Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Digital

Mitigasi Dampak Mikroplastik, Greenpeace Sampaikan Sejumlah Rekomendasi

Greenpeace Indonesia menyampaikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah, produsen dan masyarakat atasi masalah mikroplastik.

24 Februari 2025 | 07.27 WIB

Ahli Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dr. Pukovisa Prawirohardjo (kiri), Peneliti Plastik Greenpeace Indonesia Afifah Rahmi Andini (tiga kanan), Peneliti dan dosen Departemen Kimia FMIPA Universitas Indonesia (UI) Dr. Agustino Zulys (kanan) dalam peluncuran riset dampak mikroplastik ke kemampuan kognitif di M Bloc Space, Jakarta, 23 Februari 2025. Tempo/Defara
Perbesar
Ahli Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dr. Pukovisa Prawirohardjo (kiri), Peneliti Plastik Greenpeace Indonesia Afifah Rahmi Andini (tiga kanan), Peneliti dan dosen Departemen Kimia FMIPA Universitas Indonesia (UI) Dr. Agustino Zulys (kanan) dalam peluncuran riset dampak mikroplastik ke kemampuan kognitif di M Bloc Space, Jakarta, 23 Februari 2025. Tempo/Defara

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Greenpeace Indonesia bersama Universitas Indonesia meluncurkan hasil riset terbaru yang menemukan bahwa paparan mikroplastik dalam tubuh manusia berisiko menyebabkan gangguan kognitif.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Penelitian yang berlangsung sejak Januari 2023 hingga Desember 2024 ini menunjukkan bahwa individu dengan paparan mikroplastik tinggi memiliki risiko mengalami penurunan fungsi kognitif hingga 36 kali lipat dibandingkan mereka yang terpapar dalam jumlah rendah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Melihat temuan ini, Peneliti Plastik Greenpeace Indonesia Afifah Rahmi Andini menyampaikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah dan produsen dengan dua pendekatan utama, yaitu mitigasi dan adaptasi.

Afifah menjelaskan bahwa pendekatan mitigasi merujuk pada hierarki pengelolaan sampah untuk mengurangi sumber mikroplastik, sedangkan pendekatan adaptasi diperlukan untuk menangani limbah plastik yang sudah mencemari lingkungan.

Rekomendasi untuk Pemerintah

Dalam upaya mitigasi, Greenpeace meminta pemerintah mempercepat penerapan kebijakan pengurangan plastik dan memperluas larangan plastik sekali pakai. “Karena memang pemerintah sudah ada pelarangan beberapa jenis plastik seperti sachet, kantong plastik, kemudian sedotan, sterofoam, tapi itu hanya sebagian dan berlakunya sebagian besar itu di 2030,” kata Afifah dalam acara diskusi di M Bloc Space, Jakarta Selatan, Ahad, 23 Februari 2025. 

Artinya, masih ada jeda waktu yang lama untuk menanti kebijakan itu berlaku. Di sisi lain, produksi plastik dan masalah sampah plastik ini terus meningkat. “Jadi kami mengharapkan kebijakan tersebut bisa diperluas ke semua jenis plastik sekali pakai, kemudian juga mempercepat proses penerapan kebijakan tersebut,” kata Afifah.

Greenpeace juga mendorong pemerintah untuk merancang kebijakan transisi ke sistem kemasan guna ulang sebagai solusi berkelanjutan serta memperbaiki sistem pengelolaan sampah berbasis pemilahan guna mengurangi pencemaran plastik.

Di sisi adaptasi, Greenpeace menekankan pentingnya penetapan standar pengujian mikroplastik dan ambang batas mikroplastik dalam lingkungan dan produk pangan. “Bahkan WHO pun belum punya standar soal ini, tapi ada beberapa negara yang memang sudah punya inisiatif duluan untuk mulai melakukan, setidak-tidaknya mengeluarkan peraturan untuk melakukan pemantauan rutin di lingkungan. Sayangnya, di kita belum ada inisiatif tersebut,” kata Afifah. 

Greenpeace juga meminta pemerintah menerapkan prinsip ‘polluters pay’ dengan memastikan produsen bertanggung jawab atas dampak plastiknya. Afifah menyoroti kebijakan pemerintah yang justru memberikan insentif pajak kepada industri petrokimia selama 20 tahun, yang dinilai bertentangan dengan upaya pengurangan dampak plastik.

Rekomendasi untuk Produsen

Sebagai langkah mitigasi, Greenpeace meminta produsen mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, termasuk Polyethylene Terephthalate (PET), dengan target yang jelas. Selain itu, produsen juga didorong untuk beralih ke sistem kemasan guna ulang dan isi ulang dalam model bisnis mereka.

“Dari sisi adaptasi, hal yang paling penting, mereka juga harus memberikan transparasi komposisi dalam kemasan mereka. Informasi ini sangat penting untuk diberikan kepada kita supaya kita bisa menimbang dan memilih mana produk sebenarnya paling baik untuk kita dan lingkungan,” kata Afifah. 

Selain itu, Greenpeace juga mendorong produsen untuk berinvestasi dalam teknologi penyaringan mikroplastik guna mengurangi pencemaran lingkungan.

Rekomendasi untuk Masyarakat

Greenpeace mengimbau masyarakat untuk mengurangi penggunaan plastik dalam kehidupan sehari-hari dengan memilih kemasan yang dapat digunakan berulang kali.

Selain itu, masyarakat juga disarankan untuk memilah sampah sejak dari rumah guna mengurangi potensi pencemaran lingkungan.

Greenpeace menyoroti keberadaan mikroplastik primer dalam produk perawatan pribadi. Afifah menekankan pentingnya edukasi terkait kandungan mikroplastik dalam produk sehari-hari agar masyarakat lebih sadar dalam memilih produk yang lebih ramah lingkungan.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus