Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEKERJAAN Fitrian Nur Rahmaniar sedikit terancam. Gadis yang sedang menunggu wisuda di akademi sekretaris itu sudah dua bulan dikontrak menuliskan risalah sidang Mahkamah Konstitusi. Lembaga yang setiap hari menggelar sidang itu membutuhkan transkripsi lengkap isi persidangan beberapa jam setelah sidang selesai.
Tugas Fitrian adalah mendengarkan ucapan di sidang dan menuliskannya. Setiap sidang dipecah dalam waktu enam menit-enam menit. Isi sidang 60 menit, misalnya, akan dikerjakan sepuluh orang pembuat transkrip. ”Rata-ra ta saya membutuhkan 40 menit untuk me nuliskan enam menit sidang,” kata Fitrian.
Kerja Fitrian terancam dengan rencana kedatangan mesin transkrip otomatis buatan PT Inti yang dirancang Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Mahkamah Konstitusi akan memasang dan menguji coba Perisalah nama simesin dalam pekan-pekan ini.
Dengan Perisalah, rancangan trans krip akan selesai hanya beberapa menit setelah sidang di Mahkamah Konstitusi selesai jauh lebih cepat dibanding kerja Fitrian dan teman-temannya. ”Mesin ini juga bisa membedakan suara peserta sidang,” kata Oskar Riandi, Kepala Pusat Sumber Daya Open Source BPPT.
Mahkamah Konstitusi sudah bertahun-tahun memikirkan soal risalah sidang ini. Notula ini tidak hanya mempermudah para pemohon dan termohon menyiapkan sidang sesudahnya. ”Tapi juga untuk transparansi dan akuntabi litas,” kata Janedjri M. Gaffar, Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi.
Apalagi sekarang mahkamah ini mesti cepat memproses persidangan. Untuk pertikaian hasil pemilihan kepala daerah, misalnya, undang-undang hanya memberikan waktu 14 hari bagi Mahkamah Konstitusi buat membereskan sengketa. Untuk mempercepat proses itu, dibutuhkan notula sidang yang dibuat dengan cepat.
Sampai sekarang, proses pembuat an notula dilakukan secara manual. Ruang sidang dipasangi sejumlah kamera. Gambar dan suara di dalam ruang dikirim ke ruang transkrip. Di ruang transkrip yang terletak di lantai tujuh gedung Mahkamah Konstitusi itu, rekaman akan dipecah ke dalam paket-paket sepanjang enam menit. Fitrian dan 19 rekannya bertugas menuliskan isi sidang dari paket-paket rekam an enam menit ini. ”Satu sidang membutuhkan sepuluh orang (pencatat),” kata Janedjri.
Pekerjaan transkrip ini memang sangat melelahkan, dan lama, karena beberapa kali mesti mengulang ucapan rekaman. ”Dibutuhkan delapan jam untuk transkrip diskusi satu jam,” kata Oskar. Peneliti BPPT ini tidak membesar-besarkan persoalan. Sebagai wartawan, Tempo merasakan pembuatan trans krip sebagai proses yang paling ”tidak produktif” karena melelahkan, memakan waktu, tapi wajib dilakukan.
Lima tahun silam, Janedjri sudah mulai memikirkan peralatan otomatis untuk mencatat persidangan. Saat itu, ia sempat mengungkapkan kebutuhan ini kepada BPPT, tapi dijawab bahwa yang ada hanya mesin untuk bahasa Inggris. ”Kami bilang yang kami butuhkan mesin untuk bahasa Indonesia,” katanya. Saat itu, ia tidak tahu bagaimana lembaga penelitian itu menanggapi permintaannya. Ternyata BPPT merancang alat yang kemudian bernama Perisalah ini.
Sistem yang digunakan BPPT tidak berbeda dengan peralatan serupa dalam bahasa Inggris atau Jepang yang sudah ada di pasar. ”Teknologinya sama, yaitu language modeling,” ujar Oskar.
Dengan sistem tersebut, komputer ”diajari” sebanyak-banyaknya kata dan ucapan. Sebuah mesin mampu membuat transkrip bila di dalam memorinya minimal sudah tersimpan 20 ribu kata. Nah, mesin buatan BPPT berkemampuan jauh lebih besar, yaitu menyimpan 200 ribu kata. Sebanyak 400 orang diambil contoh suaranya untuk mesin ini. Beberapa contoh kata atau kalimat diucapkan oleh orang dari suku dan usia yang berbeda agar mesin memahami dialek yang berbeda.
Data 200 ribu contoh suara itu disimpan di dalam hard disk server kompu ter. Fisik mesin ini tidak terlalu aneh, tidak berbeda dengan tumpukan beberapa server. Pengguna tinggal memasang mikrofon.
Saat dipakai, mikrofon dinyalakan dan, dengan sekali klik, keluar teks yang berisi ucapan pengguna dengan akurasi lumayan baik, terutama jika ucapan itu dalam bentuk pidato karena peng ucapan kalimatnya lebih tertata. ”Dalam uji coba, akurasinya pernah sampai 96 persen,” kata Oskar. ”Secara umum rata-rata akurasi 82-an persen.”
Untuk bahasa percakapan sehari-hari yang muncul dalam diskusi, tantangan Perisalah lebih tinggi. Si mesin dihadapkan pada kesulitan memahami dan mencerna kalimat-kalimat yang diucapkan secara seenaknya oleh manusia. Tempo pernah mencoba Perisalah dalam Pekan Produk Kreatif beberapa pekan silam. Saat merekam suara yang membacakan pidato, hasil transkripnya relatif mulus. Hampir-hampir kalimat yang diucapkan tidak perlu disunting. Tapi, begitu kita berbicara dengan bahasa santai sehari-hari, Perisalah kedodoran dalam menangkap dan mentranskripnya.
Hal ini muncul, menurut Oskar, karena mereka belum mendapatkan model transkripsi utuh sebuah diskusi dalam bahasa Indonesia. Transkripsi bisa mencatat, misalnya, kebiasaan mengatakan ”eee…” di depan kalimat atau tergagap: ”me… me… menegaskan”.
Kelemahan ini cukup berbahaya karena koreksi yang terlalu banyak bisa membuat kerja terganggu. ”Kalau koreksinya terlalu banyak, lebih cepat menulis (transkrip) sendiri,” kata koordinator penulis transkrip di Mahkamah Konstitusi, Donny Yuniarto.
BPPT berusaha memecahkan persoalan ini. ”Mesin akan di-retrain setelah tiga bulan dipasang,” kata Oskar. Prosesnya seperti anak belajar berbicara. Saat pemasangan awal, akan banyak kesalahan. Korektor akan menunjuk kesalahan itu dan memperbaiki nya. Perbaikan ini disatukan dalam basis data mesin setelah tiga bulan. ”Diharapkan, setelah tiga bulan, hasilnya lebih baik,” ujarnya. Sebenarnya, ada teknologi yang membuat proses retrain berlangsung otomatis. Tapi teknologi asing ini tidak gratis. ”Jika menggunakannya, kami takut digugat,” kata Oskar.
Mahkamah Konstitusi agaknya cukup sabar dengan hasil yang masih butuh perbaikan ini. ”Namanya teknologi, tidak usah menunggu sempurna,” kata Janedjri. Hal ini membuat Mahkamah Konstitusi memutuskan menjadi pembeli pertama Perisalah yang harganya ratusan juta rupiah itu.
Sayang sekali, meski sudah dijadwal kan awal bulan ini, pemasangannya molor karena hambatan teknis birokrasi pengadaan barang di PT Inti. Jika pengadaannya selesai, mesin itu tinggal menyalin hard disk dari master yang dibuat BPPT. ”Meng-copy hard disk kan tidak lama, paling satu jam saja,” kata Oskar. ”Kami ingin secepatnya dipasang.”
Nur Khoiri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo