Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Rumbia Hangus di Bengkalis

Ratusan polisi Riau menggusur rumah warga Dusun Suluk, Bengkalis, Riau. Dipicu sengketa lahan.

5 Januari 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUSUN itu kini tak lagi berpenghuni. Akhir 2008 yang sunyi: di hamparan hijau akasia, dalam jarak 300 hingga 500 meter, yang tampak hanya bekas rumah yang hancur dan sisa asap yang membubung. Rumbia bekas atap tercecer di tanah. Bekas tiang penyangga atap bertumpuk atau centang-perenang. Di beberapa tempat tampak alat rumah tangga dan sisa pakaian terserak dan hangus.

Dusun Suluk Bongkal, Bengkalis, Riau, pada akhir Desember itu jadi kampung mati. Kini penghuni kampung itu lari ke hutan dan daerah lain. Sebelumnya, Kamis 18 Desember lalu, sekitar 700 polisi Riau mengusir 800-an warga dengan peluru karet dan gas air mata. Aparat menganggap warga tinggal di lahan konsesi hak pengusahaan hutan tanaman industri milik PT Arara Abadi—anak usaha pabrik kertas PT Indah Kiat Pulp and Paper. Yang mengungsi kini mengeluh. ”Kami ingin pulang,” kata Pongah, warga Suluk. Pongah kini ”diamankan” Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ke Jakarta untuk diminta keterangan.

l l l

RIZA Zuhelmy menerima pesan pendek dari nomor yang tak dikenalnya pada tengah malam, 17 Desember lalu. Isinya: sekitar 1.500 polisi Riau siap menggusur Dusun Suluk Bongkal esok hari.

Ketua Umum Serikat Tani Riau itu tak menganggap enteng pesan itu: ia meminta pemuda dusun mengecek kebenaran informasi. Benar saja, di jalan masuk kilometer 51 menuju dusun, terlihat ratusan polisi dengan mobil ranger dan bus datang menghampiri dusun.

Warga bersiap. Kamis pukul setengah delapan pagi, 700 warga berkumpul di pintu masuk desa. Warga mengaku menyambut polisi dengan damai. ”Mana mungkin kami bawa senjata,” kata Pongah.

Sekitar pukul 10.30, polisi tiba di Suluk Bongkal dan mengajak berunding tokoh adat dan perwakilan Serikat Tani Riau. Negosiasi dilakukan di gubuk 2,5 meter persegi di pinggir ladang menuju dusun. Polisi yang berembuk datang dari beberapa kesatuan: samapta, brigadir mobil, dan aparat intelijen.

Warga meminta polisi menunjukkan surat perintah atau surat putusan pengadilan untuk eksekusi. Menurut Riza, ketika itu aparat hanya berkata: mereka hanya menjalankan perintah atasan. Karena tak ada surat perintah, warga meminta polisi membatalkan penggusuran. Polisi berkeras. Perundingan 15 menit itu tak membuahkan hasil.

Setelah pertemuan itu, polisi berupaya membawa perwakilan warga ke atas mobil mereka. Tapi warga yang lain menarik rekan mereka yang akan diangkut. Sempat terjadi tarik-menarik. ”Polisi gagal menangkap saya,” kata Riza.

Aparat lalu merangsek. Warga menghalangi. Aksi dorong antara polisi dan warga berlangsung sekitar 10 menit. Warga membentuk barisan di depan pintu dusun sambil memekikkan salawat badar dan Indonesia Raya.

Gas air mata lalu dilontarkan. Pasukan tambahan polisi masuk dan mengepung warga dari jalan lain: lewat PT Adei Plantation and Industry, yang terletak tak jauh dari dusun. Suasana panik dan warga histeris. Beberapa orang terluka.

Dari penduduk, Pongah mendengar kabar seram: Intan, 23 tahun, melahirkan lebih cepat karena disepak polisi. Kabar lain: Putri, 2,5 tahun, anak pasangan Herman Purba dan Maria, meninggal jatuh ke sumur karena panik.

Sayang, Tempo tak berhasil mewawancarai Intan, Herman Purba, ataupun Maria. Seperti umumnya warga desa yang lain, mereka kini mengungsi entah ke mana. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga belum menemukan fakta keras seputar korban tewas ini. ”Kami hanya mendapat informasi dari warga sekitar,” kata Wakil Ketua Komisi Nasional, Ridha Saleh. Meski demikian, Walhi dan 24 organisasi nirlaba hingga kini masih bertahan di sana untuk menginvestigasi. Kepala Kepolisian Daerah Riau Brigadir Jenderal Hadiatmoko membantah. ”Mana mungkin kami menewaskan bocah. Ini provokasi murahan,” katanya.

Dalam waktu lima jam, 500 rumah kayu itu hancur berantakan. Dengan eskavator, polisi meratakan dusun itu. Menurut Riza, pada saat helikopter polisi terbang di atas dusun, sejumlah rumah warga terbakar. Ada kecurigaan: polisi melemparkan bom. Tapi, ”Ini masih diselidiki,” kata Riza. Seusai penggusuran, polisi menangkap 81 orang warga yang dituduh menggunakan senjata tajam.

l l l

SETAHUN lalu PT Arara Abadi mengadu ke polisi bahwa warga menyerobot lahan dan menebang pohon mereka. ”Warga menebangi pohon akasia,” kata Nazaruddin, juru bicara Indah Kiat Pulp and Paper. PT Arara mendapat konsesi lahan hak pengusahaan hutan tanaman industri 299.975 hektare pada 1996 lewat Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 743/Kpts-II/1996.

Warga Suluk Bongkal mengaku telah puluhan tahun tinggal di sana. Keberadaan mereka diakui besluit (surat keputusan) Belanda dengan Kerajaan Siak sekitar tahun 1940. Dusun itu juga sudah masuk peta pembagian wilayah pemerintah sejak 1959. Keputusan itu diperkuat beleid pemerintah Kabupaten Bengkalis, yang memasukkan Suluk Bongkal ke peta administrasi dengan luas 4.856 hektare pada 12 Maret 2007.

Menurut Pongah, konflik telah terjadi sejak 1993. Ketika itu hak pengusahaan hutan tanaman industri dipegang oleh kelompok usaha Surya Dumai. Seperti juga oleh Indah Kiat, oleh Surya Dumai lahan itu juga ditanami akasia.

Aksi perlawanan sempat dilancarkan dengan melakukan penanaman tumpang tindih. ”Setiap kali perusahaan menanam akasia, kami menanam palawija di daerah yang sama,” kata Pongah. Lelaki itu pada 2006 pernah sembilan hari ditahan aparat karena merusak tanaman perusahaan. Adapun Pongah menuding satpam perusahaan berkali-kali merusak palawija penduduk. Pongah berpendapat, boleh saja perusahaan mengambil pohon dari hutan. Yang mereka protes adalah penanaman akasia yang mengambil lahan mereka.

Konflik berkepanjangan membuat beberapa lembaga swadaya masyarakat turun tangan. Pendampingan, kata Riza, telah dilakukan sejak November 2006, dengan membentuk Komite Perjanjian Pembebasan Tanah Rakyat Riau. Lembaga ini pada 2007 berubah menjadi Serikat Tani Riau.

Menurut Riza, pada awal 2007 sudah ada kesepakatan antara Badan Pertanahan, Dinas Kehutanan, polisi, Serikat Tani, dan perusahaan untuk melakukan identifikasi, inventarisasi, dan rekonstruksi lahan konsesi. ”Rencananya pada 2009 tahap rekonstruksi lahan selesai. Sehingga batas tanah dusun dan perusahaan dapat diketahui,” katanya.

Konflik pun mestinya bisa dihindari karena berdasarkan Surat Menteri Kehutanan Nomor 319/Menhut/V/ 2007(12 Mei 2007) dan Surat Gubernur Riau Nomor 100/P.H. 13.06 (8 Maret 2007) perusahaan pemegang konsesi belum boleh beroperasi kecuali sengketa warga selesai.

Karena itu, Direktur Kelompok Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Bambang Aswandi, menyesalkan tindakan polisi yang main gusur. Menurut dia, Kepala Kepolisian Riau yang lalu, Brigadir Jenderal Sutjiptadi, telah menyatakan kasus ini status quo. Walhi kini berniat mengajukan gugatan praperadilan kepada polisi.

Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, M. Ridha Saleh, menuding polisi melanggar hak asasi. Kata Ridha, ”Tindakan mereka bukan melindungi masyarakat, tapi justru menyiksa.”

Yuliawati (Jakarta), Jupernalis Samosir (Riau)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus