok-balok itu hancur. Benda-benda yang ditopangnya pun rubuh." Masalah kedua bersifat bio kimiawi. Yakni sejenis penyakit kulit. Air menetes turun dari atap, merembes dari tanah melalui aksi kapiler, membawa senyawa organik, sering bersama sulfur. Ketika air menerobosi batu lalu keluar kembali, berwujud penguapan, sang sulfur celaka menempelkan dirinya di permukaan batu. Bakteri datang, la mengoksidasikan sulfur tadi, dan merusak ukiran yang ada. Begitu, konon. Karenanya untuk menghentikan "transmigrasi" air, BP Angkor memilih dua cara drastis. Pertama, membongkar. Setelah itu, memugar bagian yang perlu dengan seksama dan hati-hati. Yaitu dengan cara yang disebut anastylosis, seperti yang diterapkan pada pemugaran Acropolis, Athena, di abad XIX. Ini berarti rekonstruksi monumen dilakukan dengan memakai bahan-bahan bangunan asli, ditambah bahan-bahan baru, jika sangat terpaksa. Juga berarti adanya pembangunan beton baru--sehingga dinding-dinding mampu berdiri kukuh dan tak di-embesi air. Dinding beton bagian dalam juga baru. Juga saluran-saluran air, yang menampung air hujan dan megnyahkannya. Banyak pekerjaan telah dirampungkan--di Baphuon, di Prasat Kravanh, bagian dari Angkor Wat. Galeri Lautan Susu telah diberi fondasi baru, berikut saluran air. Tapi sebelum atapnya dipasang, "waktu bagi BP Angkor telah habis," ungkap White. Disponsori Pemerintah Prancis-yang pernah menjajah Indocina--BP Angkor mulai bertugas sejak 1908. Dan sejak 1953, ketika Kamboja merdeka, Pemerintah Kerajaan (Sihanouk) bersama Prancis membiayai pemugaran. BP ini punya markas besar dan tenaga pembangkit listrik sendiri--yang sangat merangsang para arkeolog. Juga truk, buldoer, jip, kerek (ada yang 200 kaki tingginya), stasiun cuaca, laboratorium yang pakai AC. Lalu para insinyur, arsitek, tukang potret, operator, juru gambar, dan seribuan buruh kasar. MENARA-MENARA Angkor diperiksa secara teratur oleh seorang ahli topografi, dengan theodolite. "Satu milimeter miring bisa berarti kesalahan," kata penulis yang senang meliput masalah Vietnam dan Laos itu. Ia ingat tahun 1968, Bernard Philippe Groslier, arkeolog yang bertugas di sana, mengatakan kepadanya "hampir memperoleh apa saja yang dibutuhkan." Tapi segera setelah itu perang saudara pun menyergap Kamboja. Dan apa yang menyertainya, dari 1975 sampai 1979, adalah berkuasanya rezim Khmer Merah pimpinan Pol Pot. "Teror, pembantaian dan pelaparan yang dilakukannya, juga bisa dilihat bekas-bekasnya di dinding-dinding Angkor Wat," kata pengarang yang sama. Penggalan kepala arca (hidungnya sompel) yang tergeletak di tepi jalan setapak bisa bercerita banyak. Pada bas-relief dinding candi seorang 'dewi' terluka kedua pahanya, dikenai peluru AK. "Ia (candi) berhasil selamatdari penjarahan Bangsa Campa di abad XII dan dari Bangsa Siam di abad XV, tapi tidak dari kemelut belakangan ini," tulis Garrett. White dalam kunjungan belakangan ini sempat-bertemu dengan pembantu Groslier, bernama Pich Keo. "Saya punya sejumlah tenaga tak terlatih, sebuah truk kecil dan sebuah sepeda," kata si Khmer Keo. "Tapi tak cukup untuk menebasi semak-semak yang mengerubungi candi . . . " *** Si Keo lalu menjadi pemandu White. Memakai scbuah jip milik pemerintah, mereka membutuhkan dua hari untuk perjalanan dari Phnom Penh ke lokasi candi. Mula-mula dikunjungi Prasat Kravanh--salah satu candi yang terawal dibangun, 921 Masehi, dari bahan bata. Ada lima sanctuary (semacam altar pemujaan) berbentuk menara yang dirampungkan semasa Harshawarman I. Henri Marchal dan Georges Trouve menemukan dan membenahinya di hutan di tahun 1930. Lalu dibangun kembali dengan fondasi baru, berikut dinding dalam dan saluran air, oleh oleh Groslier pada 1960-an. Ketika itu bata-bata disusun kembali ke tempat semula. Yang pecahpecah dipindahkan hati-hati, dan dibuat reproduksinya. Yang baru itu ditandai dengan CA--kependekan Conservancy, nama Inggris untuk Badan Pemugaran. Ini sesuai dengan sistem anastylosis yang dipakai. MENARA pusat, aslinya tertutup, atasnya dibiarkan terbuka sehingga mudah tersentuh sinar matahari. Sebuah kaca khusus dijadikan penutup untuk menyaring radiasi yang dapat merusakkan pahatannya. "Kaca itu kena peluru," lapor White pula. Sedang "pintu bajanya--yang terkunci, untuk mencegah vandalisme - telah lenyap." Kata Keo, rumput-rumput di luar candi sudah dipotong sebulan sebelumnya. Tapi kini setinggi lutut. Karena kebetulan musim hujan, kan? Raja Jayawarman VII rupanya rajin mandi. Buktinya, ia memiliki kolam mandi, Sras Srang namanya, dengan kedalaman antara 1.300 dan 2.500 kaki. "Dulu penuh air. Kini penuh rumputan," kata White pula. Banteay Kdei adalah nama sebuah benteng yang penuh kamar-kamar kecil yang dihubungkan dengan galeri. Dulu dihuni para pendeta. Kini berantakan, dihuni nyamuk. Balok-balok batu bergeletakan di tempat runtuhnya sebuah galeri, hijau lumutan. Matahari menerobos melintasi siku-siku atap yang kayaknya tak lama lagi akan turut terjun. Di tengah sebuah kamar yang penuh sampah, dulu berdiri sebuah patung, White melihat pelepah kelapa yang mengarang. "Seseorang membakarnya untuk menimbulkan asap," kata Keo, "supaya kelelawar berjatuhan." Sop kelelawar konon enak. White pernah melihat sepasang tiang yang diklem jadi satu. Klemnya dari perunggu. "Klem ini telah lama hilang entah ke mana, mungkin untuk keperluan yang bersifat magis," katanya. Sebuah pisau perunggu bagi orang Khmer punya keampuhan istimewa. Pada awal 1920-an, BP Angkor mengklem kembali sejoli tiang itu dengan simpai baja. "Itu pun hilang," kata White. "Mungkin untuk pelek kereta lembu." Di kamar lain, duduk sebuah patung Budha--dada, perut, pusar, lengan, pergelangan tangan, penuh coretan dengan cat hitam. Soalnya orang Khmer memang senang tatu--untuk melindungi diri dari penyakit dan kecelakaan. Dengan men"tatu" sang Budha, rasa aman diri bisa semakin bertambah. "Tapi apa maksudnya menggambari lengan Budha dengan sebuah jam tangan?" tanya White. Eh, belakangan ia memperoleh jawaban dari yang berwewenang. Begini. Ketika Khmel- Malah berkuasa, semua agama dicerca - secara resmi. Satu atau dua cecunguk, dengan restu sang majikan menggambari Budha-sambil menambahi sebuah jam tangan di pergelengannya, konon merk Omega. "Dengan harapan memperoleh sebuah jam untuk dirinya," menurut yang berwewenang," disamping kekuatan magis." Masih tentang magi, di ceruk Bayon yang gelap ada sebuah sumur. Inang-inang Cina dari Phnom Penh konon sudi membeli airnya untuk dipakai mandi. "Bisa kaya dan mampu menarik perhatian pria," kata mereka. Serdadu-serdadu pun mengisi flesnya dengan air yang sejuk, jernih dan menyegarkan itu. "Seorang tua gentleman mencoba meyakinkan saya bahwa air sumur itu dapat memperpanjang usia," cerita White. Tahunnya 1968. Sekitar 70 ribu turis datang, umumnya orang Amerika yang sedang keliling dunia. Mereka tinggal di hotel mewah, di jalan utama menuju Angkor Wat. Jumlah itu merupakan bagian dari 100 ribuan yang diharapkan datang pada 1970. Dan untuk itu Air Fronce mendirikan sebuah hotel yang lain. Tapi harapan buyar: gerilyawan komunis Vietnam menyerbu masuk dan menyerang pasukan pemerintah. Sejak saat itu dan hingga seterusnya, Khmer Merah dan sekutu-sekutunya bermain kembang api di sekitar Angkor. Pariwisata pun terhenti. Groslier diperbolehkan meneruskan pekerjaannya dalam batas-batas tertentu, tapi pada 1972 ia diperintahkan pergi. Kini sejumput pengunjung masih datang. Mereka terdiri dari delegasi resmi negeri-negeri Komunis, para pejabat lembaga bantuan internasional yang ada di Phnom Penh. Mereka ditempatkan di Grand Hotel yang tua di ibukota provinsi Siem Reap, tiga mil dari Angkor. Hotel ini aliran air dan listrik pada malam hari. Paginya, sebelum matahari bersinar, bangku-bangku sudah dikuasai kambing-kambing. Mengunjungi monumen memerlukan kawalan bersenjata Hansip provinsi - karena bisa saja tiba-tiba gerilyawan Pol Pot menyelusup dan menyerang. "Pagi itu Hansip harus membawa senjata ekstra, granat sundut." Bagaimana granat sundut itu, tak diterangkan. Kemakmuran Khmer tergantung pada air--pada distribusi airnya yang langgeng di seluruh musim. Musim hujan sendiri bisa datang lebih cepat atau lebih lambat--dan karenanya, ketika mereka membangun Angkor, mau tak mau juga berarti membangun kota hidraulik. Ada kanal-kanal, parit-parit !ebar, dan bony--waduk persegi panlang yang sangat besar. BARAY tidak merupakan waduk galian. Ia dibentuk oleh tanggul-tanggul di sekelilingnya. Ketika hujan turun, air yang tertampung di dalamnya berada di atas permukaan rata-rata dataran. Nah, ketika air dibutuhkan, bukalah pintu air, dan benda cair itu mendistribusikan dirinya melalui kanal-kanal dan saluran. Sistem ini memungkinkan bersawah di musim kemarau. Tak heran, jika sejak dulu orang bisa menanam padi dalam dua atau tiga musim setahun, untuk mengempani penduduk yang besar. Dan pada gilirannya: menumbuhkan topangan kekuatan politis dan ekonomi. Pada awal musim kering, raja dapat memimpin tentaranya ke medan perang, di sumur atau di barat, untuk kemegahan atau pengumpulan budak. Setelah itu raja dapat memerintahkan membikin monumen baru, baray baru, kota hidraulik baru. Memecahkan diri dari Sungai Siem Reap yang cokelat, sebuah kanal selebdr 15 kaki mengalir tenang ke arah barat. Pepohonan sisi-menyisi kanal begitu tingginya, hingga ujung-ujung cabangnya dapat bertemu. Kanal menyusuri alun-alun Angkor Thom, membelok ke selatan dan kemudian ke barat lagi--dan di sanalah terdapat Baray Barat, dibangun 900 tahun lalu. Terbesar di antara semua. Ukurannya memukau: 1/4 kali 5 mil. Sedikit dari setengah jumlah itu, merupakan endapan yang sudah ditumbuhi tumbuh-tumbuhan. "Sapi-sapi merumput di sana, dan di kejauhan anak-anak menaikkan layang-layang," White melukiskan. Di bagian baratnya, aliran tenang kanal menciptakan sebuah pulau di tengah. Ada sebuah pintu air di sana, dibangun pada 1 950-an--dengan bantuan AS. Kemampuan distribusi airnya mencapai 32,5 ribu are, melalui 140 mil saluran. Para petani memiliki radio, skuter, dan rumah dengan atap genteng. Pertanda kemakmuran. Tapi itu 14 tahun yang lalu. Perang saudara dan teror Pol Pot membawa kemunduran yang menukik dramatis. Penduduk menyusut. Ladang dan sawah terlantar. Rumah-rumah berubah beratap jerami. Penduduk susah mendapat garam--menurut seorang kepala desa. *** Dan apa yang membawa kemunduran Angkor? Groslier percaya, proses yang rumit itu dimulai sejak abad XI. Bagitu banyak bangunan didirikan dan begitu banyak air yang dikonsumsikan. Sistem pengairan memburuk secara bertahap, populasi merosot, dan Budhisme yang fatalistis dan kaku memperoleh pendukung di kalangan penduduk. Serbuan orang Siam yang makin meningkat dari aral barat akhirnya memberikan pukulan akhir yang mematikan terhadap Angkor. Laki-laki dibunuh, para wanita dibawa pergi. Di sekitar 1430, hampir semua Angkor ditinggalkan--kendati tidak Angkor Wat, yang menjadi "Mekah" kaum Budha setempat. SESUDAH itu raja-raja Khmer membuat keraton jauh di selatan. Tapi pada pertengahan abad XVI, seorang raja yang berburu gajah dan badak "tersandung" di Angkor Thom--yang saat itu merupakan kota mati. Raja budayawan itu kemudian membersihkan dan memugarnya. Sekitar 50 tahun lamanya raja berganti raja kemudian berkuasa kembali di sana. Angkor kembali berseri dan beradat bersantun. Orang Spanyol dan Prtugis pun datang, baik yang misionaris maupun pedagang." Dan dari laporan-laporan para pedagang dan misionaris itulah, yang diterbitkan awal 1600-an, diperoleh informasi pertama tentang Angkor oleh pihak Eropa. "Keajaiban ini," kata mereka, "tidak boleh tidak tentu diciptakan oleh Iskandar Zulkarnaen atau orang-orang Romawi Kuno, atau yahudi-yahudi dari . . . Cina." Tapi kemudian, sekali lagi Angkor Wat dikuasai burung-burung dan pepohonan. *** Burung yang hinggap di candi-candi yang tersia-sia itu, menjatuhkan kotorannya di sana. Dan bersama kotoran terikutkan biji-biji ara, yang lalu tumbuh dan berakar. "Ketika batangnya semakin besar, merekahkan batu candi," tulis White. Rambatan akar-akarnya juga mendorong batu candi kebawah. Ketika pohon mati, akar, batang dan daun membusuk--dan membentuk humus. Ini sudah menjaui pemandangan biasa di Angkor. White melihatnya di Ta Prohm--malah berlangsung di depan hidung BP Angkor. Mereka sedang mendaki melalui balok-balok tanah liat merah yang terpungging, berlumut dan licin ketika Keo berbisik, "Lihat, ular Hanoman!" Seperti kita tahu, Hanoman adalah nama pemimpin pasukan tentara kera dalam cerita wayang, yang berani dan gesit. Ular itu memang melompat, terbang, cekatan seperti Hanoman dalam medan tempur. Panjangnya hanya satu kaki, hijau zamrud yang indah sekali, tapi sangat berbisa. Batu-batu candi yang rontok, bahkan kerangka bangunan, sering ditemukan bagai tumpukan puing. Sejumlah candi Angkor pertama kali ditemukan dalam keadaan begini-Preah Khan, Ta Keo--hanya tumpukan puing. Ketika dibenahi, untungnya, tanpa kecuali masih dalam keadaan baik - tanah yang menutupinya mencegahnya dari lumut dan cendawan. Groslier membuat banyak foto dalam peninjauan melalui udara, dan melaporkan masih banyak lagi tumpukan puing candi. Dari candi-candi yang lumayan besarnya, agaknya dapat diharapkan beribu-ribu bahan bangunan dari perunggu terselamatkan. Dibandingkan dengan situs-situs arkeologi di Yunani dan Mesir, kata Groslier, "Angkor praktis masih perawan." Di Angkor dan sekitarnya, seperti juga di mana pun di Kamboja sekarang, seseorang dapat bertemu dengan serdadu Republik Sosialis Vietnam. Mereka datang mengusir rezim Pol Pot, dan sampai kini masih menduduki sebagian besar negeri, berjaga-jaga terhadap kembalinya Pol Pot--yang sekarang bersekutu dengan Sihanouk dan Kieu Sampan. Berkeliling di sekitar Bayon suatu pagi, White sempat bertemu dengan beberapa di antara prajurit Vietnam--tanpa senjata, dan ceria, "Salah scorang mengambil gambarku. Aku sendiri menjepret mereka diam-diam." Adalah Jenderal Vo Nguyen Giap yang berjaya terhadap ekspedisi militer Prancis pada 1950-an--dan belakangan juga terhadap AS. Ia hanya tiga jam di Angkor Wat, lalu pergi. Ia tak pernah ke Bayon--yang bas-reliefnya menggambarkan pertempuran darat dan laut antara Khmer dan Campa. Juga ada gambar orang-orang Vietnam yang bertempur untuk raja Campa. Orang Khmer menyebut orang Campa dan serdadu-serdadu bayarannya dengan istilah Sanskerta yavana: bajingan biadab asing. Dari sini pula datang sebutan youn, panggilan lecehan orang Khmer terhadap orang Vietnam sekarang. Keo tampak semakin gugup, ketika ia bersama White bertambah mendekati monumen. White sendiri mengaku, panorama tumpukan bebatuan candi dilingkungi kehijauan itu cukup menenteramkan perasaan. Maklum di negerinya langka pemandangan begini. Apalagi ditambah ini: kereta lembu dan sepeda yang melenggang di jalan anah yang lengang. Apa yang dikhawatirkan pengarang itu adalah kemungkinan hancur atau hilangnya bagian-bagian paling berhara dari monumen bersejarah itu. Patung-patung pada sompal oleh peluru. Di Angkor Wat ada bas-relief parade besar-besaran angkatan perang Suryaman lengkap dengan kereta dan gajah, dan obor suci di kepala barisan. Di sana ada lubang peluru meriam. "Pasukan artileri pemerintah, mengarahkan moncong meriamnya ke pasukan Khmer Merah, tentu, tapi melenceng," menurut White. Di dekat Bayon tergeletak sepotong kepala Budha, yang terlempar dari tempatnya semula karena dinamit Khmer Merah. Tulis White, "Ketika aku laporkan hal itu kepada Groslier ilmuwan senior pemerintah di Paris, berkomentar bahwa itu berasal dari abad XVI, dan secara artistik tidak penting." Tapi White berpendapat lain. Orang harus ingat, katanya, sejumlah benda artistik Angkor lenyap dari tempat aslinya, untuk kemudian muncul di museum-museum dunia. Apa yang lalu dicoba jaga dan pelihara oleh BP Angkor pada-1950-an menjadi sia-sia, dengan meningkatnya pencurian. Groslier menyaksikan sendiri, patung berharga yang disebut Raja Lepra di Angkor Thom, lehernya terluka. Tentu ini ulah seseorang. Groslier mengirimkannya ke museum Phnom Penh dan membikinkan reproduksinya. Tapi pencuri tengik menggondolnya. Preah Khan juga mengalami pukulan serupa. Pada 1968, Garett memotret jajaran lempeng batu bergambar para dewa di gerbang utara. Saat itu hanya satu kepala yang dipenggal. Kini: dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan . . . Lenyap melalui perbatasan Thai, atau pindah ke Vietnam? Atau masih di gudang para tengkulak, di Bangkok? Atau lainnya? *** Berulang kali sudah Angkor dikunjungi para pejabat organisasi interna sional. "Banyak omongan tentang bantuan, tapi tidak tindakan," komentar White sebal. Dari kalangan pemerintah negeri-negeri asing, India memang ada memberi kursus arkeologi kepada orang-orang Khmer di New Delhi, di samping mengirimkan peralatan untuk laboratorium foto. Barang-barang itu masih di Phnom Penh. Uni Soviet mengundang Pich Keo dan sejumlah rekannya ke Moskow, untuk survei teknik pemugaran. Sebuah organisasi Katolik Roma yang berpular di Paris mengirimkan peralatan gambar berikut kertasnya, sepuluh sepeda, satu truk merk Toyota. "Hanya setetes air di bak mandi." Kembali ke Phnom Penh Kepala Direktorat Pemugaran Monumen berkata, RUU pencegahan pengrusakan dan pencurian benda-benda bersejarah sedang disiapkan. "Terdiri dari 104 pasal, dengan ancaman hukuman yang berat," kata pejabat itu. Ia lalu mengantar White ke bengkel barang sovenir. "Dijual untuk mengumpulkan dana." Atas nama Menteri Kebudayaan RRK, ia lalu mengucapkan terima kasih pada Garrett yang membawa ke sana buku-buku dan dokumen berharga. "Akan sangat membantu," katanya. "Angkor memang warisan nasional kami, tapi juga warisan seluruh dunia." "Kutatap untuk akhir kalinya sosok yang paling mempesonakan dari candi Angkor: apsara--sang penari sari surga." Demikian tulis White dalam bagian akhir karangannya. Kembaran dari penari penghibur kerajaan Khmer ini pernah digondol pulang orang Siam pada 1394. "Namun tariannya yang memancing selera masih tetap berlangsung," menurut White. Pada abad XIX, di Istana Bangkok, seorang gubernur wanita Inggris, Anna Leonowens, mengagum inya dalam pementasan Anna dan Raja Siam. Anna Leonowens lalu menuliskan kesan gemulainya lengan dan jari dalam lenturan-lenturan yang musykil --lekukan-lekukan tubuh yang meliuk-liuk bak daun kering dalam semilirnya angin. "Matanya," kata Leonowens, "memancar dari lubuk perasaan yang paling .... " Ningrat Inggris itu menyebutnya "keajaiban seni." Belakangan, tari semacam itu bisa disaksikan, bukan di Istana, tapi hotel-hotel Bangkok, di bawah judul yang menyala: "Thai classical dancing." Sebagai komoditi. Dari dinding-dinding Angkor masih memancar senyuman apsara yang ideal itu, dibentuk dari batu pasir, sebagai sajian hiburan bagi para dewa. Sayangnya mereka sangat menderita di bawah pemusnahan yang dilakukan waktu dan peperangan, serta vandalisme tak berotak. Masih lengkapkah, 17 ribu apsara di Angkor Wat dan ribuan lainnya di Angkor yang lain? Dan mungkinkah menemukan cara yang sip untuk menyelamatkan dan memelihara keindahannya? Begitu huru-hara berhenti, warisan nenek moyang dunia itu memang tidak terganggu urusan perang. Tapi menjadi urusan dagang. Hayya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus