Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font face=arial size=1 color=brown><B>Bursa</B></font><BR />Tak Ada Trompet di Akhir Tahun

Penurunan Indeks saham Indonesia terburuk keempat di dunia. Perlu kerja keras untuk memulihkannya.

5 Januari 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lagu Bangun Pemudi-Pemuda dengan iringan angklung bergema di lantai perdagangan Bursa Efek Indonesia, sesaat setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani menutup transaksi akhir tahun, Selasa sore pekan lalu. Tak ada tiupan trompet atau lontaran balon. Para pialang pun tak ada yang memakai topi warna-warni. Tradisi tahunan menjelang tutup buku di banyak bursa dunia itu kali ini ditinggalkan.

Para pelaku pasar memang tak bergairah berpesta, karena Bursa Efek Indonesia ambrol dihajar krisis finansial global. Sampai pintu perdagangan ditutup pada 30 Desember 2008, indeks harga saham gabungan hanya bertengger di level 1.340,89, anjlok 51,17 persen dibandingkan dengan posisi akhir 2007 (2.739,704). Kapitalisasi pasar saham juga tergerus hampir separuhnya, dari Rp 1.988,3 triliun menjadi Rp 1.072,5 triliun. Tahun sebelumnya, indeks Bursa Indonesia menguat 52 persen.

Penurunan indeks saham Indonesia itu yang terburuk keempat di dunia setelah Bursa Shanghai (Cina), yang anjlok 64,81 persen; Shenzen (Cina) 60,7 persen; dan Bursa Mumbai (India) 53,83 persen. (lihat tabel).

Sebenarnya, jika dihitung secara kumulatif, kata analis PT BNI Securities Muhammad Alfatih, kinerja pasar modal Indonesia tidak buruk-buruk amat. Pasar saham Jakarta sampai November 2008 masih tumbuh 46 persen dibanding posisi 2004—ketika itu indeks sahamnya anjlok ke level 1.100-an. Kinerja Bursa Indonesia itu lebih baik ketimbang bursa negeri tetangga seperti Malaysia, yang hanya 14 persen. ”Bursa Thailand malah minus 17 persen,” katanya.

Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Fuad Rahmany juga tak terlalu risau dengan terpuruknya pasar saham. Anjloknya indeks saham diyakini bukan lantaran buruknya perekonomian nasional, tapi lebih karena imbas krisis global. ”Hampir semua bursa turun,” katanya dalam konferensi pers di Jakarta pekan lalu. Perekonomian Indonesia juga masih lumayan karena tumbuh 6,2 persen. Inflasi memang naik tajam, tapi sudah bisa dikendalikan di level 11 persen. Cadangan devisa pun relatif besar, US$ 50,2 miliar.

Krisis finansial yang dipicu oleh subprime mortgage (hipotek perumahan kelas dua di Amerika Serikat) memang menjungkirbalikkan perekonomian global. Minyak mentah yang sempat membubung menjadi US$ 147 per barel ambles menjadi US$ 36. Harga komoditas energi (batu bara dan gas), pertambangan (terutama nikel dan emas), perkebunan (minyak kelapa sawit) juga ikut menurun.

Penurunan itu memicu longsornya pasar saham di Jakarta. ”Investor khawatir, laba emiten pada kuartal keempat 2008 dan 2009 akan menurun akibat krisis global. Ini turut mendorong investor keluar dari bursa,” kata Alfatih. ”Faktor internal kasus grup Bakrie juga menambah jatuhnya indeks,” katanya menambahkan.

Kondisi fundamental ekonomi Indonesia yang cukup kuat ternyata tetap tak bisa meyakinkan para pemodal. Investor asing, terutama pemodal lembaga, ramai-ramai keluar dari Jakarta untuk menambal kerugian akibat subprime mortgage. Aksi jual saham ini, celakanya, kemudian diikuti oleh investor lokal.

Menurut Direktur Riset PT HD Capital Adrian Rusmana, ada dua kemungkinan yang menyebabkan investor lari dari pasar modal nasional. Pertama, ada data ekonomi yang tak jelas (hidden data). Tapi, jika data itu benar dan fundamental perekonomian Indonesia tak bermasalah, kata dia, berarti ada yang salah dengan kebijakan bursa efek dan pengawas pasar modal. Kasus maju-mundurnya pembukaan suspensi saham Bumi Resources beberapa bulan silam salah satu contohnya. ”Kepercayaan investor menurun,” ujar Adrian.

Untuk mengembalikan kepercayaan itu, Sri Mulyani mengajak pelaku pasar bekerja sama menghela Bursa Indonesia lebih cepat lagi. Pada awal tahun lalu, Bursa Jakarta merupakan salah satu bursa terbaik di dunia. ”Saya yakin, spirit saling percaya akan menjadi modal untuk menjaga industri ini tetap bisa memberikan kontribusi positif kepada negara.”

Padjar Iswara, Harun Mahbub

Penurunan indeks bursa saham global

  • Shanghai (Cina): 64,81%
  • Shenzen (Cina): 60,65%
  • Mumbai (India): 53,83%
  • BEI (Indonesia): 51,17%
  • Hang Seng (Hong Kong): 49,00%
  • Straits Times (Singapura): 48,81%
  • Nikkei (Jepang): 42,12%
  • KLSE (Malaysia): 38,40%
  • Dow Jones (Amerika): 36,00%
  • FTSE (Inggris): 32,49%

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus