Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Digital

Televisi di Tapal Batas

Televisi dan telepon kini dapat menjangkau daerah terpencil berkat teknologi murah-meriah buatan LIPI.

30 Oktober 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mungkin saja Atapupu tak diperhitungkan dalam peta komersial teknologi informasi. Atapupu memang sebuah pelabuhan kecil di pesisir timur Pulau Timor. Terletak di Kabupaten Belu, berbatasan dengan Republik Demokratik Timor Leste, warga tadinya sulit bukan main menjangkau televisi dan telepon. Tapi stasiun relai siaran televisi buatan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, LIPI, berhasil mengantarkan pentas dunia ke Atapupu. Mereka ikut mabuk siaran Piala Dunia 2006.

Teknologi serupa akan segera menular ke berbagai pelosok lain Indonesia. Kepada Tempo, peneliti senior LIPI, Rustini S. Kayatmo, mengatakan bahwa stasiun itu kini sudah matang untuk dipakai di wilayah yang belum dapat menikmati siaran televisi dan telepon.

Pesanan untuk mendapatkan stasiun itu sudah berdatangan ke LIPI. Namun LIPI mendahulukan yang lebih memerlukan. ”Prioritasnya daerah yang berada di perbatasan Indonesia dengan negara tetangga,” ujar Rustini.

Jika aral tak melintang, akhir tahun ini sebuah stasiun relai buatan LIPI sudah akan berdiri di Nunukan, perbatasan Kalimantan Timur dengan Malaysia. Tentu saja, prioritas LIPI tak cuma wilayah perbatasan, tapi seluruh wilayah terkucil yang tak terjangkau siaran televisi. Maka pemancar yang sama berdiri di Gunung Bukit Siam, Kabupaten Sungai Liat, Provinsi Bangka-Belitung.

Stasiun ini hasil karya lima peneliti di Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi LIPI. Versi pertamanya hanya berupa stasiun relai siaran televisi. Versi terkini sudah siap dengan telepon radio.

Stasiun relai LIPI berperan meneruskan siaran dari satelit ke wilayah di sekitarnya, sehingga warga dapat menangkap siaran itu dengan televisi berantena biasa. Namun, jika diperlukan, stasiun bisa memancarkan siaran bikinan sendiri, baik langsung dari kamera maupun dari peranti pemutar rekaman.

Bagian paling menonjol dari stasiun itu adalah sebuah menara yang menjulang setinggi 50 meter. Di puncak menara mencuat antena tipe two dipole array berdaya 300 watt (sepertiga daya stasiun pemancar yang dipakai banyak stasiun televisi) yang dapat melontarkan siaran sejauh 50 kilometer. Antena itu tersambung dengan instrumen pemancar yang cuma satu rak—sudah termasuk amplifier dan power supply.

Biaya pembangunan sebuah stasiun bervariasi tergantung lokasi. Namun, ”Biaya produksi teknologinya bisa ditekan hingga sepertiga dari harga pemancar televisi yang tersedia di pasaran,” kata Suhana Hermana, peneliti LIPI yang piawai memasang fasilitas komunikasi tersebut. Ia menyebut, tanpa mempertimbangkan lokasi, biaya fisik stasiun itu berkisar Rp 200 juta.

Stasiun itu sudah mendapat pujian. Ediwan Prabowo, Komandan Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan RI-Timor Leste, mengacungkan jempol pada kualitas siarannya. Ia mengatakan, stasiun LIPI di Atapupu mengantarkan hiburan berkualitas kepada anak buahnya di perbatasan Timor Leste, terutama saat Piala Dunia 2006 berlangsung.

Maklum, ketika Piala Dunia digelar di Jerman, perbatasan Timor Leste sedang memanas akibat mundurnya Perdana Menteri Mari Alkatiri. ”Sebuah kenikmatan yang mewah bagi kami bisa menonton saat itu,” kata kolonel artileri yang membawahkan 1.200 personel TNI Angkatan Darat yang tersebar di 59 pos di wilayah perbatasan ini.

Stasiun relai itu dipasang pada 2003 oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Belu. Ini bukan satu-satunya stasiun LIPI di Nusa Tenggara Timur. Di Kota Ba’a, Kabupaten Rote Ndao, dan di Kefa Menano, Kabupaten Timor Tengah Utara, LIPI juga memasang alat ini setahun kemudian.

Suhana mengklaim, hingga saat ini belum pernah terjadi kerusakan pada instrumen buatan mereka. Musuh stasiun ini satu-satunya, ujarnya, ”Sambaran petir.”

Musuh itulah yang setahun lalu mampir ke stasiun di Ba’a, yang memancarkan siaran televisi bagi sekitar 22 ribu warga—dari total jumlah penduduk 110 ribu jiwa. Akibatnya, ”Gambar yang diterima bintik-bintik mirip butiran pasir,” kata Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Rote Ndao, Nico St. Haning.

Hingga kini menonton televisi di Ba’a tak nyaman. Padahal, sejak siaran TVRI lokal mati pada 2003, tayangan dari stasiun LIPI menjadi satu-satunya penghubung warga di 96 pulau kecil itu dengan dunia luar. Siaran televisi masih bisa ditangkap dengan baik oleh antena parabola, tapi harga alat ini kelewat mahal untuk kebanyakan penduduk. Nico, yang menjadi koordinator kerja sama pemasangan stasiun relai itu, mengaku pernah mengabarkan soal ini kepada LIPI, namun tak mendapat jawaban yang memuaskan. ”Kami harap kerusakan itu bisa segera diperbaiki dan radiusnya bisa diperluas,” ujarnya.

Bisa jadi, Nico tak cuma mengidamkan stasiun televisi yang kembali normal. Ia mungkin ingin fasilitas telepon. Di Atapupu, di menara besi setinggi 50 meter tak hanya menempel antena pemancar siaran televisi. Nangkring juga antena telepon radio buatan LIPI. ”Idealnya seperti itu. Satu menara bisa dipakai banyak fungsi,” kata Nasrullah Army, peneliti di Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi LIPI yang membuat radio telepon tersebut.

Teknologi telepon radio itu berbeda dari teknologi telepon seluler maupun telepon satelit. Pada dasarnya, setiap radio telepon terdiri dari dua alat. Alat pertama tersambung dengan jaringan telekomunikasi milik Telkom dan berfungsi mengubah sinyal percakapan yang diterima dari jaringan menjadi pancaran gelombang radio. Alat lainnya, penerima sinyal, yang berfungsi mengolah sinyal menjadi suara atau sebaliknya, untuk disambungkan ke pesawat telepon.

Teknologi ini, ujar Nasrullah, sangat cocok diterapkan di kawasan yang jauh dari pusat kota dan tak terjangkau jaringan kabel telepon. Dibanding telepon genggam yang membutuhkan base transceiver station (BTS) yang mahal dan telepon satelit harganya tak terjangkau karena harus menyewa kanal, teknologi telepon radio jauh lebih murah.

Teknologi ini juga bisa melayani pertukaran data lewat faksimile dan Internet. Di Mottaain, masih di Kabupaten Belu, telepon radio bahkan menjadi tulang punggung warung telekomunikasi, dengan tarif yang lebih murah dibanding telepon satelit maupun seluler.

Lagi-lagi, pujian datang dari Ediwan. Dia mengatakan, peran telepon radio itu sangat membantu menjaga moral para prajuritnya. ”Mereka yang jauh dari keluarga membutuhkan telepon untuk bisa berkomunikasi,” kata perwira itu.

Ketua Asosiasi Satelit Indonesia, Tonda Priyanto, tak kalah bungah menyambut sistem telekomunikasi yang dikembangkan LIPI ini. Namun dia mengharapkan teknologinya ditingkatkan untuk fungsi komunikasi yang lebih modern. ”Sehingga bisa menjadi langkah awal untuk pengembangan jaringan komunikasi di daerah terpencil,” ujarnya.

A. Candraningrum, Ahmad Fikri (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus