Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Hak Tanah Masyarakat Adat

27 Juni 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) sejalan dengan tulisan TEMPO, edisi 6 Juni 1999, halaman 36, yang mempersoalkan "sampai kapan politik pertanahan terus menafikan hak tanah masyarakat adat?" Untuk menjawab persoalan ini, berikut ini saya menyajikan hasil studi KPA yang dipimpin oleh Maria Rita Ruwiastuti, S.H.

Praktek pelanggaran hak masyarakat adat atas sumber agraria oleh perusahaan penanam modal besar ternyata memperoleh dukungan resmi dari pemerintah. Terbukti dari adanya dokumen hukum yang menjadi dasar bagi hak baru (seperti hak guna usaha, kontrak pertambangan dan penguasaan pertambangan, hak pengusahaan hutan, hak pengusahaan hutan tanaman industri) di atas sumber agraria maupun di dalam perut bumi. Dukungan resmi yang diberikan oleh pemerintah kepada perusahaan penanaman modal besar itu sah dan dibenarkan oleh hukum nasional. Dari pasal-pasal itu diketahui bahwa konsep pengakuan hukum terhadap hak masyarakat adat atas sumber agraria adalah pengakuan bersyarat yang tidak mampu memenuhi kebutuhan kelompok masyarakat adat akan jaminan penghargaan dan perlindungan hukum yang utuh. Pengakuan bersyarat yang ditawarkan oleh pembuat undang-undang itu mendapatkan dasarnya dari hak menguasai (negara), yang di antaranya tercantum pada Pasal 2 UUPA 1960. Namun, konsep "menguasai" yang terdapat di situ setelah dian lisis secara kritis ternyata terlepas melampaui konsep "menguasai" yang terdapat pada Pasal 33 (3) UUD yang sehari-hari dijadikan payung, pelindung, dan pembenar.

Konsekuensinya, jika kita bermaksud menawarkan bentuk perlindungan dan penghargaan hukum yang lebih utuh, menyeluruh, serta memenuhi kebutuhan kelompok-kelompok masyarakat adat akan jaminan keamanan penguasaan sumber agraria yang menghidupinya, yang pertama-tama perlu dilakukan adalah mengoreksi konsep "menguasai" yang di antaranya terdapat pada Pasal 2 UUPA 1960. Kedua, mengemukakan sebuah konsep pengakuan holistik yang mensyaratkan dihormatinya hak menentukan nasib sendiri (meliputi hak untuk hidup dan berkembang dalam kebudayaan setempat, penguasaan teritori dan otonomi politik) dalam konstitusi negara kita. Untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan itu pertama-tama perlu dilakukan perubahan pandangan dan sikap politik rakyat ke arah yang lebih menghormati hak menentukan nasib sendiri kelompok-kelompok tersebut.

ERPAN FRYADI
Sekretaris Jenderal Badan Pelaksana
Konsorsium Pembaruan Agraria

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus