Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ekspedisi Kapal Borobudur Jalur Kayu Manis Teks dan arahan visual: Yusi Avianto Pareanom Gambar: M. Dwi Bondan Winarno dan Dhian Prasetya Penerbit: Banana, Jakarta, 2007 Tebal: 48 halaman
Segarnya lautan Indonesia …
Nggak usah merasa jadi Leonardo DiCaprio, deh! Perjalanan laut yang romantis itu bukan cuma milik Titanic. Bangsa kita juga punya pengalaman menarik.
Sudah baca ini belum?
Aku nggak tahu kalau ada kisah Tintin tentang jalur kayu manis.
Astaga, ini bukan khayalan Herge lagi. Tapi kisah nyata yang terjadi selama enam bulan pada 2003—2004, dan menempuh jarak 11 ribu mil laut. Komik dokumenter.
Maksudmu seperti Rampogan Jawa-nya Peter van Dongen.
Ya, atau seperti Fax From Sarajevo-nya Joe Kubert yang berkisah tentang perang Bosnia.
Bedanya, kalau Kubert menulis dari bahan faksimile temannya di Bosnia, kalau untuk Ekspedisi Kapal Borobudur penulisnya, Yusi Pareanom, mewawancarai langsung para awak kapal dan mengecek buku log kapal.
Jadi bahannya sih serius, tapi .…
Tapi apa? Kisahnya kurang menarik? Banyak salah cetak?
Salah cetak itu bisa dimaklumi, apalagi ini buku pertama. Kisahnya sendiri menarik. Tentang ide Philip Beale, mantan anggota Angkatan Laut Inggris yang menggagas napak tilas jalur ekspedisi yang pernah dilakukan armada Sriwijaya dan Syailendra berabad-abad lalu.
Luar biasa! Jadi mengapa kamu masih bilang “tapi”? Gambarnya jelek?
Tidak, tarikan garisnya bagus, pewarnaannya lumayan. Cuma sebagai karya kreatif, komik ini terlalu dibebani banyak pesan sponsor.
Misalnya gambar Menteri dan stafnya yang menghabiskan beberapa panel gambar, itu untuk apa?
Pembaca butuh petualangan, konflik, dramatika, kisah cinta. Ingat Harta Karun Rackham Merah-nya Tintin atau film Master & Commander-nya Russell Crowe?
Tapi kau sendiri bilang ini komik dokumenter. Sedangkan contoh-contoh yang kau sebut itu kan fiksi?
Begini, perjalanan sejauh 11 ribu mil laut selama enam bulan itu tentu sebuah kisah yang kaya sekali. Ke Madagaskar, ke Afrika Selatan, dan tempat-tempat lain.
Kapal itu sendiri menjadi sebuah panggung kehidupan yang tak banyak diketahui masyarakat luas. Nah, mestinya masuk dong, lebih dalam, apalagi para awak juga diwawancarai. Ini masih kentang!
Kentang?
Ini istilah anak sekarang buat ”kena tanggung”. Nggak gaul amat sih, kamu. Bahannya sudah bagus, tapi ya itu tadi, ”kentang”.
Jadi aku nggak perlu baca nih?
Oh no, baby! Kamu tetap harus baca. Untuk ukuran komik Indonesia, apa yang sudah dilakukan Yusi dkk ini terobosan menarik.
Tapi aku sendiri berharap, kalau mereka akan membuat komik lanjutan, hal-hal yang menyangkut seremonial-protokoler sebaiknya jangan mengambil panel komik deh.
Masukkan saja ke prolog atau epilog. Itu pun jangan panjang-panjang, cukup 1-2 halaman. Kalau kepanjangan, apa bedanya dengan khotbah, coba?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo