Tindak kriminal sering kali tidak hanya menimbulkan kegusaran pada korban, tapi juga pada petugas kepolisian. Masalahnya, laporan saksi mata yang satu bisa berbeda dengan saksi yang lain, sekalipun keduanya melihat kejadian yang sama. Bila hanya mengandalkan keterangan saksi—yang bisa saling bertentangan—bisa-bisa sang penjahat akan kembali beraksi sebelum dibekuk. Berdasarkan pada kebutuhan untuk meringkus penjahat secara lebih cepat inilah, perusahaan peranti lunak Autonomy di Inggris merancang satu sistem bernama Leo, yang bisa mengakses data tindak kejahatan selama empat tahun terakhir.
Pada Juni ini, Leo mulai diujicobakan di Kepolisian Essex, Inggris. Menurut Julian Robinson, petugas yang mengembangkan sistem ini di wilayah hukum tersebut, kepada The Sunday Times, Leo memakai lusinan database yang berbeda. Ini untuk membantu polisi, yang biasanya mengalami kesulitan untuk mengaitkan kejadian terakhir dengan tindak pidana sebelumnya karena bertumpuknya data. Nah, Leo akan membantu menyisir ribuan file dan menghadirkan kemungkinan terbesar, dengan berpijak pada kesamaan angka matematis di tiap database, ke layar komputer petugas.
Bila petugas memasukkan kata kunci, atau kalimat kunci, misalnya penjahat yang menggunakan anjing sebagai pembantunya, Leo akan memberikan 50 link (pranala) yang punya kemungkinan berkaitan dengan pelaku kejahatan yang dicari. Bisa saja 49 pranala yang muncul tidak relevan, tapi dengan tampilnya 50 pranala secara grafis, petugas bisa mendapatkan petunjuk untuk pemecahan kasus. Sistem ini juga akan memberikan semacam peringatan tentang kemiripan dengan suatu kasus yang mungkin sudah ditinggalkan penyidikannya bertahun-tahun sebelumnya karena tak ada petunjuk lebih lanjut.
Menurut Mike Lynch dari Autonomy, saat ini Leo masih punya ketergantungan besar pada petugas. Ia berharap, tak lama lagi sistem ini sudah bisa bekerja dengan lebih baik dan memberikan jalan menuju pemecahan masalah kriminalitas. Hanya saja, ada satu hal yang perlu diperhatikan: seleksi yang ketat terhadap data yang relevan sehingga sang petugas tidak ditimbuni oleh data yang tak perlu.
Nah, tampaknya tak ada salahnya Indonesia mengimpor software (peranti lunak) semacam ini. Siapa tahu ia bisa membantu menemukan pembunuh orang-orang yang dituduh sebagai dukun santet, atau mencari tahu siapa provokator—kalau memang ada—di balik kasus-kasus kerusuhan dan kriminalitas yang sekarang masih misterius itu.
Yusi A. Pareanom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini