ADALAH seorang warga Prancis, Maurice L. Peyre, 64 tahun, yang bikin ulah. Mengaku sebagai wakil dari "European Investors" (Gabungan Investor Eropa) di Indonesia, "Monsieur" Peyre pernah menggegerkan Surabaya dengan rencananya membangun lokalisasi pelacuran terbesar di kota itu. Ia mengadakan diskusi, konperensi pers, bahkan diterima kalangan bisnis, pejabat, termasuk Gubernur Jawa Timur Soelarso. Ternyata, semua itu cuma "bual" pria yang suka berpakaian perlente dengan jas lengkap ini. Ia ternyata buron Imigrasi, karena masuk ke Indonesia, 1987, dengan dokumen tak sah, menetap di sini tanpa izin, dan konon mempunyai paspor ganda. Sabtu, 12 Agustus lalu, ia ditangkap petugas Imigrasi di rumahnya, di kawasan Bintaro Jaya, bersama istrinya, Lucie del Prado, dan kini mendekam di Karantina Imigrasi di Kalideres, Jakarta. Tak hanya itu, ia dilaporkan menipu beberapa pengusaha di sini. Pada Februari 1989, Peyre menggegerkan Surabaya dengan rencananya membangun "Single Prostitution Settle ment", yang disebutnya sebagai pusa resosialisai dan rehabilitasi WTS, di situ Bersama Yayasan Pendidikan Indonesi (YPI) Wira Bhumi ia mengadakan diskusi terbuka dan studi kelayakan untu menggabungkan enam kompleks WT di Surabaya pada suatu areal yang jault dari permukiman. Dalam "proposal" setebal 50 halaman itu disebutkan areal yang akan ditempati luasnya kira-kira 110 hektare dan terletak di Kecamatan Benowo, Surabaya. Kompleks itu, rencananya, akan dilengkapi dengan hotel, klub malam, restoran, lintasan boling, dan tentu saja kamar-kamar untuk berkencan. Sebagai investornya, ya, Maurice L. Peyre tadi itu. Pria berkaca mata dengan gagang tebal ini mengaku akan menjadi penyandang dana untuk "proyek sosial" itu. "Saya dan grup European Investors yang saya wakili menyediakan dana US$ 120 juta untuk proyek ini, dan kami pula yang akan membangunnya," ujarnya kepada TEMPO ketika itu. (TEMPO, 18 Maret 1989). Tapi rencananya itu berantakan karena muncul reaksi keras dari masyarakat. Tak kurang dari Mendagri Rudini sendiri menyatakan tak setuu dengan rencana itu. Ketua BKPM Sanyoto Sastrowardoyo tegas-tegas mengatakan, sektor prostitusi termasuk dalam "negative list" alias tak boleh digarap sebagai ajang bisnis - apalagi oleh pihak asing. Peyre, yang merasa rencana "mulianya" ditanggapi secara salah, lalu mengumpulkan wartawan Surabaya untuk suatu jumpa pers. Sebagai "businessman" ia mengaku tergugah untuk membantu mengangkat harkat WTS yang mau kembali ke jalan lurus. "Tidak ada maksud saya membuka bisnis seks," ujarnya. Kendati gagal proyek seks itu, selama di Jawa Timur, Peyre sempat gembar-gembor akan menanam modal di berbagai proyek di daerah itu. Ia bahkan sempat diterima Gubernur Jawa Timur Soelarso. Sebelum pulang, kepada Soelarso, Peyre mengeluhkan kesulitannya berhubungan dengan pejabat Imigrasi di Jakarta. Soelarso, yang bekas dirjen imigrasi, segera memerintahkan kepala humasnya, Moh. Faried, untuk membuat memo ke Imigrasi, agar Peyre dapat dibantu. "Dia mengeluarkan paspornya dan saya kopi. Lalu, saya buatkan memo untuk Hamsuk," ujar Faried, yang kini Bupati Lamongan. Berbekal memo itu, Peyre menemui Kepala Humas Imigrasi, di Jakarta, Hamsuk Wijaya. Peyre melapor pernah kehilangan paspor bernomor 75.2021848 dan sebagai gantinya ia mendapat paspor bernomor 06.AE16313. Di paspor Prancis itu tertulis nama Peyre Maurice Joseph Louise, yang dilahirkan di Montpelier, Prancis. Berdasar itu Hamsuk mengadakan pengecekan. Ternyata, nama tadi termasuk daftar buron Imigrasi. Ketika Imigrasi akan "menjemputnya" di alamat paspornya, di Jalan Praja, Peyre sudah kabur. Belakangan ketahuan, ia juga tercatat sebagai Juan M. del Prado dengan paspor Filipina bernomor A.0495613. Kota kelahirannya disebutkan Zamboanga City. "Belang" si Peyre makin jelas, setelah awal Agustus lalu, di Mabes Polri dan Imigrasi, mulai masuk laporan tentang kebusukannya. Seorang pengusaha bangunan, Harry Hutapea, dari PT Harold Harapan Abadi, melapor bahwa ia telah ditipu Peyre Rp 11 juta. Menurut Harry, pihaknya telah menandatangani kontrak dengan Peyre untuk pembangunan International Amakasar Plaza di Ujungpandang dengan modal milyaran rupiah. Untuk mendapatkan dokumen-dokumen proyek itu, Peyre minta Rp 50 juta untuk uang pelicin. Tapi, setelah diberi Rp 11 juta, Peyre menghilang. Selain Harry, PT Bukit Rasa Malaya juga melapor ke Imigrasi karena merasa ditipu Peyre Rp 15 juta. Uang sebesar itu diminta Peyre untuk menyuap pihak-pihak tertentu guna memenangkan tender sebuah proyek perumahan di Jawa Barat. Peyre mengaku sedang mengerjakan proyek-proyek besar seperti airporf, pelabuhan, rumah sakit, perumahan, serta pusat hiburan malam di Pulau Batam, di samping proyek di Ujungpandang dan Surabaya itu tadi. Benarkah semua tuduhan itu? "Sudah pasti tidak," kata Maurice Peyre kepada TEMPO. Ia membantah telah menipu perusahaan-perusahaan itu. "Saya akan bertanggung jawab untuk itu," katanya mevakinkan. Pevre. yang mengaku menikahi Lucie del Prado 30 tahun lalu mengatakan akan pergi kalau diusir dari sini. "Dengan penangkapan itu, saya telah kehilangan segalanya. Saya akan ke Singapura " tuturnya . Dan itu sudah pasti. "Menteri Kehakiman telah minta pada saya untuk segera mendeportasikan dia," ujar Dirjen Imigrasi Brigjen. H. Roni Sikap Sinuraya. Benarkah Peyre berasal dari Prancis? "Kami tidak pernah kenal Monsieur Maurice Peyre. Ia tidak pernah melapor ke Kedutaan Prancis di Jakarta," ujar Sekretaris Pertama Kedutaan Prancis Yves Charpentier pada TEMPO, Senin pekan ini. Charpentier juga tak pernah tahu ada pengusaha bonafide yang namanya Maurice Peyre. Toriq Hadad, Yudhi Soerjoatmodjo (Jakarta), dan Wahyu Muryadi (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini