GUGATAN Trimoelja D. Soerjadi, pemilik pesawat televisi berwarna
26 inci di Surabaya, tak bertele-tele. Ia hanya minta agar
pengadilan menyatakan dia sebagai pembayar iuran televisi yang
baik. Juga, agar perbuatan Yemerintah RI, khususnya Departemen
Penerangan dan Perum Pos & Giro, yang meminta dia "melunasi
kekurangan" iuran, dinyatakan melanggar hukum. Sebab, nyatanya
ia memang telah melunasi iuran televisinya yang sebulan Rp 750
itu untuk Desember 1980 s/d Desember 1981.
Perkara yang dibuat Trimoelja memang kecil--meskipun kasus yang
sama dialami banyak pemilik pesawat tclevisi. Menurut ketentuan
yang berlaku, Trimoelya, bekas anggota DPRD Tingkat Jawa Timur,
melunasi iuran televisinya selama setahun. Tapi selang beberapa
bulan kemudian, Perum Pos & Giro, selaku juru tagih sumbangan
iuran televisi, seraya mengumumkan kenaikan iuran juga meminta
pemilik yang telah membayar iurannya di muka supaya "melunasi
kekurangan". Tarif baru bagi televisi seperti milik penggugat
adalah Rp 3000/bulan.
Penggugat keberatan memenuhi panggilan Pos & Giro. Alasannya
sederhana sekali telah melunasi kewajibannya berarti telah
lunas, apa pun yang terjadi kemudian--seperti jadinya kenaikan
iuran itu.
Hanya anjuran
Bukankah kata lunas, katanya, berarti "selesai dibayar atau
habis dibayar"? Untuk membuktikan arti kata tersebut, Trimoelya
menyampaikan fotokopi " Kamus Umum Bahasa Indonesia" susunan
W.J.S. Poerwodarminto cetakan ke-5 (Halaman 613) dan "Kamoes
Indonesia"-nya Soetan Harahap cetakan ke-8 (1948), halaman 228,
kepada Hakim Yahya wijaya.
Para tergugat, yang diwakili Jaksa Fati dari Kejaksaan Negeri
Surabaya, meminta agar pengadilan menolak tuntutan penggugat.
Alasannya, iuran televisi ditetapkan harus dibayar setiap bulan.
Bahwa ada pemilik yang ingin membayar sekaligus untuk setahun,
kata Fati, memang dibolehkan. Tapi itu bersifat anjuran dan yang
diperjanjikan tetap hanya untuk setiap bulan berjalan.
Pemilik pesawat tclevisi, kata tergugat pula, tetap berkewajiban
membayar Setiap kekurangan bila pada suatu ketika ada kenaikan
tarif. Sama dengan kewajiban Pos & Giro mengembalikan kelebihan
uang iuran, menurut Fati lagi, bila oleh satu dan lain sebab
seseorang tak lagi memiliki pesawat yang sudah dilunasi
iurannya. Misalnya karena pesawat televisi yang bersangkutan
rusak, dijual atau berganti pemilik.
Mana yang benar di antara kedua pendapat tersebut masih
dipertimbang kan pengadilan yang masih berlangsung hingga minggu
ini. Kekalahan bagi penggugat, Trimoelya, paling-paling cuma
harus "melunasi kekurangan" iuran ditambah ongkos perkara. "Saya
akan bayar dan tidak naik banding," kata penggugat.
Kemenangan pun, artinya, ia hanya bebas dari kewajiban membayar
Rp 2. 250 x 12 -- mungkin lebih kecil dari ongkos selama
berperkara yang dikeluarkan dari kantungnya. Karena menurut
Trimoelya, gugatannya cuma "supaya pemerintah jangan sembarangan
membuat peraturan."
Bagi Perum Pos & Giro begitu pula. Dari kemenangannya kelak
pihaknya hanya akan menerima keputusan pengadilan yang
membenarkan tindakannya. Kalau kalah? Kepala Kantor Pos sesar I
Surabaya, Sudarmanto, berkata "Tidak apa-apa. Kami ini 'kan
hanya pelaksana." Tugas instansinya memang hanya memungut iuran
dan menerima imbalan berupa komisi 20%. Tapi bagi ratusan ribu
pemilik televisi tentu tak harus"melunasi kekurangan" yang
lumayan jumlahnya itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini