Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
THE DUCHESS
Sutradara: Saul Dibb
Skenario: Saul Dibb, Jeffrey Hatcher, Anders Thomas Jensen
Berdasarkan biografi Georgiana: Duchess of Devonshire karya Amanda Foreman
Pemain: Keira Knightley, Ralph Fiennes, Dominic Cooper Produksi: Paramount Vantage
PADA abad ke-18, para perempuan bangsawan Inggris bukan hanya sibuk menyusun rambutnya yang menjulang seolah mencapai langit—saking tingginya—tetapi juga sibuk merancang kehidupan masa depan. Hitung-hitungannya: suami mana yang kira-kira bersedia mengawininya dan bagaimana mereka bisa hidup ”berkecukupan” (berapa hektare tanah, berapa buah puri, berapa ratus kuda, berapa karat berlian). Para lelaki bangsawan mencari istri yang muda, yang cantik, yang mampu memberikan keturunan; yang tetap tenang dan tidak histeris ketika sang suami tidur dengan ”selir-selir”-nya.
Georgiana Spencer (Keira Knightley), nenek moyang Putri Diana Spencer, adalah seorang putri bangsawan muda yang membayangkan dirinya sebagai istri Duke of Devonshire yang cantik dan bahagia di dunia. Jangan kaget jika melihat sang ibu tawar-menawar harta dengan Duke of Devonshire. Itu dianggap sebagai ”kelaziman” di kalangan aristokrat zaman itu. Karena itu, ketika sang suami yang dingin—dan tampak selalu bosan dengan apa pun yang terjadi di sekelilingnya—akhirnya berhasil mengajak tidur Lady Elizabeth Foster (Hayley Atwell), Georgiana yang sudah menjadi The Duchess dengan sanggul yang menjulang ke langit itu baru menghadapi kenyataan itu: kehidupan aristokrat adalah kehidupan hipokrisi yang kental.
Protes sang Putri terhadap suaminya dianggap angin. Apalagi Georgiana ”hanya” berhasil melahirkan keturunan perempuan. The Duke, sang suami, punya tiket emas untuk hidup bebas dengan berbagai perempuan dengan ”jaminan” sang istri harus menoleh ke arah lain. Tapi Georgiana, seperti juga keturunannya yang namanya bersinar dua abad kemudian: Diana Spencer, bukan perempuan aristokrat biasa. Dia tidak menerima perselingkuhan suaminya.
Karena sang suami tak peduli, Georgiana menumpahkan kasih sayangnya kepada Charles Gray (Dominic Cooper), calon perdana menteri yang mencintainya dengan tulus. Giliran sang suami yang tak bisa menerima tingkah laku sang istri. ”Kau mempermalukan aku di depan publik.”
Sungguh tak sulit bagi penonton untuk membandingkan drama Georgiana Spencer dengan nasib cicitnya sendiri kelak pada abad ke-20. Cuma, perbandingan ini tak penting. Sebetulnya sejauh apa sutradara Saul Dibb mampu menampilkan penderitaan Georgiana, seorang putri cantik yang terpaksa menerima kehadiran perempuan lain di bawah satu atap—hampir seperti kehidupan poligami begitulah—dan menikmati hidangan di meja makan yang sama. Bagaimana dia harus menahan ledakan di dadanya, setiap kali mendengar suaminya bercinta di kamar sebelah; atau melihat keakraban suaminya dengan putra Elizabeth (dari suaminya yang pertama). Hubungan Georgiana dan Elizabeth digambarkan tetap akrab.
Kecantikan Keira Knightley yang memiliki kecantikan bak arca Yunani itu, serta kostum yang sak hohah (maksudnya: luar biasa mewah) itu, memang sebuah konsep yang memanjakan mata. Tetapi Keira yang cantik jelita itu bukan seorang Kirsten Dunst. Sesuatu yang bergolak di dalam pikiran sang Putri tak berhasil menembus keluar kulitnya yang licin bak porselen itu. Kita tak melihat pergulatan jiwanya sebagai seorang perempuan yang telanjur hamil oleh Charles Gray, tetapi tetap harus menjaga ”posisi” sebagai seorang istri Duke of Devonshire. Adegan pemberian bayi itu kepada sebuah keluarga seharusnya bisa menjadi adegan yang besar; yang membuat remuk. Seni peran Keira Knightley bahkan lewat dibanding Ralph Fiennes yang berhasil memperlihatkan seonggok lelaki paruh baya yang egonya tak boleh tergoret barang segaris pun. Seharusnya film ini memberikan peluang pada Keira untuk menunjukkan: Georgiana Berkata....
Yang membuat film ini tetap menarik, dengan segala kostum dan tata artistik berabad yang lalu, temanya masih tetap relevan. Setelah berabad-abad, toh perempuan selalu dituntut untuk ”paham” jika pihak suami berhasrat berganti-ganti teman tidur. Sang istri dipersilakan menoleh ke arah lain dan berpura-pura sibuk dengan jadwal belanja dan urusan anak-anak. Dalam film ini, Georgiana terpaksa menerima nasibnya. Dua abad kemudian, Diana mengatakan: tidak pada perkawinan yang runtuh.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo