GALI-gali di Kota Gudeg kegerahan. Betapa tidak. Baru beberapa
hari Garnisun Yogyakarta melancarkan operasi, sampai pekan lalu,
sudah lima pentolan gali tertembak mati. Suwahyo, 31 tahun,
misalnya, disikat petugas di lokalisasi WTS Sanggrahan. Tentara
berhasil menyarangkan peluru ke perut dan paha Wahyo, yang
berusaha melarikan diri waktu digerebek.
Tapi bagi masyarakat, tindakan keras terhadap gali-gali, tentu
menyejukkan. Sebab, yang namanya pemerasan dan penodongan, sudah
menjadi momok di setiap at keramaian kota pelajar tersebut.
Kawanan Wahyo,misalnya, dikenal sering memeras pemillk toko di
seputar Gondomanan. Pada mulanya mereka meminta "uang keamanan"
antara Rp 1.000 - Rp 2.000. Tapi sejak September lalu, menurut
seorang pemilik toko sepeda motor, "mereka pasang tarif Rp 10
ribu sekali datang." Padahal dalam sebulan mereka bisa datang
dua sampai tiga kali.
Gali yang lain beroperasi di sepanjang Jalan Parangtritis. Salah
satu korbannya, Junaidi, pemilik toko alat tulis dan fotokopi
Mickey Mouse, kebetulan agak berani. Suatu malam, untuk kesekian
kalinya, ia didatangi tiga orang gali.
"Saya lagi tak punya uang," tapi masih punya nasi katanya waktu
itu, "kalau kalian lapar boleh makan sama-sama." Tapi kawanan
pemeras itu marah dan menendang etalase sambil mengumbar
ancaman. Tapi kali itu mereka kena batunya: Junaidi tak mau
digertak. Ia menyambar kelewang dan menantang berkelahi.
Ternyata para penjahat keder dan lari terbirit-birit. Namun
beberapa hari kemudian, mereka datang lagi, melempar etalase
sampai pecah. Junaidi merasa kewalahan dan segera melapor kepada
polisi dan tentara.
Tapi, kejadian paling tragis ialah yang menimpa Ninik alias Sri
Mulyani. Mahasiswi Akademi Kesejahteraan Keluarga (AKK) itu, 20
Maret malam, berboncengan naik sepeda motor dengan Eko,
pacarnya. Mendadak dompetnya dijambret sepasang bandit bersepeda
motor. Eko langsung mengejar. Di depan Masjid Syuhada, penjahat
didapati sedang menghitung hasil jambretan - yang tak sampai Rp
2 ribu. Eko nekat menabrakkan sepeda motornya dan pergumulan pun
terjadi.
Salah seorang penjahat, dengan mata gelap, mencuri kesempatan
membabatkan golok ke leher Ninik. Syukur orang yang berdatangan
membantu Eko dan bisa menangkap penjahat. Yang satu, Akmal,
ternyata seorang mahasiswa dan temannya, Zulkarnain, tak lain
seorang gali. Tapi Ninik tak tertolong jiwanya. Gadis manis, 23
tahun? meninggal di RS Bethesda dini hari itu juga.
"Perbuatan mereka sudah keterlaluan," kata Pangdam VII
Diponegoro, Letjen TNI Ismail, yang minggu lalu menyerah
termakan jabatannya kepada Mayjen Soegiarto. Aparat keamanan
tampaknya tergugah setelah Ninik menjadi korban. Komandan
Garnisun Yogyakarta Letkol M. Hasbi pun, sejak akhir Maret lalu
mengumumkan 'perang' terhadap para gali. Tindakan keras
dilancarkan terhadap tokoh gali, yang meski sudah diimbau, tetap
tak mau menyerah. Mereka dijemput dari sarangnya. Yang mencoba
melawan atau melarikan diri, apa boleh buat, langsung "dikirimi"
peluru.
Menurut Letkol Hasbi, tindakan keras terpaksa dilakukan, "untuk
memberi perlindungan sekaligus menghilangkan keresahan
masyarakat yang sudah mencapai puncaknya" (lihat Box). Ada,
memang, yang kemudian menyerahkan diri karena takut di"sikat".
Mereka itu kebanyakan para calo yang sering mangkal di terminal
bis. Sebenarnya, seperti dikatakan Hasbi mereka bukan pentolan
melainkan masih dikategorikan sebagai "calon-calon penjahat."
Yang lain, tampaknya lebih senang bersembunyi. Tapi ada juga
yang malah unjuk perasaan. Surat kabar di Yogyakarta, Masa Kini,
yang gencar memberitakan operasi gali, mereka datangi. Untung,
kata Hasbi, "petugas kami sudah siap." Maka, katanya lagi,
mereka ditangkap sebelum sempat berbuat sesuatu.
Terus terang, masyarakat Yogya merasa berterima kasih terhadap
langkah yang diambil Garnisun. "Pokoknya sikat habis, kayak PKI
dulu," harap Junaidi. Namun ada "anggota masyarakat lain" yang
merasa diperlakukan tidak adil. Yanto Gepeng, misalnya, merasa
heran karena seorang pentolan gali bernama Supri - yang dikenal
sebagai rival Suwahyo - tak ikut ditembak atau ditangkap.
Padahal, katanya, "waktu penggrebekan berlangsung, Supri juga
ada di Sanggrahan."
Dan tiga orang dari Yogya, Rusdi alias Monyol, Rus Amantri dan
Trimurdjo alias Kentus, pekan lalu mendatangi Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) Jakarta. Ketiganya, yang bekerja sebagai petugas
keamanan, merasa was-was karena ada yang melaporkan bahwa mereka
termasuk gali. Meski merasa tak pernah melakukan kejahatan, kata
Amantri, "semula kami berniat melaporkan diri ke Kodim." Niat
itu diurungkan karena, menurut Amantri, salah seorang gali yang
menyerahkan diri - ia tak menyebut siapa - kemudian tertembak
mati karena dikabarkan hendak melarikan diri. "Kan aneh,"
katanya lagi.
Maka, Direktur LBH Abdulrachman Saleh, meski mendukung langkah
yang dltempuh Garnisun, mengharap agar, "prinsip praduga tak
bersalah tetap dihormati."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini