Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika ikan-ikan memilih mati di udara,
Burung-burung meminta dijadikan lukisan di dinding,
Lalu pohon-pohon hanya berharap tumbuh dalam kenanganPun air telah menjadi tanah
Pun air telah membatu
Kini aku membusuk di tengah sampah
INILAH narasi pilu tentang alam yang tak lagi bersahabat dengan manusia. Alam yang hancur oleh ulah manusia. Tanah kering-kerontang, sungai mengering, pepohonan tinggal kenangan. Yang tersisa hanyalah gunungan sampah di mana-mana. Kotor dan berbau busuk. Dan di sanalah mereka tinggal. Lima lelaki berpakaian compang-camping yang ke mana-mana selalu membawa sapu lidi besar bergagang bambu.
Merekalah penghuni bumi yang tersisa. Setiap hari mereka menghabiskan waktu dengan bersenda gurau, bercengkerama, saling menggoda, mengejek, bahkan memaki satu sama lain. ”Asu!” umpat salah seorang lelaki setiap merasa kesal. ”Berak kau,” teriak yang lain, sambil membanting sapu miliknya. Tapi kemudian mereka tertawa-tawa kembali. Berlari-lari, berbaris, atau mengendap-endap dan mengintai. Mimik wajah mereka berubah-ubah—sedih, gembira, takut.
Dikemas dalam bentuk teater pantomim yang komikal dan komunikatif, kelompok Teater Sena Didi Mime menampilkan repertoar bertajuk Sapu di Tangan itu dalam pementasan mereka di Gedung Kesenian Jakarta, Selasa dan Rabu malam pekan lalu. Kali ini tema yang diusung lumayan berat: pemanasan global.
Seperti biasa, Sena Didi Mime menampilkannya dalam balutan humor gelap dan penuh perenungan mengenai manusia urban yang hidup di tengah sampah. ”Mungkin tema ini sudah sangat klise,” kata sang sutradara, Yayu A.W. Unru, ”tapi kami mencoba menyampaikannya secara jenaka.” Memang, sepanjang hampir dua jam pertunjukan, penonton yang memenuhi lebih dari sepertiga kursi yang tersedia berkali-kali terpingkal-pingkal oleh aksi konyol lima lelaki pembawa sapu yang dibawakan apik oleh Stefanus Hermawan Kristyan, Ahmad Ramadhan al-Rasyid, Yehuda Gabrielita, Abdullah Rahman, dan Abu Raka.
Panggung pantomim Sapu di Tangan memang bukan pentas pantomim yang sunyi, sebagaimana yang diperkenalkan maestro Marcel Marceau lewat tokoh ciptaannya, Bip, itu. Meski wajah para pemainnya sama-sama berbalur pupur putih, teknik gerak yang ditampilkan perpaduan gerak klasik, gerak modern, dan gerak tradisional dalam seni pantomim.
Pertunjukan pantomim ala kelompok Teater Sena Didi Mime yang didirikan almarhum Sena A. Utoyo dan Didi Petet pada 1987 bersama komunitas Institut Kesenian Jakarta itu sangat kental dengan ekspresi teatrikal. Itu ciri khas mereka, selain selalu berinteraksi dengan penonton. Sejak awal, mereka konsisten menampilkan tema sosial, dalam suasana puitis dan simbolik. Hal itu dapat dilihat dalam karyanya seperti Beca (1987), Stasiun (1988), Soldat (1989), Sekata Katkus du Fulus (1992), Se Tong Se Teng Gak (1994), dan Kaso Katro (1999).
Repertoar Sapu di Tangan penuh sindiran terhadap perilaku manusia yang sewenang-wenang memperlakukan alam dan dirinya sendiri. Sapu yang tak pernah lepas dari tangan itu terkadang hanya hiasan, tidak digunakan untuk menyapu sampah. ”Ini semacam olok-olok terhadap sikap sebagian besar orang Indonesia yang hobi buang sampah sembarangan meskipun sudah dilarang. Padahal, kalau ke Singapura, mereka bisa buang sampah di tempatnya,” kata Yayu.
Dalam beberapa adegan, juga digambarkan bagaimana manusia kerap tidak mampu berkomunikasi dengan baik. Di atas panggung, penonton seolah menyaksikan lima lelaki itu berbincang-bincang. Padahal mereka membicarakan persoalan yang berbeda alias enggak nyambung. Maklum, mereka datang dari daerah yang berbeda, ada orang Jawa, Palembang, Batak, Aceh, dan Banjarmasin. Masing-masing keukeuh menggunakan bahasa asalnya.
Repertoar ini menjadi bagian dari rangkaian Jakarta Anniversary Festival VIII 2010. ”Idenya datang setahun lalu,” kata Yayu. Sapu di Tangan pertama kali dipentaskan dalam acara Festival Internasional Istropolitana Project 2010 di Bratislava, Slovakia, pada 18-20 Juni 2010 dengan judul Broom in Hand. Setelah itu, mereka kembali tampil di Museum Etnologi (Museum für Völkerkunde), Wina, Austria.
Nunuy Nurhayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo