Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
”Yo konco neng nggisik gembiro
Alerap-lerap banyuning segoro
Angliyak numpak prau layar
Ing dino Minggu keh pariwisoto”
GENDING tembang Prau Layar ciptaan dalang legendaris Ki Nartosabdo mengalun riang dari ruang laboratorium SMA Negeri Prembun, Kebumen, Jawa Tengah. Suara bonang, saron, kendang, dan gender sahut-menyahut lincah. Seperti kata Ki Nartosabdo dalam Prau Layar: ngilangake roso lungkrah lesu (menghilangkan rasa lelah).
Namun, ketika Tempo melongok ke ruang laboratorium, Senin siang pekan lalu, tak ada satu pun perangkat gamelan. Yang ada cuma sederet komputer dan perangkat audio. Sembilan murid SMA Prembun juga tak sedang menabuh bilah-bilah saron atau bonang. Jari-jari mereka lincah menari di antara papan ketik atau sibuk menggerakkan tetikus komputer.
Sembilan komputer itulah gamelan mereka. Satu komputer berfungsi sebagai bonang barung, yang lainnya menjadi bonang panerus, saron demung, saron panerus, kendang, kenong, gong, slenthem dan gender barung. Komputer-komputer itu berubah menjadi bonang dan saron berkat Gamelan Virtual.
Gamelan ini adalah peranti lunak yang dibuat Joko Triyono, guru seni budaya di SMA Prembun. Menurut Joko, semula dia merancang aplikasi itu untuk menarik minat muridnya belajar gamelan. Cara Joko ini lumayan manjur. Anak-anak sekolah, yang kebanyakan lebih akrab dengan komputer, sebagian terpincut gamelan.
Agung Laksono, ketua kelompok gamelan SMA Prembun, misalnya, berucap, ”Hobi saya sebenarnya utak-atik komputer.” Lain pula ”penabuh” saron demung, Ahmad Fahmi. Hobinya main Alien Shooter, game baku tembak buatan Sigma Team. Menurut dia, ”Main gamelan ini rasanya tak ada beda dengan main game.”
Joko, 45 tahun, lulusan diploma seni budaya Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Semarang, merancang Gamelan Virtual sejak Desember 2005. Modalnya hanya belajar dari buku dan coba-coba. Dia hanya butuh tiga bulan untuk menuntaskan peranti itu.
Pertama, Joko merumuskan menu navigasi dan apa saja isi aplikasinya. Berikutnya, dia merekam bunyi masing-masing instrumen gamelan dan mengolahnya dengan CoolEdit (sekarang Adobe Audition). Ini bagian yang paling sulit untuk mendapatkan sampel suara yang paling pas dan jernih. ”Saya perlu tiga kali mengulang,” katanya.
Setelah urusan merekam sampel suara kelar, dengan aplikasi Adobe Macromedia Flash dia membuat desain, ilustrasi, menu navigasi, sekaligus animasinya. Menurut Joko, gamelannya memang masih serba terbatas. Aplikasi ini baru bisa memainkan sembilan perangkat gamelan.
Beberapa perangkat masih belum bisa dimainkan lewat Gamelan Virtual. ”Seperti suling dan rebab, mainnya harus pakai perasaan. Susah dibuatkan versi virtualnya,” kata Joko. Walaupun belum komplet benar, Gamelan sudah lebih dari cukup untuk belajar karawitan.
Apalagi Gamelan tak butuh komputer yang spesifikasinya tinggi-tinggi amat sebab ukuran file-nya hanya tiga megabita. Komputer dengan prosesor Intel Pentium (versi pertama) pun tak soal bagi Gamelan. Agak sayang, Gamelan belum ada versi Linux-nya.
Bagi Puji Arum Sari, ”penabuh” kenong virtual, main gamelan di komputer lebih menyenangkan ketimbang main gamelan asli. Sejak SMP, Puji memang sudah bisa bermain gamelan. ”Bunyinya memang masih lebih enak gamelan beneran,” kata Puji.
Gamelan ini juga sudah beberapa kali mendapat penghargaan. Tahun lalu, Joko mendapat medali emas Lomba Media Pembelajaran yang diadakan Departemen Pendidikan Nasional. Tim ”penabuh” SMA Prembun juga berulang kali manggung ke beberapa kota di Jawa Tengah. Honornya, kata Joko, lumayan. Bahkan, pemerintah Thailand tertarik mengundang mereka.
Fahmi menceritakan pengalaman manggung tahun lalu di Universitas Dian Nuswantoro, Semarang. Awalnya mereka hanya diminta tampil membuka acara. Usai manggung, mereka segera angkat koper pulang ke Kebumen. Tapi, baru sampai di Magelang dalam dua jam, mereka diminta balik untuk menutup acara.
”Panitia meminta kami membawakan tembang yang berbeda dengan lagu pembukaan,” katanya. Panitia berharap mereka memainkan gending Pangkur dan Gangsaran. Padahal mereka sama sekali tak hafal nada-nadanya. ”Saat di bus, masing-masing anak menghafal nada dengan mulut. Mo, lu, mo, ro...,” Fahmi mengenang.
Joko sudah mempatenkan karyanya ini. Sekarang dia sedang membuat program proteksi agar Gamelan tak gampang dibajak. Dia belum menjual bebas Gamelan, kendati beberapa sekolah di Jepara dan Kudus sudah memesan.
Joko masih enggan menyebut berapa dia membanderol Gamelan. Yang terang, pasti jauh lebih murah ketimbang membeli perangkat gamelan asli. ”Paling hanya untuk mengganti ongkos pembuatannya,” katanya. Bagi dia, minat sekolah lain memakai Gamelan saja sudah membuatnya bungah.
Nun di Somerset, Inggris, ada sekolah Wells Cathedral. Sekolah di bagian barat daya Inggris itu membeli perangkat gamelan Jawa pada 1995. Mereka mengajarkan main gamelan sebagai satu bagian pelajaran musik.
Lima tahun lalu, John Williams, Wakil Direktur Musik Wells, membuat aplikasi Virtual Javanese Gamelan. Serupa dengan Joko, Williams membuat Virtual juga untuk memperkenalkan sekaligus menarik minat muridnya agar mau belajar gamelan.
Williams perlu tiga tahun untuk menuntaskan Virtual. Dia dibantu ahli gamelan Andy Channing dari South Bank Centre Gamelan. Andy pernah belajar karawitan di Sekolah Tinggi Seni Indonesia di Surakarta. Pada Maret 2005, Virtual meraih penghargaan Learning on Screen dari British Universities Film & Video Council.
Lewat Virtual ini, selain bisa mengenal ihwal gamelan termasuk sampel bunyinya dan musik Indonesia, kita bisa membuat komposisi gending sendiri. Cara membuatnya tak susah. Pilih instrumen gamelannya dan masukkan angka nada ke papan Virtual. Kalau sudah lengkap, klik tombol play buat menyimak hasilnya. Kalau merasa masih belum oke di kuping, silakan ulangi sampai puas, baru kemudian disimpan.
Virtual bisa diunduh gratis di www.imusic.org.uk. Repotnya, jika kecepatan Internet lelet, mengunduh file bisa lama karena ukurannya lebih dari 100 megabita.
Virtual juga pasang syarat komputer spesifikasi lebih tinggi ketimbang Gamelan, minimal prosesor Intel Pentium III dengan memori 128 megabita. Virtual hanya bisa bekerja di sistem operasi Microsoft Windows (minimum Windows 98 SE) dan Apple Macintosh (minimum Mac OS 10.2.6 Jaguar Black). Belum lagi, syarat aplikasi Apple QuickTime minimal versi 6.2. Untungnya, QuickTime juga bisa diunduh gratis.
Sekarang, sama-sama saron, gong, dan bonang, tinggal mau pilih yang mana, gamelan Jawa virtual made in Prembun atau Somerset.
Sapto Pradityo, Aris Andrianto (Kebumen)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo