Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font face=arial size=1 color=brown><B>Bursa Indonesia</B></font><BR />Di Bawah Lindungan Krisis

Bapepam akan memperketat penghitungan modal kerja perusahaan efek. Krisis membuat banyak broker tak siap melaksanakannya.

30 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lantai perdagangan saham di gedung Bursa Efek Indonesia, Jalan Sudirman, Jakarta Pusat, Selasa siang pekan lalu sangat hidup. Seratus dua puluh pedagang efek (floor trader) sibuk menerima order jual-beli. Melalui telepon, kepanjangan tangan para dealer saham itu menerima pemesanan dan memasukkan transaksi ke komputer. Perdagangan hari itu memang sangat aktif. Sebanyak 4,2 miliar lembar saham berpindah tangan. Nilai transaksi di pasar reguler mencapai Rp 2,9 triliun.

Selama dua hari berturut-turut, transaksi di pasar utama itu berhasil melewati Rp 2,5 triliun, angka yang jarang terjadi lagi sejak pasar saham Jakarta terimbas krisis global September 2008. Dalam enam bulan terakhir, nilai perdagangan saham di bursa nasional itu hanya berkisar Rp 900 miliar hingga Rp 1,5 triliun per hari, jauh dibanding periode 2007 dan awal 2008, yang rata-rata Rp 4,5 triliun per hari.

Ketua Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia Lily Widjaja mengatakan kinerja pasar saham memang terus membaik. Investor pun tampaknya bergairah lagi. Tapi fenomena ini belum menunjukkan bursa efek nasional sudah pulih. ”Masih jauh,” ujarnya saat ditemui Tempo di gedung Bursa Efek di Jakarta pekan lalu. Akhir pekan lalu, indeks saham Jakarta berada di level 1.462,745, separuh dari indeks tertinggi pada 9 Januari 2008 (2.830,263).

Direktur Utama Merrill Lynch Indonesia ini berusaha meyakinkan bahwa pasar modal Indonesia belum normal. Lily khawatir tanda-tanda perbaikan itu menjadi alasan bagi Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) untuk menetapkan aturan baru permodalan perusahaan efek. ”Aturan soal itu sedang dibahas dan dikaji bersama-sama dengan para pelaku pasar,” kata Kepala Biro Transaksi Lembaga Efek Bapepam Nurhaida kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.

Wasit pasar modal ini berencana merevisi peraturan V.D.5 tentang pemeliharaan dan pelaporan modal kerja bersih disesuaikan (MKBD). Aturan lama cuma memperhitungkan pengurang nilai efek (haircut) dengan nilai modal kerja minimum Rp 25 miliar. Formulasi modal kerja dalam aturan baru akan lebih ketat. Selain memperhitungkan haircut, formulanya memasukkan ranking liabilities (kewajiban kontijensi) dan beberapa risiko: pasar, likuiditas, dan operasional. Setiap sekuritas yang menjalankan kegiatan broker harus memiliki modal kerja minimum Rp 25 miliar atau 6,25 persen dari total kewajiban plus ranking liabilities.

Bapepam juga berencana menaikkan nilai modal kerja di atas Rp 25 miliar. Dua pekan lalu, kepada para jurnalis, Ketua Bapepam Fuad Rahmany menyebutkan akan menaikkan nilai modal kerja ini pada akhir 2009. Dengan langkah itu, dia memprediksi, jumlah perusahaan efek akan berkurang dari 120 menjadi setengahnya.

Di industri pasar saham, modal kerja bersih disesuaikan merupakan unsur penting bagi perusahaan efek. Modal kerja berjalan ini laiknya rasio kecukupan modal (CAR) di industri perbankan. Modal kerja dibutuhkan perusahaan efek untuk kegiatan operasional sehari-hari dan menopang likuiditas, misalnya saat melakukan jual-beli saham. Semakin tinggi modal kerja, semakin solid perusahaan efek itu.

Sumber Tempo mengungkapkan, revisi aturan modal kerja ini sudah digagas Bapepam sejak 2006. Rencana ini molor karena pembahasan dengan para pelaku pasar berjalan alot. Pada 2008, Bapepam kembali menggulirkan rencana itu. Pengawas bursa sudah mengedarkan consultation paper rencana revisi modal kerja ke semua pelaku pasar sebanyak tiga kali. Beberapa asosiasi di lingkungan pasar modal pun sudah memberikan tanggapan dan masukan. Saat ini, draf revisi aturan modal kerja sudah hampir final.

Bapepam, kata sang sumber, ingin merevisi aturan itu lantaran selama ini modal kerja para broker belum mencerminkan kondisi sesungguhnya. Beberapa transaksi, seperti transaksi margin, repurchase agreement (repo), dan derivatif, tak wajib dicatat dalam laporan keuangan (off balance sheet). Kegiatan penawaran umum (underwriting) dan belanja barang modal sami mawon. Padahal transaksi dan kegiatan itu sangat berisiko ketimbang yang dicatat dalam laporan keuangan. Dengan aturan baru, ranking liabilities dan transaksi off balance sheet akan diperhitungkan.

Sayangnya, dia melanjutkan, penerapan aturan baru modal kerja itu tampaknya akan terganjal lagi dan tak bisa diterapkan tahun ini. ”Banyak broker belum siap.” Seorang direktur perusahaan sekuritas lokal mengungkapkan, modal kerja perusahaan efek akan anjlok hampir separuhnya jika aturan baru diterapkan. Akibatnya, pemegang saham perusahaan efek harus menyetor tambahan duit puluhan miliar lagi agar modal kerja minimum Rp 25 miliar terpenuhi. Duit tunai yang harus disiapkan akan lebih besar lagi jika perusahaan itu melakukan transaksi berisiko tinggi, seperti repo.

Komisaris Utama BNI Securities Hindarmojo K. Hinuri berpendapat seharusnya sudah sejak dulu transaksi repo dimasukkan ke transaksi bursa. Jika mungkin, repo dikategorikan juga sebagai efek, seperti saham dan obligasi. ”Ini akan lebih bagus lagi. Lebih aman dan transparan bagi pelaku pasar,” katanya.

Lily mengakui formulasi yang memasukkan ranking liabilities sangat bagus karena akan membuat modal kerja lebih transparan. Kualitas industri sekuritas juga akan lebih sehat dan memberikan rasa aman bagi investor. Lantaran konsepnya baik, tak ada perusahaan efek yang menentangnya. ”Kami tidak mempermasalahkan konsepnya, tapi lebih pada persoalan teknis dan besarannya,” katanya.

Misalnya, kata dia, Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia mengusulkan obligasi subordinasi diperlakukan sebagai ekuitas sehingga bisa menambah modal kerja. Asosiasi juga ingin modal kerja sebesar 6,25 persen dari utang dihapuskan, karena nantinya total kewajiban yang sudah ditambah ranking liabilities tidak boleh melebihi 25 kali modal kerjanya.

Hindarmojo menambahkan, penghitungan modal kerja harus memperhitungkan counterparty (perusahaan efek lain). Walaupun Kliring Penjaminan Efek Indonesia menjamin transaksi di bursa efek, dalam kondisi tertentu sulit mengetahui kondisi perusahaan efek lain. ”Perusahaan efek lawan (penjual atau pembeli saham) bisa bayar enggak. Jadi ini dimasukkan sebagai risiko,” katanya.

Kendati tujuannya bagus, menurut Lily, perusahaan efek sulit menerapkan aturan baru modal kerja pada tahun ini karena kondisi pasar modal belum pulih. ”Terus terang, sekarang pun untuk memenuhi aturan lama, perusahaan efek kesulitan.”

Karena itu, dia meminta Bapepam menunda rencana revisi aturan modal kerja. Asosiasi juga, katanya, berkeberatan atas rencana Bapepam menaikkan modal kerja di atas Rp 25 miliar. Kenaikan modal kerja secara bertahap tak diperlukan lagi jika aturannya sudah diperketat dan mengadopsi semua risiko atas modal (risk based).

Direktur PT Erdikha Elit Sekuritas Tjiong Toni sepaham dengan Lily. Filosofi aturan modal kerja baru sangat bagus, meski masih butuh waktu untuk menerapkannya. ”Tapi untuk penambahan modal belum urgen,” ujarnya.

Krisis global memang berimbas ke pasar saham Indonesia. Harga saham berjatuhan. Indeks saham terjun bebas 51 persen dari 2.739,70 pada Desember 2007 menjadi 1.340,89 pada akhir 2008. Investor rugi puluhan triliun. Pasar modal pun melesu. Pasar saham nasional semakin tertekan karena puluhan perusahaan efek tersangkut kisruh repo Grup Bakrie. Tak sedikit di antara sekuritas ini yang menderita kerugian gede.

Seorang sumber Tempo di lingkungan pasar modal membisikkan, banyak perusahaan efek semakin berat kondisinya akibat lesunya pasar saham nasional yang diperparah oleh kisruh repo. Saat ini saja, sudah banyak perusahaan efek merumahkan karyawan, memotong gaji, serta menutup divisi usaha dan kantor cabang. ”Untuk bertahan hidup saja sulit, bagaimana bisa menambah modal kerja?” ujarnya.

Alhasil, tanda-tanda penundaan revisi aturan modal kerja perusahaan efek pun semakin terlihat terang. Terlebih lagi, Bapepam pun ternyata tak mematok target khusus. ”Tak ada target waktu penerapan aturan ini,” ujar Nurhaida.

Ketua Masyarakat Investor Sekuritas Indonesia N.D. Murdani menyesalkan sinyalemen ini. Justru saat krisislah, kata dia, waktu yang tepat bagi Bapepam dan perusahaan efek untuk memperbaiki kelemahan aturan-aturan lama. ”Nanti, saat pasar modal pulih, semuanya sudah siap,” ujarnya. Selain itu, Bapepam bisa menyeleksi perusahaan yang benar-benar bonafide. Tapi peluang itu agaknya dilewatkan begitu saja.

Padjar Iswara

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus