Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menunggu Pemimpin Berbaju Batik

Mungkinkah Korpri mencetak pemimpin, bukan sekadar birokrat?

12 Agustus 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTANYAAN itu sah dilihat dari sisi ini. Bila pemimpin seharusnya lahir dari partai, tidakkah selama Orde Baru Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) adalah bagian dari sebuah (atau semacam) partai, yakni Golkar? Sudah menjadi rahasia umum bahwa Korpri diharuskan menganut monoloyalitas: tiap pemilu harus mencoblos Golkar—bukan hanya anggota organisasi tersebut, juga keluarganya. Tentu akan ada pembangkangan di sana-sini, tapi jumlahnya sangat tak berarti. Cuma, segera bisa dilihat, sebagai "bagian" dari Golkar, Korpri tak sebagaimana partai. Misalnya, ketua organisasi ini secara langsung dijabat oleh Sekretaris Jenderal Departemen Dalam Negeri, siapa pun orangnya. Sedangkan di tingkat daerah, posisi ini dijabat oleh sekretaris wilayah da-erah. Dengan demikian, ketua korpri bukanlah lahir dari suatu pemilihan yang memerlukan perjuangan dari mereka yang merasa layak memimpin korps berseragam batik biru ini. Dari sisi ini, segera bisa dijawab dengan tegas pertanyaan tersebut di atas: dari Korpri, mustahil lahir seorang pemimpin. Dengarkan saja kata Ryaas Rasyid, yang pernah menjadi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Rektor Institut Ilmu Pemerintahan: "Ketua Korpri itu terpilih karena jabatan, bukan karena terpilih. Jadi, tidak mungkin ada kaderisasi kepemimpinan di tubuh Korpri. Wajar saja bila Korpri tidak bisa menghasilkan pemimpin." Dan memang dari sononya Korpri bukan dibentuk untuk melahirkan pemimpin. Menurut Faisal Tamin, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara di kabinet Megawati yang pernah menjadi Ketua Umum Korpri, Korpri dibentuk memang untuk kepentingan rezim Orde Baru. Ide datang dari Amir Machmud, Menteri Dalam Negeri waktu itu: sebuah wadah tunggal untuk menghimpun dan "membina" semua pegawai negeri Indo-nesia. Ihwal Korpri yang monoloyalitas itu berakhir dengan kejatuhan Soeharto, 21 Mei 1998. Melalui musyawarah nasional ke-5, dua tahun silam, diputuskan bahwa Korpri netral alias tidak berpihak pada sebuah lembaga politik mana pun. Seorang pegawai negeri boleh menjadi pengurus parpol, tetapi harus meninggalkan statusnya sebagai pe-gawai negeri—tak peduli apakah partai itu Golkar, PDI Perjuangan, atau PKB. Perubahan itu—boleh menjadi pengurus partai asal tak lagi menjadi pegawai negeri—mungkin bermanfaat menjaga citra Korpri: tak lagi menjadi warga organisasi politik tertentu. Tapi juga tak membuka peluang Korpri menjadi lahan penyemaian calon pemimpin. Ada satu jalan bila Korpri diharapkan melahirkan pemimpin, yaitu, sebagaimana dikatakan oleh Andi A. Mallarangeng, pengamat politik yang populer: jadikan Korpri semacam serikat buruh. Berkaca pada ke-adaan yang terjadi di Amerika Serikat, dengan menjadi serikat buruh, Korpri bukan lagi menjadi cantolan untuk jabatan tertentu, melainkan organisasi yang berjuang untuk kepentingan anggotanya. "Kapan pernah Korpri mengajukan tuntutan agar gaji anggotanya dinaikkan?" kata Andi. Dengan kondisi seperti itu, Korpri bisa memilih partai yang dianggapnya bisa memperjuangkan nasibnya. "Di Amerika, serikat buruh yang memperalat partai. Mereka mengajukan agenda-agenda dan kepentingan buruh kepada partai," kata Andi. Memperjuangkan agar agenda itu diterima partai memerlukan perjuangan: rapat, lobi, sampai bila perlu menyelenggarakan demonstrasi untuk meyakinkan pengurus partai. Dan karena Korpri netral, organisasi ini bisa memilih partai yang dianggap memang akan memperjuangkan nasib "buruh" Korpri. Artinya, kata Ryaas Rasyid, yang menyetujui ide ini, dukungan Korpri ter-hadap suatu partai tidak permanen. Untuk melangkah ke arah itu, Andi Mallarangeng mensyaratkan satu hal lebih dahulu, yakni merevisi Undang-Undang Kepegawaian untuk memungkinkan Korpri menjadi serikat buruh. Tentu, sebelum itu perlu ada semacam referendum, maukah sekitar empat juta pegawai negeri itu menjadikan Korpri serikat buruh. Ketika itulah, seperti sudah disinggung, Korpri bisa saja melahirkan pemimpin. Tengok umpamanya di Polandia, sang ketua serikat buruh Solidarnos, Lech Walesa, bisa menjadi presiden—terlepas dia sukses atau tidak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus