Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENARA BRI di Bandung runtuh terhantam bola yang meluncur deras, malam itu. Tapi, seperti sulap, sesaat kemudian gedung berlantai 17 itu pulih kembali, berdiri tegak seperti semula. Adegan berganti dengan permainan bola. Seluruh hamparan dinding menjadi tempat seorang laki-laki berkaus kuning bermain bola. Ia seperti keluar-masuk gedung sambil menggiring bola dengan kedua kakinya yang bergerak lincah.
Semua itu bagian dari pertunjukan. Ilusi gedung runtuh ini muncul ketika proyeksi pemetaan gedung tiga dimensi (3D building mapping) digelar di sela-sela acara menonton bersama pertandingan Piala Dunia 2010, yang digelar selama sebulan ini di Bandung, Surabaya, dan sesekali di Jakarta. Di Indonesia, pertunjukan ilusi seperti gedung runtuh ini adalah yang kedua kalinya setelah British Council menggelar acara dengan teknik serupa di Museum Fatahillah, Jakarta, Maret silam.
Acara di Fatahillah dan di Menara BRI Bandung itu merupakan tren teknologi proyeksi pemetaan gedung tiga dimensi—dengan pertunjukan standar ”menghancurkan” gedung—yang mulai menggejala di dunia. Dalam dua tahun terakhir, beberapa pertunjukan ilusi tiga dimensi dengan bangunan masif sebagai bagian dari pertunjukan digelar di luar negeri.
Di situs video YouTube, misalnya, dapat dilihat sejumlah proyek proyeksi tiga dimensi yang spektakuler. Salah satu yang paling populer adalah iklan televisi LCD Samsung di Amsterdam, Belanda, yang mulai ditayangkan sekitar sebulan silam. Dalam iklan tersebut gedung bersejarah Beurs van Berlage di Amsterdam menjadi ”korban” proyeksi ini. Dengan sempurna, proyeksi membuat gedung seperti dibelah, diisi air, airnya tumpah, sampai akhirnya televisi LCD keluar dari belahan itu.
Di Houston, Amerika Serikat, sebuah perusahaan pembasmi serangga membuat adegan serangga raksasa menyerang sebuah gedung. Di gedung perkantoran di Suntec City, Singapura, BMW mengiklankan mereknya di salah satu gedung. Gedung perkantoran itu seperti dilepas penampang-penampang dindingnya.
Meski bukan pertama di Indonesia, acara di Bandung ini yang pertama dilakukan tanpa bantuan ahli asing. ”Yang mengerjakan perusahaan Indonesia,” kata Hamonangan Nainggolan, yang memimpin acara-acara Gudang Garam, salah satu perusahaan sponsor Piala Dunia, seperti di Bandung dan dua kota lain itu.
Sewaktu British Council menggelar acara ini, yang mengerjakan proyeknya adalah perusahaan yang berpusat di London, D-Fuse. Sedangkan yang menggarap proyek di Bandung adalah Brain, perusahaan lokal yang memang biasa menjadi kontraktor acara perusahaan besar.
Brain mendapat proyek ini lewat proses tender pada Oktober lalu. Saat itu mereka sudah mencoba menawarkan konsep ilusi tiga dimensi ini ke sejumlah klien tapi tidak ada yang menerimanya. Maklum, biayanya mahal. Acara selama Piala Dunia, misalnya, meski pihak penyelenggara tidak bersedia menyebut angkanya, Hamonangan memperkirakan telah menghabiskan miliaran rupiah.
D-Fuse, yang mengerjakan ilusi di Fatahillah, memberikan ancar-ancar biaya yang dibutuhkan untuk proyek semacam ini 20-40 ribu pound sterling atau Rp 275-550 juta. ”Tergantung skalanya,” kata Direktur D-Fuse, Michael Faulkner.
Biaya ini mahal karena berbeda dengan film konvensional, proyeksi tiga dimensi mesti memperhatikan gedung yang bakal menjadi ”layar” raksasanya. Dalam iklan Samsung, misalnya, gedung Beurs van Berlage yang dipakai itu memiliki pilar-pilar pada bagian depan. Jika gedung itu langsung disemprot oleh proyektor, bisa terbayang, gambar yang muncul akan terpotong-potong oleh pilar-pilar tersebut. Padahal, dalam pertunjukan itu, pilar dan struktur asli bakal menjadi bagian dari pertunjukan bahkan diperlihatkan bakal runtuh.
Gudang Garam akhirnya mendapatkan gedung milik BRI di Bandung dan Surabaya serta ditambah Intiland di kawasan Tugu Tani, Jakarta. Sebelumnya British Council menggunakan bangunan bersejarah bekas benteng Belanda yang kini menjadi Museum Fatahillah.
Kunci pertama membuat teknologi ini adalah mendapatkan struktur bangunan yang cocok. Gudang Garam meminta cetak biru Menara BRI. British Council juga melakukan hal serupa. Mereka mengirim data bangunan Museum Fatahillah itu ke kantor D-Fuse di London.
Dari cetak biru gedung, baru dihitung efek sorotan. ”Saya sendiri ikut menghitung dan mengira-ngira efek gambar di gedung,” kata Teguh Akhmadi, animator yang menjadi pengarah seni senior di Brain.
Perhitungan ini dimasukkan pada saat membuat animasi dan memasukkan gambar atau stok film yang sudah ada. Tujuh animator dikerahkan Brain untuk mengerjakan proyek yang panjangnya sekitar setengah jam itu dengan peranti lunak standar seperti 3D Max atau Blender.
Karena perbedaan gedung antara Jakarta, Bandung, dan Surabaya, Brain juga melakukan berbagai penyesuaian agar gambarnya pas. Selain itu, mereka harus menguji untuk memastikan bahwa gambar yang dibuat sudah tepat dengan sudut-sudut bangunan yang menjadi latar belakangnya. ”Semakin lama pengujian, semakin sempurna,” kata Faulkner via telepon kepada Tempo.
D-Fuse hanya mendapat waktu sekitar sebulan untuk mengerjakan proyek ini. ”Terlalu pendek waktunya,” kata Faulkner. Brain sedikit beruntung karena diberi waktu dua bulan.
Setelah semua beres, baru ditentukan pengaturan kamera. D-Fuse menggunakan tiga kamera di Museum Fatahillah. ”Dua untuk latar belakang, satu di tengah untuk obyeknya,” kata Faulkner. Jumlah kamera yang jauh lebih banyak digunakan saat pertunjukan yang mendampingi nonton bareng Piala Dunia. Di Bandung mereka menggunakan delapan kamera dan di Surabaya 14 kamera. ”Ini untuk memperkuat gambar,” kata Hamonangan.
Proyektor yang dipakai juga kuat. ”Dibandingkan dengan penayangan film di bioskop, kekuatan cahaya proyektor dua kali lipat,” kata Randi Kusumah, operator proyektor di Bandung. Gambar yang dihasilkan delapan proyektor ini cukup jelas meski kalah terang dibanding videotron (televisi raksasa untuk iklan) yang berdiri tak jauh dari Menara BRI.
Tontonan dengan teknologi tiga dimensi ini masih baru sehingga Enjang Mulyana, 37 tahun, pedagang bakso keliling, semula tidak percaya ketika diberi tahu bahwa dinding Menara BRI di Bandung menjadi layar untuk nonton bareng pertandingan Piala Dunia 2010. Tapi sekarang, setiap kali ada pertandingan, seperti ketika Jepang melawan Paraguay, Selasa pekan lalu, pedagang bakso itu selalu mendorong gerobaknya ke Alun-alun Bandung.
Di sana ada ratusan orang seperti Enjang dan Ari Yanto, 29 tahun, yang menyaksikan adegan-adegan gedung runtuh dari alun-alun. Ari, misalnya, tak bosan-bosannya menonton adegan yang sama setiap kali menonton bersama di Menara BRI Bandung. Ia beberapa kali menyaksikan sehingga sudah hafal tempat duduk terbaik, yakni deretan bangku kedua di alun-alun, untuk mendapat tayangan sempurna. ”Enak di situ, dan gambarnya terlihat tidak pecah,” katanya.
Nur Khoiri, Anwar Siswadi (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo