TIAP celaka ada untungnya, kata pepatah. Dan celakanya, kebalikan pepatah itu berlaku juga: tiap keuntungan ada bahayanya. Setidaknya, yang terakhir itu berlaku bagi perusahaan yang memakai komputer sebagai salah satu alat kerjanya. Tersebutlah BNI-1946 yang dulu perlu waktu tiga tahun untuk membuat neraca laporan tahunannya. Setelah memiliki komputer IBM 1401, pada 1965, proses ini bisa ditekan menjadi tiga bulan. Kini, 1989, setelah bank ini berkembang dan disebut Bank BNI, menurut Direktur Widigdo Sukarman, penyusunan neraca tersebut cuma makan waktu sekitar dua minggu. Maklum, komputer juga semakin pintar. Maka, coba bayangkan seandainya sang komputer sakit, atau celaka. Misalnya saja, karena kebakaran. Padahal, segala catatan rekening nasabah dicatat dan dikelola komputer. Tentulah, 13 ribu karyawan Bank BNI akan terpaksa menjadi komputer yang tak kenal capek, alias harus kerja lembur -- dan belum tentu pekerjaan beres. Maksud pengumpamaan itu, bahwa ketergantungan bank dengan kekayaan RI 8,5 trilyun ini sangat berbahaya. Rusaknya gantungan, ya komputer itu, runyam akibatnya. Kesimpulan umumnya, semua lembaga keuangan modern, dan karena itu melaksanakan komputerisasi, mengalami hal yang sama. Tapi, jangan cemas, lalu buru-buru Anda mencanangkan dekomputerisasi. Tiap tantangan ada jawabnya. Sejak dua tahun silam, Pemerintah AS mewajibkan semua lembaga keuangan memiliki sistem penanulanan darurat terhadap kemungkinan tak berfungsinya sistem komputer mereka. Dan tak cuma di negeri yang hampir segala hal dikomputerkan itu. Di Indonesia pun, penanggulangan musibah -- yang menyebabkan komputer tak bekerja mulai dipikirkan dengan serius. Selasa dan Rabu pekan ini, sebuah seminar tentang Disaster Recoery and Contingency Planning (DRCP), atau penyembuhan bencana dan perencanaan penanggulangan bahaya, berlangsung di Hotel Hyatt Aryaduta, Jakarta. Beberapa pakar -- dalam bidang penanggulangan krisis akibat tak berfungsinya komputer -- dari Kanada memaparkan ilmu mereka. Salah satu jurus yang diutarakan adalah pemanfaatan commercial hot site (CHS. Yakni pemanfaatan jasa perusahaan khusus yang membantu pemilik komputer yang sedang mengalami musibah. Jasa itu berupa pemakaian ruangan yang dilengkapi dengan komputer yang sama seperti yang digunakan para pelanggan. Jika terjadi musibah pada komputernya, pelanggan CHS tinggal mengirim operator komputernya ke ruang ini. Umumnya, CHS membolehkan pelanggan bekerja di ruangan ini selama enam bulan, yaitu jangka waktu yang diperkirakan diperlukan pelanggan untuk mendapatkan komputer baru. Yang memelopori pelayanan CHS, sejak Selasa pekan ini, adalah PT Pratesis, sponsor seminar. Dengan modal hampir Rp 2 milyar, anak perusahaan grup Gunung Sewu milik milyuner Go Soew Kie itu menyewa 200 m ruangan di Chase Plaza yang dilengkapi lima komputer mainframe (alias jenis paling besar) dan lima komputer mini. Dan semuanya merk IBM, karena lebih dari 90% mainframe dan lebih dari 50% komputer mini yang ada di Indonesia merk IBM. Menurut perhitungan Ir. Ronny Aipassa, 32 tahun, alumnus ITS yang menjadi general manager-nya, pelanggan mesti membayar US$ 1.000 sampai US$ 2.500 per bulan, tergantung besar kecilnya konfigurasi komputer yang digunakan. Kabarnya, beberapa perusahaan besar di bidang perminyakan, asuransi, dan perbankan sudah menyatakan minat. Ternyata, memang, banyak perusahaan yang memerlukan CHS. Di AS dan Kanada, nilai bisnis CHS mencapai US$ 500 jutasetahun. Maklum, di AS, kecelakaan komputer bukannya jarang -- dan bisa menyebabkan bangkrutnya perusahaan. Berkat CHS, sebuah perusahaan pengecer Kanada -- yang sistem komputernya hancur karena gedungnya terbakar pada 1986 -- selamat dari kebankrutan. "Jasa ini menyelamatkan perusahaan bernilai US$ 4,5 milyar dari kehancuran," kata manajer Steinberg, perusahaan yang sial itu. Tapi, CHS juga punya keterbatasan. Yakni tak bisa melayani buat perusahaan yang komputernya rusak dan memerlukan perbaikan kurang dari 24 jam. Perusahaan ini "perlu cadangan intern," kata Dennis C. Hamilton, pakar dari Kanada itu. Lantas ia menunjuk sistem pemesanan karcis pesawat terbang di AS -- yang selalu menggunakan dua komputer yang letaknya terpisah -- salah satunya sebagai cadangan. "Kalau komputer utama rusak, komputer cadangan langsung berjalan dan cuma data tiga detik terakhir yang hiiang." kata Hamilton menjelaskan. Hanya saja, cara ini mahal biayanya. Misalkan saja, bagi Bank Central Asia (BCA) yang mempunyai komputer IBM jenis 3090. Untuk punya cadangan komputer beserta sistem komunikasinya, BCA harus mengeluarkan milyaran rupiah. Di Indonesia, sistem komunikasi komputer canggih ditawarkan oleh PT Citra Sari Makmur (CSM). Perusahaan ini menyewakan terminal stasiun bumi kecil (SBK), berupa antena parabola berdiameter 1,2 m, dengan sewa US$ 2.000 per bulan. SBK yang dapat dipasang dalam tempo dua jam ini akan memanfaatkan satelit Palapa untuk berkomunikasi ke seluruh Indonesia. Dengan memanfaatkan teknologi VSAT milik CSM ini, pelanggan Pratesis dapat menghubungkan komputernya dengan komputer CHS untuk menyalurkan data setiap saat. Tapi, jika cara ini dianggap kurang aman, pelanggan dapat merekam program dan data cadangan (backup) dan menyimpannya di lemari besi Pratesis. Bila menggunakan lemari antiapi dikenai tarif US$ 2 per bulan, bila lemari besi biasa cuma seperempatnya. Ini agaknya cukup murah, dibandingkan Anda mesti bangkrut karena komputer kebakaran. Menurut penelitian CBSI, 45 Yo dari perusahaan -- yang datanya rusak karena kebakaran -- bangkrut. Tiap penangkal ada biayanya, memang.Bambang Harimurti, Tommy Tamtomo, dan Yudhi Soerjoatmodjo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini