Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEMACETAN kerap terjadi di Jalan Asia Afrika, Senayan, Jakarta Selatan, menjelang sore. Sederet mobil tersendat-sendat menuju arah Pejompongan. Laju mobil, juga sepeda motor, kian terhambat oleh tiang-tiang beton yang terpancang di tengah jalan. Pilar penyangga setinggi sekitar tiga meter itu pun menjadi bahan cercaan. ”Tiang-tiang ini nih biang macet,” ujar Suhardono, pengendara sepeda motor warga Palmerah, menggerutu kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Berderet-deret tiang beton mangkrak juga ada di seputar Kuningan, Jakarta Selatan. Kondisinya sebagian mulai lapuk dan berkarat. Sejatinya beton-beton tadi akan dipakai untuk penyangga monorel, angkutan massal berbasis rel tunggal, yang seharusnya sudah melintas di Jakarta awal tahun ini. Tapi, apa lacur, proyek sepur layang itu masih sebatas impian setelah terbengkalai hampir tiga tahun….
Tapi, tunggu dulu, ada kabar baik dari kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Jakarta. Di sana, Rabu tiga pekan lalu, berlangsung rapat khusus membahas rencana menghidupkan kembali proyek monorel. Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Transportasi Soetanto Soehodo memimpin rapat yang dihadiri para petinggi Pemerintah Provinsi Jakarta, kuasa hukum pemerintah, dan manajemen PT Adhi Karya itu.
Adhi Karya? Ya, perusahaan kontraktor milik negara itu menjadi kandidat kuat sebagai pengendali utama baru konsorsium PT Jakarta Monorail. Adhi Karya dinilai kredibel. Kontraktor pelat merah ini juga punya tagihan besar di Jakarta Monorail. Sumber Tempo yang hadir dalam rapat itu mengungkapkan, selain menyampaikan keinginan agar Adhi Karya menjadi pengendali baru konsorsium, pemerintah Jakarta menanyakan kejelasan nasib monorel. ”Sayangnya, tak ada jawaban jelas dari anggota konsorsium,” ujarnya.
Langkah ini klop dengan keinginan Gubernur Fauzi Bowo. Ia juga gusar oleh kemacetan di tanah Betawi yang semakin kusut. Pada Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta dua bulan lalu, Fauzi ”Foke” Bowo buka suara. ”Monorel akan diteruskan segera setelah masalah dengan kontraktor swasta selesai,” katanya.
PROYEK monorel pertama kali digagas pada 2003. Kereta layang senilai US$ 500 juta atau sekitar Rp 4,65 triliun ini menghubungkan dua lini Kota Jakarta. Trayek pertama—disebut jalur hijau—sepanjang 14 kilometer melingkar dari kawasan Rasuna Said-Gatot Subroto-Sudirman-Senayan hingga Pejompongan. Adapun rute kedua—jalur biru—melewati Kampung Melayu, Casablanca, Tanah Abang, dan Roxy. Tarifnya dipatok Rp 7.000 per orang.
Pada awalnya, MTrans mengerjakan proyek monorel ini. Tak lama setelah diresmikan Presiden Megawati pada Juni 2004, proyek berhenti. Nota kesepahaman dengan perusahaan asal Malaysia itu dibatalkan. Pengembangan monorel dialihkan kepada konsorsium PT Jakarta Monorail dengan Omnico Singapura. Mereka menggandeng PT Inka dan PT Bukaka Teknik Utama sebagai penyedia kereta dan suku cadangnya.
Tapi Omnico gagal memenuhi tenggat setoran modal pada 2005. Terpaksa konsorsium PT Indonesia Transit Central—salah satu anggotanya PT Adhi Karya—mengambil alih 45 persen saham Omnico. Tak sampai tiga tahun berjalan, proyek monorel kembali mati angin lantaran PT Jakarta Monorail, sang pemegang proyek, gagal dua kali menggaet pemodal. Konsorsium Dubai yang digadang-gadang bisa menyediakan fulus segar US$ 650 juta juga tak jadi masuk. Pada Maret 2008, proyek bergengsi monorel berhenti.
Setelah lama mati suri, kini Jakarta Monorail mendesak pemerintah daerah mengambil alih proyek. Tapi mereka meminta Jakarta membayar kompensasi Rp 600 miliar. Kebetulan pemerintah Jakarta sedang mempertimbangkan lagi pengembangan monorel sebagai salah satu solusi mengatasi kemacetan lalu lintas. ”Di samping proyek transportasi lain, monorel direncanakan dikebut lagi,” kata Deputi Gubernur Bidang Transportasi Soetanto Soehodo kepada Tempo di Jakarta dua pekan lalu. Tapi kantor gubernur ogah membayar ganti rugi kepada Jakarta Monorail.
Kembalinya Jakarta melirik monorel tak lepas dari desakan pemerintah pusat. Sumber Tempo membisikkan, salah satu dorongan kuat muncul dari kantor Wakil Presiden Boediono. Kantor RI-2 itu sudah berkali-kali menanyakan kelanjutan nasib proyek monorel. ”Tenggatnya, bulan ini sudah harus ada penyelesaian,” ujarnya kepada Tempo di Jakarta pekan lalu. Kementerian Perhubungan, kata sang sumber, ikut mempertanyakan proyek transportasi massal ini. Juru bicara Kantor Wakil Presiden, Yopie Hidayat, mengatakan, ”Proyek monorel urusan pemerintah daerah. Pusat hanya membantu jika diperlukan.”
Sederet rencana pun digagas. Menurut Soetanto, monorel mungkin akan dimodifikasi dan diintegrasikan dengan mass rapid transit (MRT) jalur Lebak Bulus, Jakarta Selatan, ke Dukuh Atas, Jakarta Pusat. Alasannya, monorel tak mungkin mengatasi kemacetan karena daya angkutnya sedikit. ”Rutenya juga bukan jalur padat penumpang,” katanya. Monorel diperkirakan hanya bisa mengangkut sekitar 294 ribu penumpang sehari. Bandingkan dengan MRT, yang bisa membawa penumpang dua setengah kali lipatnya.
Negosiasi dengan Jakarta Monorail juga kembali digelar. Salah satunya membahas klaim ganti rugi konsorsium itu senilai Rp 600 miliar. Tapi Jakarta hanya mengakui duit yang sudah dikeluarkan konsorsium sebesar Rp 203 miliar. Nilai itu sesuai dengan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan yang dirilis Mei lalu. Dalam serangkaian perundingan lain, pemerintah Jakarta juga meminta salah satu anggota terkuat dalam konsorsium mengambil alih kendali. Calon pengendali baru ini mengambil tanggung jawab ganti rugi dua ratusan miliar rupiah itu. ”Pertimbangannya agar proyek berjalan,” katanya.
Ditawari agar mengambil alih, eh, menurut sumber Tempo, PT Adhi Karya malah menawarkan kepada pemerintah daerah agar membeli aset Jakarta Monorail. Aset yang dimaksud tak lain dari deretan tiang pancang yang telah dibangun dengan harga sesuai perhitungan auditor Badan Pemeriksa Keuangan. Perundingan buntu karena pemerintah daerah Jakarta tak mau membeli aset-aset itu. ”Inisiatornya kan mereka (Jakarta Monorail), lalu ketika mangkrak, masak iya kami harus mengambil alih?” kata Soetanto.
Soetanto juga punya alasan lain. Pemerintah Jakarta sudah cukup punya andil dalam proyek ini dengan memberikan jaminan (shortfall guarantee) 50 persen tanggungan batas penumpang minimum harian atau sebesar US$ 11,25 juta (Rp 104,6 miliar) per tahun. ”Coba, kurang apa lagi?”
Sekretaris Perusahaan Adhi Karya, Kurnadi Gularso, saat dimintai konfirmasi mengatakan, hingga kini, manajemen Adhi Karya belum memutuskan langkah apa pun atas proyek monorel. ”Perundingan dengan pemerintah Jakarta masih soal piutang,” ujarnya kepada Tempo di Jakarta. Tapi Adhi Karya memberi komitmen mempertahankan kepemilikan sahamnya di Jakarta Monorail dan Indonesia Transit Central sebesar 30 persen.
Tak seperti Adhi Karya, Jakarta Monorail justru melunak. ”Soal siapa memimpin konsorsium kami serahkan kepada pemerintah dan Adhi Karya,” kata Direktur Operasional Jakarta Monorail Sukmawaty Syukur. Dia juga pasrah soal klaim kompensasi. Padahal, sebelumnya, Sukmawaty mengancam akan mengadu kepada badan arbitrase internasional di Prancis. ”Kami ikuti sikap pemerintah saja, asal hitungannya adil,” katanya. Tunggu apa lagi?
Fery Firmansyah, Padjar Iswara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo