Sejumlah produsen kertas Indonesia mengajukan petisi anti-dumping terhadap kertas dari Korea Selatan, Finlandia, India, dan Malaysia. Petisi diajukan oleh PT Indah Kiat Pulp & Paper, Pabrik Kertas Tjiwi Kimia, dan Pindo Deli Pulp and Paper Mills karena harga kertas impor dari keempat negara itu jauh di bawah harga normalnya. Selain itu, volume ekspor kertas dari empat negara itu ke Indonesia meningkat tajam pada 2002 dibanding pada tahun-tahun sebelumnya. Akibatnya, pangsa pasar produsen lokal berkurang 17 persen.
Produk kertas yang dipersoalkan adalah kertas HVS lapis (coated writing and printing paper) dan kertas HVS non-lapis. Jenis kertas tersebut mendominasi pasar kertas Indonesia (60 persen). Karena itu, dampak masuknya produk dumping dari empat negara tersebut langsung terasa.
Berdasarkan data Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI), kertas HVS lapis dari Finlandia dan Korea Selatan diekspor ke Indonesia dengan harga US$ 420-646 per metrik ton, padahal harga normalnya mencapai US$ 720-805. Tak aneh jika volume ekspor dua negara itu ke Indonesia meningkat drastis. Pada 2001, ekspor kertas lapis dari Finlandia dan Korea Selatan masing-masing baru 173 metrik ton dan 770 metrik ton, tapi tahun lalu sudah 4.378 metrik ton dan 2.962 metrik ton.
Hal yang sama juga terjadi di HVS non-lapis. Harga normal kertas jenis ini rata-rata US$ 615-765 per metrik ton, tapi diekspor ke Indonesia hanya US$ 407-499 per metrik ton. Perbedaan harga itu di satu sisi memukul produsen lokal, tapi menguntungkan konsumen karena kompetisi di pasar kertas meningkat tajam dan tak hanya dikuasai oleh tiga perusahaan yang notabene semuanya anak perusahaan Asia Pulp and Papers (Grup Sinar Mas).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini