DUA orang pamong desa diperiksa kejaksaan karena menjual tanah
bengkok. Mereka sendiri mengaku tidak berhak menjual tanah milik
desa itu. Tapi hal itu terpaksa mereka lakukan, dengan alasan,
untuk melunasi tunggakan kredit Bimas dari tiga perangkat desa
yang selama ini menggarap tanah tersebut.
Kedua pamong yang diperiksa oieh Kejaksaan Negeri Majalengka,
Jawa Barat, sejak pertengahan bulan lalu itu ialah Duding
Kamaluddin, Wakil Camat Maja dan Nurdin, Kepala Desa
Sindangkerta di Kecamatan Maja. Duding juga menjadi ketua Tim
Operasi Bimas Kecamatan Maja.
Sampai akhir pekan lalu mereka tidak ditahan. "Kejaksaan tidak
dapat main tangkap begitu saja," kata Alex, Kabag Operasi
Kejaksaan Negeri Majalengka. Juga belum dapat dipastikan apakah
perkaranya akan dilimpahkan ke pengadilan."Semua tergantung
hasil pemeriksaan," tambah Alex.
Persoalan bermula dari kredit Bimas yang macet. Adapun Kecamatan
Maja sejak masa tanam 1974/75 mempunyai tunggakan Rp 50 juta
lebih. Semua harus lunas dalam bulan November ini. Tunggakan di
Desa Sindangkerta termasuk yang paling seret ditagih. Dari
jumlah tunggakan sebesar Rp 2,5 juta, memang, sudah hampir
separuhnya kembali. Tapi dari jumlah yang kembali itu, ternyata
terdapat di antaranya, Rp 367. 904, berasal dari penjualan
sebagian tanah bengkok yang digarap 3 perangkat desa.
Tanah bengkok yang dijual itu seluas 3 bau (1 bau sama dengan
setengah hektar lebih), masing-masing milik Wakil Kuwu Rasam,
yang memiliki tanah 1,275 ha, Polisi Desa M. Akub yang menggarap
1,050 ha dan Muchtar, seorang Ketua RK, yang menggarap 0,645 ha.
Sedang jumlah tunggakan mereka bertiga Rp 367.904.
Ditipu Mentah-mentah
Setelah beberapa kali gagal menagih tunggakan tersebut, akhirnya
Duding Kamaluddin berunding dengan Nurdin, untuk menjual
sebagian dari bengkokbengkok itu dengan harga Rp 100.000 untuk
setiap bau dalam jangka waktu penggarapan setahun. Tiga
penunggak bersedia membayar, seorang untuk setahun, dua lainnya
untuk dua tahun.
Dengan begitu terkumpul Rp 500. 000. Setelah dibayarkan untuk
melunasi tunggakan kredit, sisanya, Rp 132.096, didepositokan di
Bank Karya Pembangunan Desa atas nama Duding. "Semua itu saya
lakukan untuk menyelamatka uang negara. Tidak satu sen pun yang
saya gunakan untuk kepentmgan pribadi,' kata Duding.
Tindakan saya itu sebenarnya masi 1 cukup lunak. Apalagi bila
dibanding dengan instruksi dari atasan yang menyebutkan boleh
menyita harta-benda penunggak yang tak mampu lagi melunas
tunggakannya," tambah Duding. Apalagi Nurdin, Kepala Desa
Sindangker.ta ikut menandatangani surat perjanjia jual-beli itu
tanda-menyetujui.
Sampai di sini penjualan tanah milik desa itu tidak tercium
kejaksaan, sampa ketika Rasam, si wakil kuwu, melaporkannya.
Rasam sendiri semula tida ingin melaporkannya. Sebab selain
tunggakannya terlunasi, ia juga masih dapat menggarap sisa
bengkok yang tidak ikut dijual. Tapi belakangan sisa ketiga
bengkok itu pun dijual, bedasarkan musywarah pemuka desa, dengan
harga Rp 600.000. Rasam pun naik pitam.
Selain itu Rasam merasa ditipu mentah-mentah. Ia mengatakan
pernah dianjurkan untuk mengundurkan diri. "Tap saya yakin hal
itu hanya untuk memperlancar usaha penjualan bengkok saja,'
katanya gemas. "Semua ini pasti suda diatur," tambahnya.
Nurdin tak merasa bersalah. Sebab katanya, penjualan tanah
bengkok tak lain berdasarkan musyawarah desa. Uang hasil
penjualannyapun, yang direncanakan untuk memperbaiki balai desa,
"masih tetap tersimpan di kas desa," kata Nurdin. Pokoknya,
semuanya untuk kepentingan desa. Cuma, benar atau tidak cara
begitu, tergantung perkara yang tengah digarap jaksa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini