ENTAH sejak kapan mulainya, kendaraan roda dua di Bandung setiap
hari bertambah 80 buah, kendaraan roda empat 20 buah. Sehingga
yang menonjol di kota kembang sekarang ini cuma kesemrawutan
lalu lintas. Di sela kesibukan persiapan Musyawarah AntarKota se
Indonesia (MAKSI), 12-17 Oktober, Walikota Bandung, H. Husen
Wangsaatmadja berbicara soal itu. "Biar walikota lain bisa
belajar," kata lusen, "sehingga lalu lintas kota-kota lain
tidak bernasib seperti Bandung."
Membeli kendaraan berrnotor, jelas hak asasi warga kota, tapi
kondisi jalan-jalan betapapun tak dapat diabaikan. Kalau saja
bisa, jalan-jalan itu akan berterik-teriak minta ampun. Betapa
tidak. Di seluruh panjang jalan, yang diperhitungkan cuma 425 km
itu, tiap hari tanpa henti-hentinya berdesak-desakan 760 000
kendaraan--tidak termasuk milik ABRI.
Polantas adalah pihak pertama yang kewalahan. Dari 82 titik
kemacetan, hanya 30 yang dapat diberi pos tetap. Selebihnya
terpaksa diawasi dengan patroli. Jumlah Polantas yang hanya 212
orang itu, sangat tidak memadai untuk menanggulangi urusan
jalan raya, apalagi pada jam-jam sibuk.
Kurang Manusiawi
Dan ternyata, setelah dikaji lebih mendalam, ledakan jumlah
kendaraan hanyalah satu dari sekian banyak sebab kemacetan lalu
lintas. Sempitnya jalan serta banyaknya persimpangan merupakan
sebab lain. Tiadanya lapangan parkir secara pasti juga menambah
kemacetan. Belum lagi kendaraan angkutan umum dari luar kota
yang bagaikan arus tak tertahan mengalir ke pusat kota hingga
keadaan semakin runyam. Becak, yang sekarang terdaftar sebanyak
13.500 buah, ikut memadati jalan-jalan sempit yang lebarnya
rata-rata cuma 3 m.
Menurut survei DLLAJR, yang diadakan Juli lalu, kendaraan yang
lewat di jalan serupa itu mencapai 2000 buah per jam. Bahkan
meningkat 2500 buah di hari-hari libur. Sedangkan, menurut
ukuran internasional, untuk jalan 3 m maksimum kendaraan yang
bisa lewat 1350 buah. Lebih dari itu? Persoalan lalu lintas di
Kota Bandung itulah salah satu contoh akibatnya.
Memang, sejak 5 tahun lalu, kegawatan lalu lintas di Bandung
sudah mulai menunjukkan gejala-gejala tak beres. Maka dicarikan
jalan keluar sementara. Misalnya dengan menetapkan jalan-jalan
tertentu sebagai jalan satu arah sejak dua tahun lalu.
Nampaknya bisa mengurangi kemacetan di beberapa tempat. Untuk
sementara jalan-jalan seperti Ahmad Yani, Merdeka dan
Wastukancana, menjadi agak lengang. Tapi, kemudian mulai padat
lagi. segitupun menurut Dan Satlantas sandung, Mayor Hermawan,
seandainya jalan-jalan tidak dijadikan satu arah, "apa jadinya
Bandung sekarang?" Ketentuan jalan satu arah, ternyata tidak
terlalu banyak menolong.
Bagaimana kalau diusahakan dengan kebijaksanaan lain: pelebaran
jalan?
Upaya tersebut pada akhirnya dianggap kurang manusiawi. Karena
tanah sudah sedemikian langka di Bandung. Jangankan untuk jalan,
untuk kantor camat, sekolah atau pasar pun sudah tidak ada lagi
tanah tersisa. Dengan demikian pelebaran jalan bukan saja tidak
akan memecahkan masalah, sebaliknya bisa menimbulkan masalah
baru.
Namun Kepala DLLAJR Bandung Rusmana berpendapat, pelebaran
jalan dapat dilaklikari di lokasi yang paling rawan. Di samping
itu direncanakan membuat jalan-jalan penglepasan (escape road)
dan jalan-jalan layang (flying road) di persimpangan yang perlu.
Juga membuat lapangan parkir, hingga kendaraan tidak perlu
menumpuk di pinggir jalan, seperti banyak terjadi sekarang.
Untuk menghalau kendaraan umum antarkota, yang sekarang masih
bebas berseliweran di dalam kota (sebab terminalnya ada di puat
kota), akan dibangun terminal di luar kota. "Di dalam kota cukup
pakai sekulter," Rusmana memikirkan.
Tapi rencana masih dalam angan-angan--bahkan belum sempat
tertuang di atas kertas. Yang pasti akan dibuat baru jalan tol
Cileunyi-Padalarang, sepanjang 54 km, satu jalan lingkar yang
mengikat Bandung Selatan, di samping Jalan Sukarno-Hatta yang
sudah lebih dulu jadi. Tapi Rusmana tidak begitu yakin bahwa
jalan lingkar akan membantu mengurangi kemacetan Bandung.
Itu soal jalan. Akan hal kemacetan, Sekretaris Umum Organisasi
Angkutan Barat (Organda) Ja-Bar, Padmo, berpendapat lain:
Penyebab utama adalah kendaraan tua, berumur 10-15 tahun, yang
banyak melayani trayek Ledeng, Cimahi, Cicaheum, Surapati, Dago
dan Ciumbuleuit. Kendaraan tua itu, berjumlah 1800, dianggap
Padmo cuma merintangi lalulintas. Celakanya, meski ada
ketentuan peremajaan yang diberlakukan mulai 1979, namun entah
bagaimana, jumlah kendaraan tempo dulu itu sampai sekarang
tidak berkurang. Di samping kendaraan tua masih ada kolt pelat
hitam yang leluasa berkeliaran di tengah kota dan menyebabkan
jalan bertambah padat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini