Cipto Mangunkusumo
SEPUCUK telegram melayang ke tangan Mangunkusumo, kepala sekolah rakyat di Ambarawa, Jawa Tengah. Isinya, ”Mijn levenstaak begint pas, vaarweel.” (Tugas hidup saya baru mulai, selamat tinggal.) Pengirimnya adalah anak sulung keluarga itu, Cipto Mangunkusumo—seorang dokter muda yang membuat para penggede kolonial Belanda pusing kepala karena kegiatan pergerakannya.
Mangunkusumo pun maklum, sebentar lagi ia bakal ”kehilangan” putranya itu. Pemerintah Hindia Belanda menyekap Cipto di dalam bui gara-gara aktivitas politiknya. Ayahnya sudah meminta agar dia meninggalkan kegiatan tersebut. Tapi si Dokter menolak. Kedekatannya dengan rakyat jelata telah mempengaruhi sikap dan pikirannya tentang kolonialisme—yang menurut dia harus dilawan.
Dilahirkan pada 1886 di Desa Pecangan, Jepara, Jawa Tengah, Cipto menamatkan studi di School Ter Opleiding Van Indische Artsen (Stovia) atau Sekolah Dokter Bumiputra, di Jakarta, 28 Oktober 1905. Pada usia 21 tahun, dr. Cipto menulis artikel yang mengkritik kebangsawanan. Dijuluki ”Bapak Kemerdekaan Indonesia”, sikap egalitarianisme Cipto memang mengilhami semangat kemerdekaan dalam makna luas.
Pada 1912, pemerintah Belanda meng-anugerahinya bintang penghargaan Ridder Orde van Oranye Nassau atas jasanya memberantas penyakit pes yang mewabah di daerah Malang. Cipto memperlakukan penghargaan itu dengan ”rasa humor” yang satir: bintang itu tak dia sematkan di dada, melainkan disimpan di kantong belakang celananya. Alhasil, tiap serdadu Belanda yang melihatnya tak hanya hormat kepada Cipto, melainkan pada pantatnya. Ia mengembalikan bintang itu kepada Belanda, setelah permintaannya untuk memberantas pes di daerah Solo ditolak. Sejak itu, Cipto membelokkan perhatiannya kepada politik.
Agus Salim
HAJI Agus Salim adalah salah satu nama besar dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia yang berbasis Islam. Laki-laki kelahiran 3 Oktober 1884 di Kota Gedang (dekat Bukittinggi), Sumatra Barat, itu sebenarnya sosok yang gelisah. Dia sempat berpindah-pindah profesi dari penerjemah sampai notaris. Pengembaraannya ke luar negeri membawa Agus Salim pada sejumlah pemimpin organisasi Islam internasional seperti Muhammad Abduh dan Jamaludin Al Afgani. Pada 1911 ia kembali ke Tanah Air. Tahun berikutnya ia masuk Sarekat Islam (SI).
Dalam SI inilah karir organisasi Agus Salim berkembang. Laki-laki yang hanya lulusan Hogere Bugere School (HBS)—semacam sekolah lanjutan—ini langsung menjadi anggota pengurus pusat SI. Pada 1919 Agus Salim dan Semaun mendirikan Persatuan Pergerakan Kaum Buruh, yang menuntut pemerintah Hindia Belanda segera mendirikan dewan perwakilan rakyat yang sebenarnya. Agus sempat pula mengorganisasi pemogokan buruh untuk menuntut kenaikan gaji di Surabaya, Cirebon, dan Semarang.
Demi memperjuangkan kepentingan rakyat, Agus Salim bersedia duduk di Volksraad (Dewan Rakyat bentukan Belanda) dari 1921-24. Sejak itu, Volksraad semakin tidak kooperatif dengan pemerintah Hindia Belanda.
Meskipun amat dekat dengan buruh dan rakyat, Agus Salim tak bergeser dari Islam—sepanjang perjuangannya. Tak mengherankan, tatkala unsur-unsur komunis mulai masuk pada SI (ketika itu sudah menjadi partai) pada era 1920-an, ia bereaksi keras. Pada Kongres SI 1921, Agus Salim mengusulkan agar anggota yang sudah menganut komunisme agar meninggalkan SI demi disiplin partai.
Haji Umar Said Cokroaminoto
DE Ongekroonde van Java atau ”Raja Jawa tanpa Mahkota” adalah julukan pemerintah kolonial Belanda untuk Haji Umar Said Cokroaminoto. Laki-laki kelahiran Desa Bakur, Tegalsari, Ponorogo, Jawa Timur pada 1883 ini (meninggal 1934) ditakuti oleh Belanda kendati ia tak memiliki pendidikan formal. Anak bangsawan yang berayahkan Raden Mas Cokroamiseno ini hanya lulusan akademi pamongpraja Opleiding School voor Inlandse Ambtenaren (OSVIA) di Magelang.
Karir Cokroaminoto berawal setelah bertemu Haji Samanhudi, pendiri Sarekat Dagang Islam (SDI), di Surabaya pada 1921. Saat itu, Cokroaminoto mengusulkan agar nama SDI diubah menjadi Sarekat Islam—tanpa meninggalkan misi dagangnya—agar lebih luas cakupannya. Usul itu langsung diterima dan Cokroaminoto diminta menyusun anggaran dasar SI. Dalam waktu singkat, SI pun resmi berdiri (10 September 1912). Samanhudi menjadi Ketua dan Cokroaminoto menjadi komisaris untuk Jawa Timur.
Pada 1915, Cokroaminoto menjadi Ketua Central SI, yang merupakan gabungan dari SI di daerah-daerah. Sejak saat itu, ia kian berperan dalam mengukuhkan eksistensi SI. Pada Maret 1916, SI diakui secara nasional oleh pemerintah Hindia Belanda.
Meskipun SI bukan partai politik, Cokro-aminoto berulang kali menyebut pentingnya kebebasan berpolitik serta perlunya membangkitkan kesadaran akan hak-hak kaum pribumi. Ia melakukan hal itu melalui berbagai ceramah dan tulisan di media massa seperti Bintang Surabaya, Utusan Hindia, Fajar Asia. Cokroaminoto juga melakukan proses penyadaran itu terhadap anak-anak muda yang indekos di rumahnya di Surabaya. ”Kita diberi makan bukan hanya karena kita dibutuhkan susunya,” demikian ungkapan Cokroaminoto.
Ki Hajar Dewantoro
SIAPA sebenarnya Ki Hajar Dewantoro: pedagog atau arsitek politik? Dilahirkan dengan nama Suwardi Suryaningrat pada 2 Mei 1889, Ki Hajar Dewantoro besar di lingkungan Keraton Pakualaman yang amat feodalistis. Ayahnya, Kanjeng Pangeran Ario III Suryaningrat, seorang ningrat utama Paku Alaman, Yogyakarta.
Ki Hajar sempat mengenyam bangku Stovia pada 1905, tapi lima tahun kemudian beasiswanya dicabut karena ia gagal menyelesaikan ujian kenaikan tingkat. Pangeran muda ini lalu aktif menulis di pelbagai surat kabar, sembari bekerja di Apotek Rathkamp, di Yogyakarta. Pada 1911, ia memimpin harian de Express di Bandung bersama Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo. Tulisannya tajam dan sering mengkritik pemerintah kolonial Hindia Belanda. Artikelnya yang paling menyakitkan Belanda adalah Als ik eens Nederlander was (Seandainya Aku Seorang Belanda).
Tepat 6 September 1912, Ki Hajar (masih bersama Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo) mendirikan Indische Partij. Usia Ki Hajar waktu itu baru 23 tahun. Inilah partai politik pertama yang secara radikal menyerukan kemerdekaan Indonesia dari Belanda. Tiga tokoh ini kemudian dikenal dengan julukan ”Tiga Serangkai”.
Karena aktivitas politiknya yang dianggap membahayakan, pemerintah kolonial membuang ”Tiga Serangkai” ke luar negeri. Ki Hajar memilih Belanda sebagai tanah pengasingan selama enam tahun (1913-1919). Pembuangan ke luar negeri itu tak membuatnya patah arang. Pada 1918, Ki Hajar mendirikan kantor berita Indonesische Persbureau. Ia juga mendalami ilmu pendidikan dan meraih akta guru Eropa. Sepulang dari Belanda, dalam usia 33 tahun, ia mendirikan perguruan legendaris yang masih ada sampai sekarang, Taman Siswa.
Mohammad Natsir
MOHAMMAD Natsir adalah seorang tokoh pejuang aspirasi umat Islam yang amat membenci pengultusan individu. Karena itu, Natsir mengkritik bekas presiden Sukarno, yang berubah menjadi diktator karena dikultuskan, terutama setelah periode Demokrasi Terpimpin (1959). Menurut Natsir, peristiwa G30S meletus karena Sukarno sudah tak bisa lagi ditegur.
Natsir, yang bergelar Datuk Sinaro Panjang, lahir di Alahanpanjang, kota kecil berhawa sejuk di Solok, Sumatra Barat, pada 17 Juli 1908. Anak laki-laki yang dibesarkan dalam tradisi Islam yang kuat ini tak pernah tidur di rumah orang tuanya. Setiap malam, bersama kawan-kawannya, Natsir tidur di surau. Kendati bukan berasal dari keluarga berada, Natsir beruntung bisa mengenyam pendidikan berkualitas di sekolah-sekolah milik pemerintah Belanda. Antara lain, ia pernah belajar di sekolah rendah berbahasa Belanda, HIS Adabiyah, Padang.
Tumbuh sebagai seorang tokoh besar Masyumi, Natsir pernah menjadi ketua umum partai berlambang bulan bintang itu pada 1949-1958. Pria ini pernah menduduki sejumlah jabatan penting: Perdana Menteri RI pada 1950-51, Menteri Penerangan pada 1946-49, Ketua Dewan Dakwah Islamiyah dan Wakil Presiden Muktamar Alam Islami yang bermarkas di Karachi.
Ia juga memainkan peranan penting tatkala Indonesia menjadi negara kesatuan pada 1950. Sejarah mengenang Natsir—ia meninggal pada 1993—sebagai sosok yang memegang teguh nilai-nilai Islam dan kebangsaan sebagai dasar sikap berorganisasi dan kepemimpinannya.
Semaun
BERSAMA Tan Malaka, Semaun memperkenalkan sekaligus menjadi dinamo pemogokan buruh yang berlangsung secara beruntun pada akhir abad ke-19 dan semakin gencar pada awal abad ke-20. Maka, wajar saja jika pemerintah Hindia Belanda mencatat namanya sebagai salah satu musuh yang paling ditakuti.
Latar belakang Semaun tak banyak di-ketahui orang—termasuk tanggal dan tempat kelahirannya. Ada catatan yang menyebutkan 1899 sebagai tahun kelahirannya. Dalam literatur sejarah versi Orde Baru, secara selintas Semaun pun hanya disebut sebagai ”tokoh Sarekat Islam yang berhaluan komunis.”
Di masa remaja Semaun adalah pengikut Hendrik Sneevlit (tokoh sosialis Belanda), tepat ketika Sarekat Islam yang dimotori Haji Samanhudi dan Cokroaminoto tengah mekar-mekarnya. Oleh Sneevlit, Semaun disusupkan ke dalam organisasi ini. Dan berhasil. Ia diangkat sebagai Presiden Sarekat Islam Semarang pada 6 Mei 1917. Sejak itu, sosialisme dan komunisme cepat mengalir di tubuh Sarekat Islam. Di bawah kepemimpinannya, para pendukung kelompok ini berasal dari kalangan buruh dan rakyat kecil. Visi mereka pun berubah, dari gerakan kelas menengah (para pedagang) menjadi gerakan ”kiri” kaum buruh dan tani.
Menyusul Revolusi Oktober 1917 di Rusia, Semaun (bersama Darsono dan Douwes Dekker) membangun Persyarekatan Komunis di Hindia Belanda (23 Mei 1920). Mereka mendapat dukungan dari Tan Malaka, Alimin, dan Haji Misbach. Di tahun yang sama, Semaun menulis sebuah karangan yang khusus ditujukan untuk pergerakan buruh. Judulnya, Penoentoen Kaoem Boeroeh, yang diterbitkan dan dicetak oleh Drukkerij VSTP. Seperti judulnya, buku ini menjadi semacam panduan bagi kaum buruh mendirikan organisasi dan mengurus keuangannya sendiri. Pada 1919, Semaun memperkenalkan Manifest Komunis lewat Persdelict Semaoen untuk pertama kalinya.
Sukarno
MEGABINTANG itu bernama Sukarno. Ia lahir di Surabaya 1 Juni 1901 dari pasangan Raden Soekemi—seorang guru sekolah rakyat—dan Idayu Rai, yang masih berdarah bangsawan Bali.
Meraih gelar insinyur teknik sipil dari Sekolah Teknik Tinggi Bandung (kini Institut Teknologi Bandung), Sukarno menghasilkan beberapa desain pada 1926. Salah satu rancangannya menjelma men-jadi Hotel Preanger Bandung.
Debut politik pertama Sukarno adalah ikut mendirikan Algemene Studie Club di Bandung pada 1926, sebuah klub diskusi yang berubah jadi gerakan politik radikal. Tiga bulan setelah lulus kuliah, dia menulis rangkaian artikel dalam sebuah terbitan milik Klub Indonesia Moeda yang menarik perhatian kaum terpelajar kala itu. Tulisan itu berjudul Nasionalisme, Islam, dan Marxisme. Di situ Sukarno mendesakkan pentingnya sebuah persatuan nasional, satu front bersama kaum nasionalis, Islamis, dan Marxis, dalam perlawanan tanpa kompromi (nonkooperatif) terhadap Belanda. Sukarno juga berjasa mengilhami Sumpah Pemuda 1928 dan secara brilian merumuskan dasar negara Pancasila.
Pada usia 26 tahun, tepatnya 4 Juli 1927, Sukarno mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia, yang setahun kemudian berubah menjadi Partai Nasional Indonesia. Karena aktivitas politiknya, Sukarno dan beberapa anggota PNI ditangkap Belanda pada 1929. Ia kemudian diadili. Dalam salah satu per-sidangannya, ia membacakan pidato pembelaan yang monumental: ”Indonesia Menggugat”, 1 Desember 1930. Dan sejak itu bintangnya terus menanjak. Ia menjadi presiden pertama RI dan salah satu pemimpin yang disegani di lingkup internasional pada era itu.
Sutan Sjahrir
IA satu dari ”Triumvirat Bung” pendiri republik ini, bersama Sukarno dan Hatta—dengan garis hidup yang tragis dan ironis. Menjadi pemimpin di belakang gerakan kebangkitan Indonesia pada 1930-an; menghabiskan delapan tahun di penjara kolonial dan pembuangan; tiga kali menjadi perdana menteri; Sjahrir meninggal dalam status tahanan dari sebuah negara yang dia sendiri ikut membangunnya.
Sutan Sjahrir lahir 5 Maret 1909 di Padangpanjang, Sumatra Barat, dari pasangan M. Rasad Gelar Maha Raja Soetan dan Siti Rabiah. Sesudah menamatkan Europese Lagere School dan MULO di Medan pada 1926, ia melanjutkan pendidikan ke Algemeene Middlebare School, Jurusan Westers Klassiek, di Bandung.
Beberapa bulan sebelum Sukarno membentuk Perserikatan Nasional Indonesia pada 4 Juli 1927, Sjahrir sudah mendirikan perkumpulan Jong Indonesie, yang kelak menjadi Pemoeda Indonesia. Sjahrir juga menaruh perhatian besar pada pergerakan buruh. Ia pernah tampil membawakan makalahnya—kemudian diterbitkan sebagai buku berjudul Serikat Kerja—dalam Kongres Buruh di Surabaya, 1932. Berkat makalahnya itu, Sjahrir bahkan dipilih menjadi Ketua Sentral Persatuan Buruh Indonesia yang berkedudukan di Surabaya.
Hidup Sjahrir juga banyak diwarnai kesengsaraan. Pada usia 25 tahun, ia masuk ke bui karena pemerintah kolonial menganggapnya sebagai penjahat politik. ”Kejahatannya” adalah memimpin suatu organisasi yang menganjurkan pendidikan secara luas bagi orang Indonesia. Tiga belas tahun kemudian, dia duduk di salah satu kursi Dewan Keamanan PBB untuk membela Republik Indonesia yang baru saja diserbu Belanda.
Tan Malaka
Dalam catatan sejarawan Rudolf Mrazek—ia pernah menulis buku tentang beberapa tokoh sejarah Indonesia modern—Tan Malaka adalah Bapak Republik (Indonesia) sekelas George Washington, Bapak Bangsa Amerika. Adapun menurut Harry A. Poeze, penulis Pergulatan Menuju Repu-blik, Tan Malaka, 1925-1945, Tan Malaka adalah tokoh kontroversial dan paling misterius dalam sejarah Indonesia modern.
Tak ada yang tahu persis kapan kelahirannya. Ada yang menyebut 14 Oktober 1894, 1896, atau 1897. Poeze sendiri cenderung memilih kelahiran Malaka pada 1897 berdasarkan asumsi bahwa ia sudah masuk sekolah rendah pada 1903, yang diperkirakan menerima murid baru pada usia enam tahun. Kematiannya juga tak pernah meninggalkan jejak.
Tan Malaka melewatkan masa remajanya di Belanda. Ia mengenyam pendidikan sekolah guru di Haarlem, dekat Amsterdam. Dan sempat menjadi guru di perkebunan Senembah, 1920. Dua tahun kemudian, ia tampil di sidang Komintern, Moskow. Di jantung komunisme itu, ia menegaskan perlunya persatuan dan kerja sama dengan berbagai kekuatan, termasuk Islam dan kaum nasionalis, untuk memenangi perjuangan. Pada 1925 lahir bukunya yang berjudul Naar de Republik Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Buku ini mengandung pemikirannya tentang program politik, ekonomi, sosial, dan militer yang diperlukan dalam perjuangan kemerdekaan.
Kendati menyokong komunisme, Tan mengkritik pemberontakan Partai Komunis Indonesia melawan pemerintah Belanda pada pertengahan 1920-an. Salah satu kritiknya tertuang dalam buku Massa Actie (terbit 1926), berisi analisis tajam tentang perlunya dukungan rakyat yang besar dan kuat untuk melakukan revolusi.
Julius Tahija
JULIUS Tahija lahir dengan bakat dagang yang kuat. Dan sebagai anak dagang, ia menerapkan optimisme ini sepanjang hidupnya: kesempatan baik bisa datang dari mana saja. Lahir di Surabaya 13 Juli 1916, Tahija sudah berbisnis menyalurkan beras dari penggilingan padi dekat sekolahnya tatkala ia duduk di Salberg Handelschool (semacam sekolah lanjutan pertama) Surabaya. Remaja yang masih bercelana pendek itu mencari pelanggan dari ibu-ibu di sekitar sekolahnya.
Semasa masa anak-anak remaja, Tahija banyak bergaul dengan kawan-kawannya dari golongan Cina. Percampuran yang intens dengan teman-teman Cinanya membuat Tahija banyak belajar tentang cara berdagang. Ia juga mengenal lebih jauh nilai-nilai positif dalam tradisi bisnis Cina seperti tidak curang terhadap pelanggan lama dan bekerja keras. Tapi, menurut Tahija, nilai paling utama adalah kepercayaan. Sekali seseorang dipercaya dan diterima di keluarga Cina itu, maka dia akan dibantu untuk menjalani apa pun. Hidup di kota pelabuhan besar seperti Surabaya membantu Tahija mengerti berbagai budaya, seperti Jawa, Cina, Ambon, Belanda, dan Inggris.
Karir serius Tahija di jalur bisnis dimulai ketika ia diterima menjadi pegawai PT Caltex Pacific Indonesia, pada awal 1950-an. Karir bekas prajurit angkatan udara ini menanjak terus hingga ke posisi Direktur Utama PT Caltex. Prestasi ini sekaligus mencatatkan Tahija sebagai orang Asia pertama yang mencapai posisi tertinggi di perusahaan multinasional itu.
Lepas dari Caltex, Tahija memilih membuka perusahaannya sendiri. Hingga saat ini, Tahija tercatat menjadi pemegang saham di berbagai perusahaan, antara lain Bank Niaga.
Oei Tiong Ham
Raja Gula adalah julukan Oei Tiong Ham. Predikat ini tidak berlebihan karena pemilik perusahaan Oei Tiong Ham Concern di Semarang ini pernah menjadi salah satu orang terkaya di dunia, jauh sebelum Indonesia merdeka.
Cerita Tiong Ham bermula dari migrasi ayahnya, Oei Tjie Sien, dari Cina daratan ke Semarang, pada 1858. Ketika itu, Tjie Sien masih berusia 23 tahun. Lahir dari sebuah keluarga terpelajar dan kaya, Tjie Sien meninggalkan tanah leluhurnya karena pemberontakan dan kekacauan di Cina. Di Semarang, tanah perantauan yang baru, Tjie Sien mulai meletakkan dasar-dasar kejayaan ”Dinasti Oei”: ia mendirikan perusahaan Kian Gwan berdagang menyan, gambir, dan hasil bumi lainnya, serta mengekspornya ke negara-negara Asia lainnya.
Putra Tijie Sien, Oei Tiong Ham, lahir di Semarang pada 1866 (meninggal 1924). Tjie Sien memilih Tiong Ham untuk meneruskan usaha keluarga. Pada usia 12 tahun, Tiong Ham sudah mendapat sebidang tanah yang cukup luas untuk ia manfaatkan. Semasa remaja, Tiong Ham berjanji kepada ibunya bahwa dia akan 50 kali lebih kaya dari ayahnya pada suatu hari kelak.
Janji itu menjadi kenyataan. Setelah ayahnya meninggal pada 1900, usaha Tiong Ham berkembang pesat. Pada 1920-an, tercatat seperempat luas kepulauan Singapura adalah milik Tiong Ham. Total kekayaannya pada masa itu diperkirakan mencapai 200 juta gulden Hindia Belanda. Selain sebagai raja gula, pria yang amat menaati nilai-nilai Konghucu ini mendapat julukan lain sebagai ”Orang Terkaya Antara Shanghai dan Australia”.
Surya Wonowijoyo
Surya Wonowijoyo merantau ke Sampang, Madura, dari Cina daratan, bersama ayahnya ketika dia masih berusia tiga tahun. Surya punya nama asli Tjoa Jien Hwie. Mula-mula ia bekerja di pabrik rokok ”93” milik pamannya. Tak ada kecocokan dengan sang paman, laki-laki kelahiran Fukkien, Cina, pada 1923 ini (meninggal 1985) keluar dari pabrik tersebut dengan membawa 50 buruh. Surya kemudian mendirikan pabrik rokok Gudang Garam pada 1958, di Kediri, Jawa Timur. Kiprahnya sebagai manajer dia mulai pada usia 35 tahun.
Tanpa modal cukup, Surya terus berupaya menghidupkan pabrik kecilnya itu. Untuk itu, dia bekerja amat keras—baru meninggalkan pabrik pada dinihari. Keuletan dan kepandaiannya mencampur saus rokok telah menjadikan Gudang Garam salah satu raksasa rokok Indonesia sampai hari ini.
Kini Gudang Garam memiliki enam unit pabrik di atas lahan sekitar 100 hektare. Pabrik Surya juga memiliki lebih dari 40 ribu buruh dan sekitar 3.000 karyawan tetap. Pabrik rokok warisan Surya Wonowijoyo ini menyumbang negara melalui cukai rokok lebih dari Rp 100 miliar per tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini