Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Bom dibalik gedung bertingkat

Naskah: n. riantiarno sutradara: n. riantiarno produksi: teater koma resensi oleh: bambang bujono. (ter)

9 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BOM WAKTU Naskah & Sutradara: N. Riantiarno Produksi: Teater Koma SEKELOMPOK gelandangan muncul lagi di Teater Tertutup Taman Ismail Marzuki 24 - 30 September 1982. Lengkap dengan rumah gurem, berlapis karton, koran bekas, seng bekas dan plastik. Ada pula Pos Hansip. Juga WC seng di bawah jembatan. Sampah pun berserakan. Tak ada lalat, memang. Yang ada sinar-sinar lampu merah, biru violet, hijau dan kuning tua. Dan nun jauh di latar belakang, tampak gedun gedung bertingkat tinggi menjulang. Di kompleks itulah ada Jumini, perempuan yang menunggu. Ia selalu menunggu suami dan anaknya yang bertransmigrasi ke Lampung--yang sesungguhnya telah mati tenggelam ketika kapal yang mereka tumpangi karam. Di situ pula hidup Roima, laki-laki tulen yang berpacaran dengan Djulini (ditulis dengan ejaan lama) wadam yang kenes. Lantas sejumlah pelacur murahan . Dalam naskah, sesungguhnya mereka itu satu per satu tidak mempunyai hubungan satu dengan yang lain. Tapi mereka ada di satu kompleks gubuk-gubuk apak di balik kota yang megah. Masing-masing mempunyai cerita sendiri-sendiri, yang tidak harus dihubungkan satu sama lain. Tak ada tokoh utama. Maka terasa klop antara naskah dan konsep pemanggungan kali ini. Sutradara dengan sengaja tidak selalu menghadirkan panggung dengan utuh. Lampu seringkali hanya menyorot seputar adegan berlangsung. Entah di kanan atau kiri panggung, atau sama sekali di luar panggung--di tengah penonton misalnya. Sementara sisi yang lain gelap. Maka yang tersuguhkan adalah pertunjukan suasana demi suasana. Inilah teater yang mencampurkan dialog, peran, musik, tata panggung, permainan lampu tapi tanpa "ceriu". Hanya sebuah sketsa. Ada dialog berdua saja anura Tarsih (Titi Qadarsih) dan Kasijah (Nunuk Chaerul Umam) tentang nasib mereka sebagai pelacur. Dan bila suasana menjadi muram kemerahan, ketika lampion di belakang panggung bagaikan bulan purnama, terdengar Jumini (Ratna Riantiarno) berdesah sendiri, kadang ditemani Turkana (Topan) tetangganya. Apalagi yang dikatakannya selain tentang suami dan anaknya yang menanam cengkih di Lampung, yang segera akan menjemputnya. Atau bila panggung berdentang ramai, tentulah itu percekcokan antara Djulini (Salim Bungsu) si wadam dan Roima (Idries) pacarnya. Yang tersuguhkan memang kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi di gubuk-gubuk liar di bawah jembatam Hansip yang memeras. Gadis desa yang terpaksa mengorbankan kehormatannya agar tetap diizinkan tinggal di situ. Dan sekali-sekali muncul Abung (Syaeful Anwar) si gila dengan kostum bak pembajak atau perampok bank, disertai temannya yang selalu menggesek biola dengan lagu yang tak jelas. Abung ini bisa muncul di mana-mana: di balkon di atas penonton, di samping panggung, dan di tengah penonton. Si gila ini selalu meneriakan kalimat-kalimat yang tidak jelas maksudnya, tapi asosiatif. "Banyak orang hidup tanpa persiapan. Jiwa mereka menjerit, benjol-benjol. Berderet orang antre mencari kebahagiaan Tapi antrean mandek. Ada banyak setan kredit. Drama ini berakhir ketika Abung tewas ditembak Hansiru Karena yang pertama itu ingin memanjat ke bagian aas panggung, tempat lima orang yang dari awal sampai akhir cuma makan dan minum -- mereka agaknya mewakili golongan "atas" yang diam-diam menyaksikan apa pun yang terjadi di "bawah". Dua setengah jam penonton yang hanpir penuh, memang cukup terpaku oleh adegan per adegan yang memang ditata bagus. Lelucon-lelucon segar, terutama dari Komandan Hansip si Kumis (Dudung) dan pengawalnya si Bleki (Manta). Atau omongan kacau Abung si gila. Kata-kata sembarangan dari Djulini yang erotis. Dan tentu saja, lenggang-lenggok Tarsih dan Kasijah yang membuat Pak Camat jebol pertahanannya. Tak ada lagi tepuk-tangan penonton karena dari arah panggung tidak terdengar protes sosial yang galak. Tapi sungguh terasa ini sebuah drama puisi-kalau boleh disebut begitu - yang menyuarakan protes. Keberhasilan Riantiarno kali ini, saya kira, karena ia tidak terjatuh menjadi klise. Sukaduka masyarakat gelandangan ditampilkan dengan simpatik tapi tidak berlebihan, dan tidak mencoba membuat mereka menjadi corong protes, atau pengkhotbah dengan kata-kata mutiara dan kalimat panjang. Bambang Bujono.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus