Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Yang Patah di Tangan Pandai Besi

12 Agustus 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak mudah menebak apa yang melintas di kepala remaja 19 tahun bernama Prabowo Subianto tentang institusi Tentara Nasional Indonesia. Ia menamatkan sekolah menengah di London pada 1967—setelah bertahun-tahun tinggal di beberapa negara. Kembali ke Indonesia pada akhir 1960-an, Prabowo mengantongi tiket menuju dua universitas Amerika terkemuka: Berkeley dan Colorado. Tapi anak muda itu memilih masuk ke Akademi Militer (Akmil) Magelang pada 1970. Padahal, sebagai remaja, ia praktis mengenal Indonesia—dan tradisi militernya—dengan berjarak: melalui bacaan atau penuturan orang tuanya. Ayahnya, ekonom Sumitro Djojohadikusumo, sengaja membawa anak sulungnya itu ke Indonesia setelah pengasingan panjang di luar negeri. Dan Prabowo membuat pilihan yang mengejutkan. Ia melemparkan tiket Berkeley-nya ke dalam laci lalu mendaftarkan diri ke Akmil Magelang. Dengan bahasa Indonesia yang belum fasih—dan anak menteri pula—Prabowo sempat menjadi "mangsa" di kampus militer itu. Ia jadi bahan olok-olok. Dalam biografinya, Jejak Perlawanan Begawan Pejuang, Sumitro hanya berkomentar singkat ketika mendengar situasi yang dihadapi anaknya: "Ambil keputusanmu sendiri dan terima apa konsekuensinya." Prabowo bertahan dan mencatatkan diri sebagai salah satu alumni Akmil paling cemerlang. Karirnya meroket sejak lulus Akmil pada 1974. Ia membalap jauh rekan-rekan seangkatannya. Tiga bintang lekat di bahunya pada usia 47, saat ia menjadi Panglima Kostrad. Dua tahun sebelumnya ia menjabat Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus dengan pangkat mayjen. Seakan melengkapi kisahnya sebagai "fortune kid", Prabowo menikah dengan Siti Hediati, putri mantan presiden Soeharto—tokoh mahaberkuasa ketika itu. Cerdas, berbakat, berhasil, dan punya ambisi, itulah kira-kira protitipe yang dilekatkan orang kepadanya. Tapi bintangnya meredup terlalu cepat. Dewan Kehormatan Militer memecatnya pada Agustus 1998—hanya tiga bulan setelah kejatuhan Soeharto. Ia dituduh berada di belakang peristiwa penculikan sembilan aktivis oleh beberapa anggota Kopassus pada 1998. "Dalam sejarah ABRI, belum pernah ada perwira tinggi yang dipermalukan oleh institusinya seperti yang saya alami," ujar Prabowo di hadapan sejumlah wartawan di Bangkok tak lama setelah ia dicopot. Para pengritiknya menyebutkan ia jatuh karena meroket di "jalur cepat"—berkat kedekatan dengan puncak kekuasaan. Bukan rahasia lagi, Prabowo "loncat kelas" saat menjadi Komandan Jenderal Kopassus. Jabatan itu semula dipegang oleh seorang brigjen, perwira bintang satu, tapi saat Prabowo duduk di sana jabatan itu "ditingkatkan" untuk perwira bintang dua. Jadilah ia seorang mayjen. Lalu, saat menjadi Panglima Kostrad, ia mendapatkan bintang ketiganya, seiring dengan "dimekarkannya" organisasi cadangan strategis itu. Padahal, sebelumnya, jabatan ini dipegang seorang jenderal bintang dua. Bekas Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional, Letjen (Purn.) Sayidiman Suryohadiprojo, punya pendapat sendiri tentang pola kaderisasi TNI di era Orde Baru. Menurut dia, kalangan TNI pernah amat jengkel dengan cara Soeharto mengader orang untuk mendukung kekuasaannya. "Mana ada kepala staf angkatan yang bukan berasal dari jalur ajudan. Bahkan seorang panglima kodam pun harus mendapat restu Soeharto." Khusus mengenai Prabowo, ia berkomentar, "Dia over-confident, mau terlalu cepat naik karena merasa punya patron," ujarnya kepada TEMPO. Prabowo membantah soal hubungan "mertua-menantu" ini. "Saya justru dicap pengkhianat oleh keluarga itu," ia pernah berujar setelah mertuanya lengser. "Dan soal kedekatan itu kan hanya tuduhan kepada saya." Prabowo mencontohkan Wiranto, yang menurut dia juga punya akses pada penguasa. "Pak Wiranto kan dari ajudan presiden, langsung Kasdam, Pangdam, Pangkostrad." Dan jika dibandingkan dengan seniornya, Benny Moerdani, yang menjadi jenderal pada usia 37, Prabowo sebetulnya "belum apa-apa". Tak mengherankan, bekas atasan Prabowo, Letjen (Purn.) Yunus Yosfiah, membantah keras adanya pola kaderisasi khusus bagi Prabowo. Di mata Yunus, Prabowo adalah contoh prajurit komando yang amat andal, brilian, berani, dan punya kemampuan tempur tinggi. "Dia orang yang tepat sekali dikaderkan. Hanya kaderisasi itu terlalu cepat sehingga berdampak pada perilaku dan pola kepemimpinannya. Ia tidak matang dalam pengendalian diri," ujarnya. Sekali waktu, Prabowo mengakui kepada TEMPO bahwa tak ada dunia yang lebih dia cintai daripada militer—dunia yang telah menjungkalkannya selagi dia berada di puncak karir. Seorang jenderal tua yang menyesali peristiwa itu menganggap Prabowo harus membayar mahal hanya karena "salah asuhan". Ia berkata: "Anak muda itu ibarat baja terbaik yang patah karena kesalahan pandai besi."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus