SETELAH lima tahun terhenti, program perluasan daerah bebas
beca di Surabaya dimulai lagi. Bulan lalu, Jalan Embong Malang,
Jalan Pemuda dan Basuki Rahmat dinyatakan sebagai daerah haram
baru bagi beca. Selama ini hanya Jalan Tunjungan yang bebas beca
-- sejak tahun 1974.
Di luar dugaan, kali ini tidak ada aksi yang menentang. Ini
berbeda dengan yang terjadi di Malang. Bulan lalu juga, Walikota
Malang Kol. Sugiyono mencoba memproklamirkan daerah bebas beca
pertama di kota dingin itu -- sekitar Kayu Tangan. Mungkin
lantaran baru kali ini ada daerah bebas beca di sana, maka
ratusan sopir kendaraan beroda tiga itu berdemonstrasi. Sugiyono
yang kemudian menemui para demonstran memberikan pengertian pada
mereka dan demonstrasi pun bubar.
Di sela-sela kabar buruk bagi kendaraan jenis ini tiba-tiba ada
kabar menggembirakan. Gubernur Jawa Timur Sunandar Priyosudarmo
pertengahan Juni lalu mengeluarkan instruksi agar tukang-tukang
beca di Kota Surabaya dan Malang mendapat pengobatan gratis.
Caranya, seperti dikatakan Kepala Humas Pemda Jatim Suhartono
pada TEMPO, mendatangi Puskesmas setempat dengan membawa SIM-B
alias surat izin mengemudi beca.
Mengapa hanya kedua kota besar itu yang diinstruksikan, menurut
Suhartono itu sebagai pilot proyek. "Kalau berhasil baik di
kedua kota itu akan diperluas ke kota-kota lain di Ja-Tim,"
tambahnya.
Menurut taksiran walikota Surabaya, Muhadji, ada 36.000 beca di
Surabaya sekarang ini -- tapi tidak semuanya punya SIM.
"Menurut, taksiran kami angka kesakitan mereka sekitar 25 persen
dan yang datang ke Puskesmas tidak sampai 10 persen," ujar dr.
Ny. Sukardono, kepala Bagian Pembinaan Kesehatan dan Keluarga
Berencana Dinas Kesehatan Kota Surabaya. "Jadi tidak akan
merepotkan 17 Puskesmas yang ada di Surabaya," tambahnya.
Pusing & Keseleo
Bagaimana sambutan para tukang beca? "Wah ya senang sekali,"
ujar Muhidi, 34, asal Lamongan. Tapi sebagaimana lebih 10 tukang
beca lainnya yang ditemui TEMPO, Muhidi belum mendengar adanya
peraturan itu. Bahkan mereka bertanya lebih banyak. Muhidi
mengaku jarang sekali sakit. "Mungkin karena olahraga terus dan
selalu minum jamu kuat," katanya. Yang dimaksud olah raga adalah
menarik beca itu sendiri. Karena itu, Muhidi justru lebih senang
kalau anak dan isterinya yang lebih sering sakit bisa dapat
pengobatan gratis. "Soalnya kalau hanya sakit "puskesmas"
(maksudnya PUSing, KESeleo, MASuk angin) tidak pernah kita
rasakan. Jadi belum pernah ke Puskesmas," kata tukang beca ini.
Di Surabaya, sebenarnya pernah ada SK dari bekas Walikota
Suparno yang juga memberikan pengobatan gratis pada mereka ini.
Tapi biarpun SK itu dikeluarkan tahun 1976 lalu, lebih 10 tukang
beca yang ditanya tidak ada yang tahu. Demikian juga, beberapa
Puskesmas hampir tidak ada tukang beca yang datang.
"Paling-paling seminggu hanya seorang," ujar seorang petugas
Puskesmas Kali Bokor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini