Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Indonesia dalam Peta Kardus Papua

Saatnya sinema Indonesia memberi tempat kepada bakat seni peran orang Papua. Sebuah film hiburan yang bersahaja.

30 Oktober 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENIAS, SENANDUNG DI ATAS AWAN Pemain: Albert Fakdawer, Marcella Zalianty, Mathias Muchus, Ari Sihasale, Nia Zulkarnaen Sutradara: John de Rantau Produksi: Alenia Pictures, 2006

Adakah tempat bagi Papua dalam sinema Indonesia? Tak seperti industri film Hollywood, yang memberi peran besar kepada warga komunitas kulit hitam di sinema mereka, sinema kita sering melupakan model seni peran sahabat-sahabat kita di Papua.

John de Rantau, lewat film Denias, Senandung di Atas Awan, seakan mengingatkan kembali talenta seni peran Papua lewat orkestra akting yang menawan dari pemain-pemain Papua. Bahkan Albert Fakdawer, yang berperan sebagai Denias, bolehlah disebut sebagai aktor terbaik sinema Indonesia tahun ini. Ia mampu membawakan karakter anak Papua yang tinggal di daerah terpencil. Bukan anak ketua suku, senantiasa kehilangan guru-gurunya yang pulang ke Jawa, tapi terus memelihara mimpinya untuk bersekolah.

Film ini juga mampu mengelola salah satu nilai penting kebudayaan populer: kemampuan propaganda yang cair dan menghibur dalam mengangkat aspek-aspek yang sering dipenuhi stigma tertentu. Sebutlah aspek karakter dengan latar militer atau aspek kebangsaan seperti nasionalisme. Ketika menyuguhkan perspektif ini, film Indonesia umumnya senantiasa jatuh pada cara tuturan stereotip penuh propaganda artifisial yang menggurui dan penuh beban, yang kemudian menghilangkan aspek mulia kebudayaan populer, yakni hiburan yang bersahaja. Padahal salah satu aspek emosi penonton yang harus diberi daya hidup adalah kodrat aulianya itu—perasaan menjadi pahlawan.

Sesungguhnya muara film sebagai kebudayaan populer adalah keterampilan mengelola dramaturgi, bagaimana misalnya mengelola perasaan-perasaan bersahaja yang dirindukan manusia, seperti haru, sedih, senang, bangga, cinta, persahabatan, hingga simpati. Pada aspek ini, film yang diproduseri oleh Ari Sihasale ini patut mendapat pujian tersendiri.

Kalaupun harus dikritik, justru ending film ini, yang memperlihatkan tokoh anak-anak berjanji terhadap dirinya untuk masa depannya sambil melambai ke helikopter militer yang terbang di atasnya. Ending terbaik dalam film ini adalah ketika tokoh Enos (Minus Karoba), sahabat Denias di kota, dengan wajah penuh kegembiraan yang naif menunjukkan rapor usangnya ke Denias di tengah upacara bendera, setelah perjalanan melelahkan mengambil rapor di kampung.

Film ini dikembangkan berdasar kisah nyata seorang anak yang harus mengambil rapor ke kampungnya, melintasi sungai dan bukit. Syarat seorang murid agar bisa diterima di sekolah adalah bila ia memiliki rapor.

l l l

Ciri lain film sebagai kebudayaan populer adalah kemampuannya memberikan keberagaman dan kebaruan terus-menerus secara cair dan terbuka, namun tetap dalam esensi keterampilan drama. Tanpa aspek ini, sinema akan mengalami kejenuhan secara cepat, kemunduran ekonomi, dan tidak punya daya hidup panjang.

Saya melihat dua karakter utama dari delapan puluh persen wajah umum sinema Indonesia. Pertama, berkonsentrasi pada kota besar, terutama Jakarta, lebih khusus lagi ruang-ruang publik remaja kelas menengah atas—seakan ruang lain tidak mampu menjadi modal hiburan. Kedua, penuh bungkus gaya hidup sebagai formula kelarisan.

Sinema Indonesia sering lupa bahwa gaya hidup sangat penting untuk kemasan, tapi ia akan kehilangan kualitas hiburannya kalau ia kehilangan esensi drama. Bisa ditebak, penonton hanya mengikuti pameran visual gaya hidup seragam tanpa rasa haru, tanpa tawa, hingga tanpa logika. Dengan begitu, ia telah meremehkan syarat hidup kebudayaan populer. Jangan heran, sinema Indonesia terasa hidup hanya dalam waktu euforia, dan kini betapa susahnya meraih penonton sebanyak 300 ribu untuk standar umum kelayakan ekonomi film.

l l l

Film kisah Denias yang menurut sutradaranya diramu dalam gaya Hollywood ini terasa melontarkan kita pada aspek keberagaman. Ia membawa tema, karakter peran, hingga ruang Papua yang penuh keindahan gunung, lembah, dan sungai-sungai. Beruntung John memilih tim terbaik yang sudah berpengalaman terjun ke Papua. Sebutlah Yudhi Datau, salah satu juru kamera terbaik saat ini. Juga aspek artistik yang digarap Budi Karung.

Kalaupun ada aspek lain yang harus dikritisi, film yang memakan durasi hampir dua jam ini memuat babakan terlalu banyak sehingga terjadi penurunan dramaturgi pada beberapa adegan. Sebutlah adegan-adegan rapat yang terlalu formal ketika para guru mendebatkan nasib Denias. Ataupun tatanan informasi yang belum terolah karena terbagi untuk adegan lain, sebutlah penggambaran Denias di ruang kota. Atau juga, tidak hadirnya peran guru utama dari pemain Papua.

Yang terpenting dari sinema adalah keutuhannya. Pada aspek ini, film ini patutlah disebut sebagai salah satu film terbaik periode ini. Sebutlah sebagai contoh, peran musik pada film ini, yang ditata oleh Dian H.P. Ia memberi peran lengkap sebagai sebuah ilustrasi musik, yakni tidak hanya memberi aspek emosi seperti sedih dan gembira, namun memberi bangunan narasi sekaligus grafik tempo serta penekan-penekan pada aspek transisi. Aspek karakter bunyi kelokalan juga muncul. Menonjolnya ilustrasi musik itu juga ditunjang oleh kekuatan editing dalam mengelola muatan panjang film. Editing dan musik itu telah memberi spirit keindahan pada sosok Denias yang menjadi tiang utama film ini.

Ansambel seni peran juga muncul. Sebutlah peran Ari Sihasale sebagai anggota militer yang mendidik anak-anak, atau Marcella sebagai guru gembala, dan Nia Zulkarnaen sebagai pemimpin asrama yang tegas. Minus yang bermain sebagai Enos, anak jalanan yang menjadi teman Denias dan mengajarinya cara bertahan hidup di kota, juga harus dicatat khusus. Ia berhasil bermain komedi dengan alamiah. Inilah salah satu model komedian Papua, yang sudah bermain dalam beberapa film dan sangat dikenal di Papua. Juga jangan dilupakan, tokoh Noel, lawan Denias, yang bermain menawan sebagai sosok antagonis.

Alhasil, inilah orkestra unsur-unsur film hiburan yang bersahaja, yang memang tak perlu dibebani dengan muatan latar sosial dan politik yang berat dan kompleks. Kalaupun film ini belum juga mendapat ruang pasar yang luas, sesungguhnya harus dicatat, kebudayaan populer pun memerlukan proses waktu untuk ditanam di masyarakat. Simaklah sejarah daya hidup produk hamburger hingga hot dog yang membutuhkan waktu panjang untuk menjadi populer.

Yang menyentuh adalah ketika Denias ditanya tentang rapor oleh gurunya. Denias, yang tak memiliki rapor, malah dengan bangga menunjukkan peta Indonesia yang dibuat dari kardus dan ditempelkan di karung plastik bekas. Inilah kritik bersahaja Denias terhadap model mapan sistem penerimaan siswa di sekolah kita. Ini pula kritik bersahaja dan indah terhadap sinema Indonesia, yang tak memberi ruang kepada tema dan seni peran dari pelosok-pelosok Indonesia.

Selamat bagi siapa saja, yang dengan keberanian dan profesionalitasnya telah meletakkan wajah Papua dalam peta sinema Indonesia.

Garin Nugroho, kritikus dan sutradara

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus