Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RAHARTA kebingungan. Kedua tangannya menenteng dua jeriken air zamzam ukuran lima liter. Di depannya, sebuah koper jumbo penuh oleh-oleh dari Mekah. ”Bagaimana cara membawa air zamzam tanpa ketahuan petugas bandara?” tanya anggota jemaah haji asal Bekasi itu kepada temannya, Kamis tiga pekan lalu.
Dua maskapai penerbangan pengangkut jemaah haji Indonesia, Garuda Airlines dan Saudi Airlines, memang membatasi bagasi maksimal 32 kilogram plus air zamzam paling banyak lima liter. ”Bungkus saja jeriken dengan kain ihram, masukkan ke koper, beres,” seorang teman memberikan saran. Selain Raharta, masih banyak anggota jemaah haji yang puyeng membawa pulang oleh-oleh seabrek itu ke Tanah Air.
Tapi tak semuanya seperti Raharta. Maryam, anggota jemaah haji asal Makassar, dengan tenang membeli gentong 20 liter untuk diisi air zamzam. Caranya gampang. Maryam mengirim gentong seukuran badan orang dewasa yang sudah penuh itu melalui jasa kargo. ”Kita bisa mengirim berapa saja,” kata perempuan yang ditemui Tempo di terminal bus Kudai, Mekah, itu.
Bisnis jasa pengiriman barang via kargo memang meriah pada musim haji. Salah satu pemainnya PT Pos Indonesia. Perusahaan pelat merah ini menyiapkan dua mobil untuk menjemput air zamzam atau oleh-oleh ke pemondokan jemaah Indonesia. ”Tinggal kring, kami datang,” kata Dian, petugas Pos Indonesia di Mekah, kepada Tempo, tiga pekan lalu.
Manajer Logistik Pos Indonesia Sabadi Alhadi mengatakan bisnis kargo haji ini merupakan salah satu terobosan perusahaannya. Dengan jaringan yang menjangkau hampir semua sudut Indonesia, Pos Indonesia bisa melayani permintaan pengiriman kargo ke mana saja.
Bisnis ini sebenarnya sudah dilakoni PT Pos sejak 1995 bekerja sama dengan Al Munif—sesama perusahaan jasa pengiriman. Tapi peran Pos Indonesia dibatasi, hanya mengangkut barang yang sudah tiba di Bandara Soekarno-Hatta dan Pelabuhan Tanjung Priok, untuk didistribusikan ke seluruh Indonesia. ”Ini tidak efektif.” Pada tahun 2000, Pos Indonesia juga menggandeng Garuda Indonesia. Hasilnya sama saja.
Tak mau cuma jadi perpanjangan tangan, tiga tahun lalu Pos Indonesia langsung menjemput bola ke Mekah. Pos menjalin kerja sama dengan mitra lokal Al Mahmal. Sambutan konsumen pun bagus. ”Menurut jemaah, kalau menggunakan jasa kargo perusahaan setempat, mesti banyak berdoa agar kirimannya sampai,” kata Sabadi bergurau. Di sana, Pos Indonesia menumpang di kantor pos Malaysia di wilayah Zahir, Mekah.
Hasilnya lumayan. Pada 2005, Pos Indonesia berhasil memanen 25 ton kargo, setahun berikutnya naik menjadi 28 ton, kemudian menyusut menjadi 27 ton pada 2007. Sayangnya, tahun ini jeblok. Pos Indonesia hanya bisa mengangkut 15 ton senilai 169 ribu riyal atau Rp 540 juta (kurs Rp 3.200 per riyal). ”Selain jumlah personel menyusut tinggal enam orang, keberangkatan tim juga telat karena ada perubahan manajemen,” kata Sabadi.
Bisnis kargo haji ini sebenarnya menggiurkan jika saja Pos Indonesia punya perencanaan dan jaringan yang mantap di Arab Saudi. Bila seperempat saja dari 200 ribu anggota jemaah Indonesia menggunakan jasa Pos Indonesia dan masing-masing mengirim 10 kilogram, itu berarti sedikitnya 500 ton barang terangkut. Dengan tarif untuk wilayah Jawa 10 riyal per kilo, sedikitnya bisa diperoleh Rp 16 miliar untuk sekali musim haji.
Jumlah itu memang sangat kecil untuk dibandingkan dengan penjualan PT Pos, yang mencapai Rp 1,8 triliun. Tapi sesungguhnya potensinya masih sangat besar. Selain menangani jemaah haji, Pos Indonesia bisa menggaet konsumen dari kalangan tenaga kerja Indonesia di kawasan Jazirah Arab, yang jumlahnya sekitar 1,4 juta orang. Susahnya, sejauh ini PT Pos Indonesia belum menggarapnya secara serius. Kantor saja masih menumpang.
KEADAANLAH yang membuat Pos Indonesia harus memutar otak, antara lain dengan mengembangkan sayap bisnis hingga ke luar negeri. Kas perusahaan negara ini sungguh memprihatinkan. Bayangkan, dengan omzet triliunan rupiah, labanya hanya puluhan miliar. Pada 2007, misalnya, PT Pos mencatat penjualan Rp 1,8 triliun, tapi labanya cuma Rp 5 miliar. ”Ini memalukan,” kata Wakil Direktur Utama Pos Indonesia I Ketut Mardjana.
Padahal, sebagai pemain tertua di bisnis jasa pengiriman surat di Tanah Air, Pos Indonesia memiliki infrastruktur yang oke. Jejaringnya terintegrasi. Jaringan fisiknya saja terdiri atas 3.453 kantor cabang, dengan hampir 22 ribu karyawan plus 3.400 tenaga outsourcing. Apalagi sistem kode pos yang telah dirintis puluhan tahun memungkinkan tiap jengkal daerah di negeri ini teridentifikasi secara akurat.
Menurut Ketut, banyak inefisiensi dalam kegiatan operasional sehari-hari yang membuat labanya mini. Misalnya pemisahan bidang usaha pengiriman surat dan logistik, yang buntutnya memunculkan pemborosan. Jangan heran, kata Ketut, jika Anda menerima kiriman surat kilat dan paket sekaligus yang diantar dua mobil Pos Indonesia yang berbeda. ”Tidak ada koordinasi,” kata dia mengeluh.
Pemborosan lain, Ketut menambahkan, penggunaan kertas yang luar biasa. Sistem pengarsipan juga masih manual dan tumpang-tindih. Pemanfaatan tenaga kerja paruh waktu pun tidak efektif. Belum lagi soal teknologi yang masih jadul.
Inilah yang membikin pangsa pasar Pos Indonesia terus menciut. Saat ini, market share untuk bisnis jasa pengiriman surat cuma 10 persen, sedangkan jasa logistik malah tidak sampai satu persen. Padahal bisnis surat memiliki kontribusi yang besar (67 persen) terhadap pendapatan perseroan. Dan itu sudah menjadi mainan lama Pos Indonesia, yang telah beroperasi sejak zaman penjajahan Belanda.
Pos Indonesia ternyata tak mampu bersaing dengan pemain-pemain baru yang gesit. Pemain lokal yang melejit antara lain Tiki, JNE, dan Caraka. Sedangkan dari mancanegara datang perusahaan kakap seperti DHL Express, Fedex, dan TNT. DHL, yang telah 35 tahun lebih nyemplung ke pasar Indonesia, mengklaim sebagai pemimpin pasar pengiriman ekspres internasional.
Manajer Pemasaran PT Birotika Semesta, perwakilan DHL di Indonesia, Edi Prayitno, mengatakan DHL memiliki pangsa pasar lebih dari 50 persen untuk kategori perusahaan pengiriman ekspres internasional melalui udara di Indonesia. Perusahaan ini juga terus memperlebar cakupan ke daerah-daerah, antara lain Medan, Palembang, Balikpapan, dan Makassar.
Dengan infrastruktur yang jauh lebih komplet, sungguh aneh jika Pos Indonesia kian tertinggal. Apalagi potensi bisnisnya luar biasa besar. Direktur Pelaksana JNE Djohari Zein mengatakan potensi bisnis pengiriman barang belum tergali penuh. Asosiasi Perusahaan Jasa Ekspres Indonesia memperkirakan, dari potensi pasar yang mencapai Rp 300 triliun, baru terserap Rp 100 triliun.
Tantangan dari para pemain swasta itulah yang memaksa manajemen Pos Indonesia merombak sistem operasinya, juga kultur manajemen yang cenderung birokratis. Dalam jangka menengah, Ketut menambahkan, Pos Indonesia akan memperbesar investasi di bidang teknologi, komunikasi, dan informasi—ICT (information, communication, and technology). Targetnya, ICT menjadi pilar utama.
Pos Indonesia juga akan mengembangkan layanan jasa keuangan. Bisnis ini sebenarnya sudah lama digarap, tapi sepertinya masih ”setengah hati”. Anda tentu masih ingat Tabanas, produk Pos Indonesia yang melayani penyimpanan pundi pada 1970-an. Yang terbaru, Pos Indonesia juga memiliki jaringan ATM Pos, bekerja sama dengan sejumlah bank, antara lain BII.
Tapi semua itu belum bisa mendongkrak kinerja PT Pos Indonesia. Itu sebabnya Pos Indonesia menunda go public. Semula, Pos Indonesia berencana masuk bursa pada 2009 atau paling lambat 2010. Gara-gara kinerjanya masih ”seadanya”, rencana itu ditunda hingga 2012. Diharapkan saat itu rapornya sudah kinclong.
Retno Sulistyowati, Ismi Wahid, Amandra Mustika Megarani, Burhan Sholihin (Mekah)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo