Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Sekolah Kelautan di Perbatasan

Siswa sekolah kelautan di Natuna bisa bersekolah gratis. Agar bisa mengelola kekayaan laut yang kerap dicuri negara tetangga.

30 Oktober 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di wilayah inilah kedaulatan negara dipertaruhkan. Gugusan 272 pulau besar dan kecil Kabupaten Natuna di Laut Cina Selatan adalah kawasan berbendera merah-putih terakhir sebelum masuk ke perairan Vietnam, Kamboja, dan Malaysia. Sebagai benteng paling buncit, bagaimana negara merawat penduduk Natuna dari intervensi tetangga? Lewat pendidikan, salah satunya. Inilah yang direkam oleh wartawan Tempo yang mengunjungi kepulauan itu, pertengahan September lalu.

Pada satu siang yang terik, seorang remaja berseragam abu-abu dengan peci sewarna terlihat berlari cepat. Begitu mendekati laki-laki yang memanggilnya, ia berucap keras, ”Siap.” Tubuhnya berdiri dalam sikap sempurna.

Dodi Andrian, remaja itu, bukan seorang taruna militer. Ia siswa Sekolah Menengah Kejuruan Kelautan dan Perikanan di Ranai, Natuna, Kepulauan Riau. Sekolah ini memang menerapkan aturan dan disiplin keras laksana akademi militer atau kepolisian. Para siswa tinggal di asrama dan hanya boleh pulang ke rumah saat liburan.

Inilah salah satu bentuk pendidikan yang dijalankan di wilayah yang 98 persen dari 142 kilometer persegi kawasannya terdiri dari laut. ”Kawasan ini merupakan penghasil ikan yang bagus, maka tenaga pelaut dan ahli budi daya ikan jelas sangat diperlukan,” kata Direktur Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Departemen Pendidikan Nasional, Djoko Sutrisno.

Dua profesi tersebut sangatlah dibutuhkan untuk mendongkrak nasib penduduk Natuna. Selama ini banyak warga dari sekitar 92 ribu total penduduk di sana yang hanya bisa jadi buruh para tauke asing. Mereka tak berdaya saat kapal-kapal asing berseliweran mengangkuti kekayaan samudranya. Perhatian dari aparat keamanan begitu tak memadai.

”Bila tidak diperhatikan,” Djoko menambahkan, ”kita khawatir akan dicaplok Vietnam.” Situasi ini kemudian mendorong Departemen Pendidikan Nasional membangun Sekolah Menengah Kejuruan Kelautan dan Perikanan di sana—satu dari 125 sekolah sejenis di seluruh Indonesia yang ada di bawah departemen ini.

Berdiri di atas lahan seluas 6,3 hektare, kompleks sekolah yang didirikan dua tahun lalu itu terlihat megah. Gedung-gedungnya yang bercat putih dipadu biru membelakangi Gunung Ranai nan menjulang di kejauhan. Pepohonan yang menyelimuti gunung itu membentang hingga ke belakang sekolah. Di puncak bukit, tak jauh dari sekolah, berdiri kantor bupati.

Selain ruang kelas dan asrama, sekolah ini dilengkapi laboratorium bahasa Inggris, navigasi, fisika, kimia, teknik dan komputer. Tersedia pula sejumlah sarana olahraga dan hiburan. Tak mengherankan bila di kalangan remaja Kabupaten Natuna, sekolah yang membuka lima jurusan—nautika perikanan laut, teknik perikanan laut, budidaya perikanan laut, budidaya perikanan darat, dan teknik pengolahan hasil perikanan—itu menjadi sekolah idaman.

Anehnya, pada tahun pertama hanya 37 siswa yang mendaftar. Tahun berikutnya, menurut Kepala Sekolah Hamid Hasnan, malah menyusut menjadi 23 murid. Ternyata, penduduk Natuna—yang hidup di wilayah yang berlimpah sumber gas, minyak, dan perikanan—begitu miskin. Padahal, di tangan penduduk miskin inilah kedaulatan negara digantungkan.

Biaya pendidikan di sekolah itu jauh di luar jangkauan mereka. Dodi Andrian adalah perkecualian. Ayahnya ingin ia meneruskan cita-cita menjadi pelaut. Maka, ia bersusah payah memeras keringat untuk membayar uang pangkal Rp 2 juta dan uang iuran tiap bulan sebesar Rp 30 ribu. Penghasilannya sebagai nelayan tradisional hanyalah Rp 30 ribu tiap hari.

Kondisi ini jelas tak mendukung niat dibangunnya sekolah tersebut. Untung Bupati Natuna yang baru terpilih, Daeng Roesnadi, menerapkan kebijakan baru: membebaskan uang sekolah. Mulai tahun ini semua biaya sekolah yang mencapai Rp 5,5 miliar ditanggung pemerintah daerah. ”Kami ingin memberikan kesempatan pendidikan kepada rakyat Natuna,” ujar Daeng Roesnadi.

Untuk menjaring siswa, sekolah mengirim para guru dan stafnya berkeliling ke pulau-pulau di seluruh kawasan Natuna. Kepala sekolah menerapkan syarat ketat, calon siswa harus lulus tes pengetahuan umum dan tes fisik mirip di akademi militer. Akhirnya, dari 200 orang yang mendaftar, diterima 134 orang. ”Ini program sekolah unggul murah,” ujar Hamid.

Agar bisa menghasilkan lulusan yang bermutu, SMK Kelautan dan Perikanan mendatangkan 47 guru yang kebanyakan berasal dari luar Natuna. Mereka juga menjalin kerja sama dengan berbagai pihak. Dengan Departemen Kelautan dan Perikanan, misalnya, dalam program sertifikasi berstandar IMO (International Maritime Organization). Dengan demikian, lulusannya memiliki kualitas yang diakui secara internasional.

Atau dengan Sekolah Usaha Perikanan Menengah Pontianak, Kalimantan Barat, untuk praktek kapal dan kolam air tawar. Untuk budidaya perikanan laut, sekolah bekerja sama dengan Balai Budidaya Laut di Batam. Kerja sama dengan Sekolah Tinggi Perikanan di Jakarta juga dilakukan.

Toh, kekurangan tetap ada. Guru nautika, Vikon Wowor, menuturkan minimnya peralatan praktek yang tersedia. Dari empat lemari di laboratorium navigasi, hanya dua lemari yang berisi peralatan. ”Itu pun barang-barang navigasi yang kecil-kecil saja,” ujar pria kelahiran Manado 25 tahun silam ini.

Dalam pertemuan dengan para pejabat Departemen Kelautan dan Perikanan bersama pejabat dari beberapa departemen lain, pertengahan bulan lalu, Hamid juga melaporkan tidak memadainya laboratorium kimia, fisika, dan laboratorium komputer. Laboratorium bahasa Inggris bahkan dilaporkan tak berfungsi.

Yang lebih menyedihkan, SMK Kelautan dan Perikanan ini tak memiliki kapal untuk praktek dan laboratorium pembudidayaan perikanan laut. ”Kolam air tawar hanya seluas seperempat hektare,” ujar Hamid.

Djoko Sutrisno mengakui kekurangan tersebut. Bahkan ia juga menunjuk minimnya tenaga guru yang berkualitas. ”Mereka perlu kesejahteraan yang baik,” katanya. Menanggapi keluhan-keluhan itu, Daeng Roesnadi minta semua pihak bersabar. ”Jangan khawatir. Maksimalkan dulu yang sudah ada,” ujarnya.

Apa boleh buat, dengan dana terbatas, hanya itulah yang bisa diteguk siswa SMK Kelautan dan Perikanan Natuna saat ini. Padahal, beban yang mereka panggul tidaklah ringan. Para pelaut dan pakar perikanan dari sini diharapkan bisa mengelola kekayaan laut Natuna, yang selama ini dicuri kapal-kapal berbendera asing. Dengan demikian, dapat membebaskan warga dari belitan kemiskinan.

Untunglah, pemuda-pemudi Natuna punya semangat kuat untuk maju. Dengan segala kekurangan sekolah, Dodi Andrian misalnya, tak pernah bosan belajar dari pagi hingga pukul tiga sore. Setelah istirahat sebentar, ia mengikuti olahraga sore dan melanjutkan belajar sesudah makan malam.

Tak ada keluhannya, meskipun ia hanya bisa menonton televisi pada malam Sabtu. Di ujung pekan itulah, siswa boleh meninggalkan sekolah yang biasanya dipakai Dodi untuk menginap di rumah salah seorang temannya. ”Sejak sekolah di sini, saya baru sekali pulang ke rumah orang tua,” ujarnya.

Adik kelasnya, Emma Masna, 16 tahun, yang baru masuk tahun ini, sama gembiranya bisa bersekolah di sana. Apalagi, semua biaya sekolah dan asrama, termasuk makan, tak perlu ia pikirkan. Kini ia cuma perlu berkonsentrasi mewujudkan cita-citanya. ”Saya ingin menjadi ahli budi daya ikan yang sukses,” ujar siswa asal Pulau Letung ini.

Dari perbatasan utara negara ini, kita boleh terhibur karena tumbuhnya sikap-sikap optimistis seperti ini.

Purwani Diyah Prabandari (Natuna)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus