Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah studi terbit di jurnal PLOS One 19 Maret 2025 mengungkap bahwa banyak video tentang gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas atau attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) di TikTok tidak sesuai dengan kriteria diagnostik para dokter atau profesional. Dari 100 video TikTok paling banyak ditonton yang ditandai sebagai konten ADHD, kurang dari setengahnya yang memberikan informasi akurat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Video-video itu, yang telah mengumpulkan hampir setengah miliar penayangan, disebutkan lebih banyak didasarkan pada pengalaman dan opini pribadi. Akibatnya, banyak dari mereka tidak menangkap kompleksitas ADHD, seperti bagaimana gejalanya bisa berbeda pada setiap orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“TikTok bisa menjadi alat yang luar biasa untuk meningkatkan kesadaran dan mengurangi stigma, tapi juga memiliki sisi negatif,” kata psikolog klinis University of British Columbia (UBC), Kanada, Vasileia Karasavva, yang menjadi ketua tim dalam penelitian itu, dikutip dari Science Alert.
Menurut Karasavva, anekdot dan pengalaman pribadi memang kuat, "Tapi jika tidak memiliki konteks, mereka bisa menyebabkan kesalahpahaman tentang ADHD dan kesehatan mental secara umum.”
Dalam studi tersebut, para peneliti juga menguji lima video yang dinilai paling akurat dan lima video paling tidak akurat dari 100 video teratas yang telah dinilai oleh psikolog klinis. Sepuluh video ini ditunjukkan kepada 843 mahasiswa yang mengambil mata kuliah pengantar psikologi. Hasilnya menunjukkan adanya perbedaan persepsi antara ahli dan mahasiswa mengenai nilai edukatif dari video tersebut.
Lima video paling akurat mendapat skor rata-rata 3,6 dari psikolog dalam skala 5, tetapi hanya 2,8 dari mahasiswa. Sementara, lima video paling tidak akurat tergambar dengan skor 1,1 dari psikolog, tapi dampat skor 2,3 atau lebih tinggi dari mahasiswa.
Temuan ini menunjukkan adanya kesenjangan pemahaman antara profesional kesehatan mental dan penonton muda mengenai konten ADHD di TikTok. Para peneliti menilai misinformasi ini berpotensi mengganggu pemahaman publik tentang ADHD, yang bisa berdampak pada jumlah orang yang didiagnosis dan mendapatkan perawatan.
“Menangani masalah ini sangat penting untuk meningkatkan akses terhadap pengobatan dan memperkuat dukungan bagi mereka yang memiliki ADHD,” tulis para peneliti dalam makalah yang diterbitkan.
Selain itu, studi ini menemukan bahwa mahasiswa yang lebih sering menonton konten ADHD di TikTok cenderung lebih sering membagikannya dan lebih mungkin menganggap ADHD lebih umum daripada kenyataannya. Para peneliti juga menyoroti kreator konten TikTok lebih dihargai karena menarik penonton dibandingkan dengan menyajikan informasi yang akurat.
Mereka mendorong agar lebih banyak profesional kesehatan membagikan konten edukatif di platform tersebut. “Beberapa anak muda beralih ke TikTok karena adanya hambatan akses atau pengalaman buruk yang mereka alami dengan profesional kesehatan mental,” ujar Amori Mikami, profesor psikologi di UBC, anggota tim peneliti.
Masih Minim Penelitian tentang TikTok
TikTok adalah platform media sosial di mana pengguna bisa mengunggah konten dalam format video pendek. Popularitas aplikasi bikinan ByteDance yang berbasis di Cina ini telah tumbuh pesat selama lima tahun terakhir, dan saat ini memiliki lebih dari 50 juta pengguna aktif yang setidaknya menghabiskan waktu hampir satu jam di aplikasi itu setiap harinya.
Sebanyak dua dari lima warga AS memilih TikTok ketimbang mesin pencari yag lebih tradisional, seperti Google. Preferensi untuk TikTok terkuat di antara Gen Z (64 persen) dan Milenial (49 persen). Meski pengaruhnya dan popularitasnya yang luas, TikTok adalah platform media sosial yang hingga kini paling sedikit ada penelitiannya.