LAGU Bangun Deso ciptaan Ki Nartosabdo mengundang perhatian
penduduk Desa Sanggrahan di sebelah sclatan Tulungagung (Jawa
Timur). Hampir seribu orang desa berjubel di balai desa.
Perhelatan? Bukan. Penduduk baru mengerti acara hari itu ketika
rombongan hakim dan jaksa memasuki balai desa. Ternyata hari itu
untuk pertama kalinya penduduk Sanggrahan menyaksikan jalannya
suatu sidang pengadilan.
Jaksa Moh. Yusuf menghadapkan se orang penduduk, Munajab bin
Munasir! sebagai tersangka yang dituduh mencuri sebatang kayu di
hutan lindung. Persidangan terpaksa dilakukan dalam bahasa Jawa,
karena Munajab tidak bisa berbahasa Indonesia.
Namun sidang berjalan lancar--sebab Munajab mengaku terus
terang. Apalagi saksi-saksi, di antaranya mandor Perhutani yang
menangkap Munajab, tidak perlu dipanggil. Mendatangkan para
saksi biasanya sampai harus memakan waktu atau mengundurkan
sidang beberapa minggu. Munajab hari itu juga dijatuhi hukuman 2
bulan penjara oleh Hakim Soediono dari Pengadilan Negeri
Tulungagung.
Acara persidangan tersebut merupakan salah satu program Jaksa
Masuk Desa (JMD) yang digalakkan Jaksa Agung Ismail Saleh
semenjak Juli lalu. "Kami sengaja memilih kasus itu untuk
disidangkan di Sanggrahan, karena banyaknya pencurian kayu di
desa itu," ujar Jaksa Yusuf. Persidangan itu, menurut Yusuf
sekaligus memberi penerangan hukum: pencurian kayu dilarang.
"Tontonan" semacam bukan hanya dinikmati penduduk Desa
Sanggrahan. Hari itu, 6 Oktober, penduduk Kecamatan Bandar,
Simalungun (Sum-Ut), berbondong-bondong membanjiri balai
pertemuan kecamatan. Beberapa hari sehelumnya penduduk sudah
diberitahu bahwa akan ada sidang pengadilan di balai pertemuan
itu.
Empat orang penduduk kecamatan itu, Darwin, Robert, Beny dan
Mesran diajukan sebagai tersangka. Mereka duduk di bangku
panjang berhadapan dengan meja hakim dan jaksa yang ditutupi
kain hijau. Jaksa menuduh keempat orang itu berjudi dengan
memakai kartu domino. Banyak penduduk yang heran, karena mereka
menganggap permainan itu tak dilarang.
"Kami justru sengaja memilih perkara judi, karena banyak
penduduk menganggap judi itu tidak dilarang," ujar Madju
Hutapea, Kepala Kejaksaan Negeri Pematangsiantar. Apalagi
persidangan itu merupakan langkah pertama program JMD di daerah
itu. "Kami pilih perkara yang ringan dan menarik," kata Madju.
Ternyata sambutan masyarakat memang di luar dugaan, "malah ada
yang minta persidangan yang lain juga dilakukan di kantor camat
itu," tambah Madju Hutapea.
Penduduk memang senang melihat persidangan di kecamatannya.
Selain mendapat penerangan, mereka yang dipanggil hakim tidak
perlu repot-repot menuju Pematangsiantar, yang jaraknya 40 km
dari desa itu. "Sidang di kecamatan tidak memakan ongkos," kata
J.P. Purba, yang menjadi saksi dalam perkara perjudian itu.
Selama ini, penduduk Kecamatan Bandar terpaksa harus
mengeluarkan uang Rp 1.000 untuk ongkos ke Pematangsiantar,
kalau terlibat dalam satu perkara.
Dipanggil pengadilan selama ini memang menyulitkan penduduk desa
yang tinggal jauh dari gedung pengadilan di kota kabupaten.
Seperti yang dialami penduduk Desa Cijagra, Majalaya, sekitar 35
km dari Bandung. Kalau persidangan pencurian terjadi yang repot
korban pencurian. Sebab ia harus bolakbalik ke Pengadilan Negeri
Cimahi. Meskipun tidak begitu jauh, namun tidak ada
pengangkutan.
Bawa Roti
Penduduk yang dipanggil pengadilan untuk jadi saksi, harus jalan
kaki 2 km ke Majalaya, baru mendapat kendaraan ke Cimahi.
"Mending kalau hanya sekali --biasanya mondar-mandir" ujar
Kepala Desa cijagra, Pupu Suparman. Akibatnya, penduduk yang
banyak bekerja di pabrik tekstil di daerah itu, terpaksa
mengalami pemotongan gaji dari tempatnya bekerja.
Sebab itu Pupu Suparman merasa senang ketika diadakan sidang di
desanya. Ia tidak terlalu sibuk untuk menyiapkan persidangan.
Cukup hanya dengan mengosongkan balai desa. Konsumsi pun tidak
perlu dihidangkan. "Sebab hakim dan jaksa membawa roti sendiri,"
ujar Pupu Suparman.
Sebelum JMD, cijagra ternyata sudah pernah menyelenggarakan
sidang pengadilan. Yaitu ketika Tarmadi bin Wira, 80 tahun, yang
dituduh membunuh Odih, tidak mau dibawa ke Cimahi untuk diadili.
Tarmadi, yang dikenal jagoan masa mu danya, nekat membunuh Odih
yang dituduhnya hampir memperkosa anaknya. Akhirnya Tarmadi yang
lumpuh itu, diadili di desanya dan dijatuhi hukuman penjara 7
tahun. Namun, karena usianya, ia dititipkan kepada kepala desa
sambil menunggu grasi.
Persidangan Tarmadi di tahun 1980 itu disebut Kepala Humas
Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Hutala Pakpahan, sebagai "embrio
program JMD di Indonesia terjadi di Desa Cijagra akibat ulah
kakek Tarmadi."
Namun program itu belum merata di setiap daerah. "Itu memang
eksperimen, jadi tergantung kondisi masing-masing daerah," ujar
Jaksa Agung Ismail Saleh. Program 3MD memang tidak dilaksanakan
besar-besaran, "sifatnya juga longgar," sambung Jaksa Agung.
Meskipun sasarannya, kata Jaksa Agung, cukup besar "Menanamkan
kesadaran hukum masyarakat."
Di beberapa daerah JMD baru taraf penyuluhan hukum. Jaksa-jaksa
yang ditugasi dilarang memakai seragam jaksa. "Pokoknya omong
santai dan makan ubi di rumah penduduk," ujar seorang jaksa di
Tanjungpinang.
Kejaksaan Negeri Tanjungpinang, vang membawahkan 82 desa dengan
letak terpencar-pencar, memilih 20 desa yang agak mudah
dijangkau di kepulauan itu. "Mirip dokter puskesmas, jaksa
mendatangi rumah penduduk," kata B. A. Mansur, pejabat pembinaan
kejaksaan. Dengan sabar para petugas memberi penjelasan tentang
hukum waris sampai hukum tanah yang banyak dipertanyakan
penduduk.
Setelah program JMD kini muncul ide proyek Pusat Hukum
Masyarakat (Puskesmas)--yang hendak menerjunkan ahli hukum ke
desa-desa. Baik untuk memberi penerangan maupun bantuan hukum.
Namun pagi-pagi Jaksa Agung Ismail Saleh mengingatkan
"Pembangunan hukum itu tidak seperti pembangunan jembatan."
Artinya, meskipun ada JMD dan Pushukmas atau yang lain,
"kesadaran hukum" tetap bukan suatu hasil kerja yang dapat
dinilai seketika.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini