Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Berburu Gali Di Yogya

Operasi penumpasan gali di yogya, yang akhir-akhir ini sering melakukan pemerasan dan penodongan, seorang mahasiswa AKK mati di babat pejambret. 5 orang gali mati tertembak. (krim)

16 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GALI-gali di Kota Gudeg kegerahan. Betapa tidak. Baru beberapa hari Garnisun Yogyakarta melancarkan operasi, sampai pekan lalu, sudah lima pentolan gali tertembak mati. Suwahyo, 31 tahun, misalnya, disikat petugas di lokalisasi WTS Sanggrahan. Tentara berhasil menyarangkan peluru ke perut dan paha Wahyo, yang berusaha melarikan diri waktu digerebek. Tapi bagi masyarakat, tindakan keras terhadap gali-gali, tentu menyejukkan. Sebab, yang namanya pemerasan dan penodongan, sudah menjadi momok di setiap at keramaian kota pelajar tersebut. Kawanan Wahyo,misalnya, dikenal sering memeras pemillk toko di seputar Gondomanan. Pada mulanya mereka meminta "uang keamanan" antara Rp 1.000 - Rp 2.000. Tapi sejak September lalu, menurut seorang pemilik toko sepeda motor, "mereka pasang tarif Rp 10 ribu sekali datang." Padahal dalam sebulan mereka bisa datang dua sampai tiga kali. Gali yang lain beroperasi di sepanjang Jalan Parangtritis. Salah satu korbannya, Junaidi, pemilik toko alat tulis dan fotokopi Mickey Mouse, kebetulan agak berani. Suatu malam, untuk kesekian kalinya, ia didatangi tiga orang gali. "Saya lagi tak punya uang," tapi masih punya nasi katanya waktu itu, "kalau kalian lapar boleh makan sama-sama." Tapi kawanan pemeras itu marah dan menendang etalase sambil mengumbar ancaman. Tapi kali itu mereka kena batunya: Junaidi tak mau digertak. Ia menyambar kelewang dan menantang berkelahi. Ternyata para penjahat keder dan lari terbirit-birit. Namun beberapa hari kemudian, mereka datang lagi, melempar etalase sampai pecah. Junaidi merasa kewalahan dan segera melapor kepada polisi dan tentara. Tapi, kejadian paling tragis ialah yang menimpa Ninik alias Sri Mulyani. Mahasiswi Akademi Kesejahteraan Keluarga (AKK) itu, 20 Maret malam, berboncengan naik sepeda motor dengan Eko, pacarnya. Mendadak dompetnya dijambret sepasang bandit bersepeda motor. Eko langsung mengejar. Di depan Masjid Syuhada, penjahat didapati sedang menghitung hasil jambretan - yang tak sampai Rp 2 ribu. Eko nekat menabrakkan sepeda motornya dan pergumulan pun terjadi. Salah seorang penjahat, dengan mata gelap, mencuri kesempatan membabatkan golok ke leher Ninik. Syukur orang yang berdatangan membantu Eko dan bisa menangkap penjahat. Yang satu, Akmal, ternyata seorang mahasiswa dan temannya, Zulkarnain, tak lain seorang gali. Tapi Ninik tak tertolong jiwanya. Gadis manis, 23 tahun? meninggal di RS Bethesda dini hari itu juga. "Perbuatan mereka sudah keterlaluan," kata Pangdam VII Diponegoro, Letjen TNI Ismail, yang minggu lalu menyerah termakan jabatannya kepada Mayjen Soegiarto. Aparat keamanan tampaknya tergugah setelah Ninik menjadi korban. Komandan Garnisun Yogyakarta Letkol M. Hasbi pun, sejak akhir Maret lalu mengumumkan 'perang' terhadap para gali. Tindakan keras dilancarkan terhadap tokoh gali, yang meski sudah diimbau, tetap tak mau menyerah. Mereka dijemput dari sarangnya. Yang mencoba melawan atau melarikan diri, apa boleh buat, langsung "dikirimi" peluru. Menurut Letkol Hasbi, tindakan keras terpaksa dilakukan, "untuk memberi perlindungan sekaligus menghilangkan keresahan masyarakat yang sudah mencapai puncaknya" (lihat Box). Ada, memang, yang kemudian menyerahkan diri karena takut di"sikat". Mereka itu kebanyakan para calo yang sering mangkal di terminal bis. Sebenarnya, seperti dikatakan Hasbi mereka bukan pentolan melainkan masih dikategorikan sebagai "calon-calon penjahat." Yang lain, tampaknya lebih senang bersembunyi. Tapi ada juga yang malah unjuk perasaan. Surat kabar di Yogyakarta, Masa Kini, yang gencar memberitakan operasi gali, mereka datangi. Untung, kata Hasbi, "petugas kami sudah siap." Maka, katanya lagi, mereka ditangkap sebelum sempat berbuat sesuatu. Terus terang, masyarakat Yogya merasa berterima kasih terhadap langkah yang diambil Garnisun. "Pokoknya sikat habis, kayak PKI dulu," harap Junaidi. Namun ada "anggota masyarakat lain" yang merasa diperlakukan tidak adil. Yanto Gepeng, misalnya, merasa heran karena seorang pentolan gali bernama Supri - yang dikenal sebagai rival Suwahyo - tak ikut ditembak atau ditangkap. Padahal, katanya, "waktu penggrebekan berlangsung, Supri juga ada di Sanggrahan." Dan tiga orang dari Yogya, Rusdi alias Monyol, Rus Amantri dan Trimurdjo alias Kentus, pekan lalu mendatangi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Ketiganya, yang bekerja sebagai petugas keamanan, merasa was-was karena ada yang melaporkan bahwa mereka termasuk gali. Meski merasa tak pernah melakukan kejahatan, kata Amantri, "semula kami berniat melaporkan diri ke Kodim." Niat itu diurungkan karena, menurut Amantri, salah seorang gali yang menyerahkan diri - ia tak menyebut siapa - kemudian tertembak mati karena dikabarkan hendak melarikan diri. "Kan aneh," katanya lagi. Maka, Direktur LBH Abdulrachman Saleh, meski mendukung langkah yang dltempuh Garnisun, mengharap agar, "prinsip praduga tak bersalah tetap dihormati."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus