Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Yang Kusut Dan Semrawut Di Bandung

Kesemrawutan lalu lintas di Bandung gawat. Kendaraan berjubel, polantas kewalahan dan kemacetan terjadi di mana-mana. Panjang jalan cuma 425 km dengan kurang lebih 260 ribu kendaraan.

17 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ENTAH sejak kapan mulainya, kendaraan roda dua di Bandung setiap hari bertambah 80 buah, kendaraan roda empat 20 buah. Sehingga yang menonjol di kota kembang sekarang ini cuma kesemrawutan lalu lintas. Di sela kesibukan persiapan Musyawarah AntarKota se Indonesia (MAKSI), 12-17 Oktober, Walikota Bandung, H. Husen Wangsaatmadja berbicara soal itu. "Biar walikota lain bisa belajar," kata lusen, "sehingga lalu lintas kota-kota lain tidak bernasib seperti Bandung." Membeli kendaraan berrnotor, jelas hak asasi warga kota, tapi kondisi jalan-jalan betapapun tak dapat diabaikan. Kalau saja bisa, jalan-jalan itu akan berterik-teriak minta ampun. Betapa tidak. Di seluruh panjang jalan, yang diperhitungkan cuma 425 km itu, tiap hari tanpa henti-hentinya berdesak-desakan 760 000 kendaraan--tidak termasuk milik ABRI. Polantas adalah pihak pertama yang kewalahan. Dari 82 titik kemacetan, hanya 30 yang dapat diberi pos tetap. Selebihnya terpaksa diawasi dengan patroli. Jumlah Polantas yang hanya 212 orang itu, sangat tidak memadai untuk menanggulangi urusan jalan raya, apalagi pada jam-jam sibuk. Kurang Manusiawi Dan ternyata, setelah dikaji lebih mendalam, ledakan jumlah kendaraan hanyalah satu dari sekian banyak sebab kemacetan lalu lintas. Sempitnya jalan serta banyaknya persimpangan merupakan sebab lain. Tiadanya lapangan parkir secara pasti juga menambah kemacetan. Belum lagi kendaraan angkutan umum dari luar kota yang bagaikan arus tak tertahan mengalir ke pusat kota hingga keadaan semakin runyam. Becak, yang sekarang terdaftar sebanyak 13.500 buah, ikut memadati jalan-jalan sempit yang lebarnya rata-rata cuma 3 m. Menurut survei DLLAJR, yang diadakan Juli lalu, kendaraan yang lewat di jalan serupa itu mencapai 2000 buah per jam. Bahkan meningkat 2500 buah di hari-hari libur. Sedangkan, menurut ukuran internasional, untuk jalan 3 m maksimum kendaraan yang bisa lewat 1350 buah. Lebih dari itu? Persoalan lalu lintas di Kota Bandung itulah salah satu contoh akibatnya. Memang, sejak 5 tahun lalu, kegawatan lalu lintas di Bandung sudah mulai menunjukkan gejala-gejala tak beres. Maka dicarikan jalan keluar sementara. Misalnya dengan menetapkan jalan-jalan tertentu sebagai jalan satu arah sejak dua tahun lalu. Nampaknya bisa mengurangi kemacetan di beberapa tempat. Untuk sementara jalan-jalan seperti Ahmad Yani, Merdeka dan Wastukancana, menjadi agak lengang. Tapi, kemudian mulai padat lagi. segitupun menurut Dan Satlantas sandung, Mayor Hermawan, seandainya jalan-jalan tidak dijadikan satu arah, "apa jadinya Bandung sekarang?" Ketentuan jalan satu arah, ternyata tidak terlalu banyak menolong. Bagaimana kalau diusahakan dengan kebijaksanaan lain: pelebaran jalan? Upaya tersebut pada akhirnya dianggap kurang manusiawi. Karena tanah sudah sedemikian langka di Bandung. Jangankan untuk jalan, untuk kantor camat, sekolah atau pasar pun sudah tidak ada lagi tanah tersisa. Dengan demikian pelebaran jalan bukan saja tidak akan memecahkan masalah, sebaliknya bisa menimbulkan masalah baru. Namun Kepala DLLAJR Bandung Rusmana berpendapat, pelebaran jalan dapat dilaklikari di lokasi yang paling rawan. Di samping itu direncanakan membuat jalan-jalan penglepasan (escape road) dan jalan-jalan layang (flying road) di persimpangan yang perlu. Juga membuat lapangan parkir, hingga kendaraan tidak perlu menumpuk di pinggir jalan, seperti banyak terjadi sekarang. Untuk menghalau kendaraan umum antarkota, yang sekarang masih bebas berseliweran di dalam kota (sebab terminalnya ada di puat kota), akan dibangun terminal di luar kota. "Di dalam kota cukup pakai sekulter," Rusmana memikirkan. Tapi rencana masih dalam angan-angan--bahkan belum sempat tertuang di atas kertas. Yang pasti akan dibuat baru jalan tol Cileunyi-Padalarang, sepanjang 54 km, satu jalan lingkar yang mengikat Bandung Selatan, di samping Jalan Sukarno-Hatta yang sudah lebih dulu jadi. Tapi Rusmana tidak begitu yakin bahwa jalan lingkar akan membantu mengurangi kemacetan Bandung. Itu soal jalan. Akan hal kemacetan, Sekretaris Umum Organisasi Angkutan Barat (Organda) Ja-Bar, Padmo, berpendapat lain: Penyebab utama adalah kendaraan tua, berumur 10-15 tahun, yang banyak melayani trayek Ledeng, Cimahi, Cicaheum, Surapati, Dago dan Ciumbuleuit. Kendaraan tua itu, berjumlah 1800, dianggap Padmo cuma merintangi lalulintas. Celakanya, meski ada ketentuan peremajaan yang diberlakukan mulai 1979, namun entah bagaimana, jumlah kendaraan tempo dulu itu sampai sekarang tidak berkurang. Di samping kendaraan tua masih ada kolt pelat hitam yang leluasa berkeliaran di tengah kota dan menyebabkan jalan bertambah padat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus