Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Andakah mitra strategis kami?” Begitu pertanyaan PT Pertamina (Persero) dalam iklannya di beberapa media cetak belum lama ini. Pariwara itu dibikin oleh Integrated Supply Chain alias ISC—unit baru di perusahaan minyak dan gas pelat merah ini—yang bertugas merencanakan sekaligus mengadakan minyak mentah dan bahan bakar minyak. Intinya, ISC membuka pintu bagi produsen, refiner, blender, dan trader minyak untuk mendaftar kembali.
Mereka—calon mitra—diminta menyampaikan dokumen yang meliputi aspek administrasi, bisnis, finansial, dan legal. Data akan diverifikasi dan dinilai oleh auditor independen. Batas waktunya 31 Maret ini. Nantinya, perusahaan yang lolos akan masuk Daftar Mitra Usaha Terseleksi dan akan diikutsertakan dalam semua kegiatan lelang pengadaan minyak yang dilakukan ISC.
Sederet perusahaan beken menyambut ajakan tersebut. Sumber Tempo mengungkapkan, perusahaan kelas dunia seperti Shell, Petronas, dan Chevron, juga perusahaan minyak nasional Kuwait, siap mendaftarkan diri. Mereka senang atas proses yang legal dan transparan. Sebab, selama ini mereka mengaku menghadapi kesulitan akses untuk bisa masuk Pertamina.
Tapi proses registrasi ulang tersebut kini tak jelas juntrungannya. Sebab, dua pekan lalu, Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan merombak ISC. Ia memangkas fungsi acting. Ke depan, ISC didapuk sebagai penyusun strategi atawa think tank, bekerja sama dengan Direktorat Pemasaran dan Niaga serta Direktorat Pengolahan. Selanjutnya, pengadaan minyak mentah dan bensin akan dilakukan Petral—Pertamina Trading Limited—anak perusahaan Pertamina yang berbasis di Singapura.
Sebelum ISC lahir, kata Sekretaris Perusahaan Pertamina Toharso, impor crude dilakukan Direktorat Pengolahan. Sedangkan impor produk jadi (solar dan bensin) dilakukan Direktorat Pemasaran dan Niaga. Merekalah yang menjalankan fungsi trader. Dua-tiga tahun sebelum itu, impor untuk kedua direktorat tersebut dilakukan Petral.
Proses pengadaan minyak dan produk bensin Pertamina selalu menjadi sorotan. Bisnis ini memang superstrategis, mengangkut dana ekstrajumbo. Bayangkan, pada 2007, misalnya, biaya pengadaan mencapai Rp 190 triliun, atau saban harinya sekitar Rp 528 miliar dibelanjakan Pertamina—sebagian di pasar spot Singapura. Banyak pihak yang mengatakan area ini rawan kebocoran.
Seorang sumber yang pernah menangani hal ini di Pertamina mengendus dana yang bocor mengalir ke kantong-kantong pejabat. ”Baunya tercium, tapi sulit dibuktikan,” katanya. Hal itulah yang mendorong Ari Soemarno, ketika menjabat sebagai Direktur Utama Pertamina, membentuk ISC, pada September 2008. Saat itu, baru terungkap kasus dugaan penyimpangan dalam pengadaan minyak Zatapi yang berpotensi merugikan negara Rp 400-an miliar.
Tujuannya penataan ulang proses perencanaan, penjagaan keamanan pasokan, optimasi suplai crude dan produk, serta akses ke pasar. Proses penyusunan lembaga dilakukan pada akhir 2007-2008. Ari optimistis proses pengadaan minyak mentah dan bahan bakar minyak akan lebih efisien dan transparan. Sebab, ISC menggabungkan fungsi yang sebelumnya terpisah di bawah kewenangan dua direktorat.
Untuk itu, Pertamina merekrut Bey Sohi, warga Singapura, mantan Manajer Senior BP untuk urusan trading and supply, guna merancang lembaga baru ini. Hasilnya dimatangkan oleh tim internal Pertamina dibantu McKinsey & Company, perusahaan konsultan manajemen global.
Satu lagi konsultan yang digandeng: Egon Zehnder International, untuk mencari kandidat kepala ISC. Perusahaan yang membuka cabang di lebih dari 35 negara ini dikenal sebagai spesialis head hunter. Ada beberapa kandidat eksekutif mancanegara. Tapi permintaan gajinya supermahal, mulai US$ 500 ribu hingga US$ 1 juta per tahun.
Seorang sumber mengatakan rata-rata salary orang yang mengurus trading minyak memang sebesar itu. Sebab, persoalan yang diurus dan risikonya sangat besar. Pertamina pun mengurungkan niat menjaring eksekutif bule. Ari Soemarno kemudian memberikan tongkat kepemimpinan kepada Sudirman Said, yang sebelumnya menjadi sekretaris korporat.
Menurut sumber Tempo, pembentukan lembaga baru tersebut telah disetujui Dewan Komisaris Pertamina melalui surat bernomor R-310/K/DK/2008 tertanggal 17 September 2008, dengan beberapa catatan. Komisaris Umar Said, misalnya, dalam surat bernomor 286/K/DK/2008, 2 September 2008, kepada Dewan Komisaris, memberikan dissenting opinion.
Muhammad Abduh, juga komisaris, mengatakan perlunya lembaga tersendiri untuk pengadaan minyak mentah dan bahan bakar minyak yang tidak berada di bawah direktur utama. Seperti Petral, ia mencontohkan, yang bertanggung jawab kepada pemegang saham melalui rapat umum pemegang saham.
Komisaris juga meminta pengadaan minyak mentah dan bahan bakar minyak optimal sesuai dengan keperluan domestik dan konfigurasi kilang. Sebanyak mungkin pengadaan dilakukan melalui kontrak jangka panjang langsung dengan produsen untuk menyederhanakan proses, mendapatkan harga yang bagus, dan menjamin pasokan.
Integrated Supply Chain efektif bekerja pada Januari 2009. Saat itu, tiga depo kritis karena kilang Balongan sedang dalam pemeliharaan. Stok premium pun dinaikkan. Targetnya 20 hari. Sebaliknya, stok minyak tanah, solar, dan avtur ”membanjir” sampai 30-an hari. Sumber Tempo membisikkan, hal itu terjadi karena permintaan pada Agustus 2008 turun. Krisis finansial rupanya mempengaruhi konsumsi bensin. Sedangkan Perusahaan Listrik Negara—konsumen terbesar—meningkatkan konversi penggunaan solar ke batu bara.
Celakanya, sumber itu menambahkan, sampai Oktober, belanja minyak terus dilakukan. Nah, begitu datang, pesanan tidak bisa dibongkar karena depo full. Kapal tanker pengangkut minyak pun ”telantar” mengapung di laut, ada yang sampai dua minggu, ada yang sebulan. Kabarnya, Pertamina sempat berencana menyewa kapal ekstrajumbo very large crude carrier atawa VLCC untuk menampung. Tapi urung, setelah ISC sukses menegosiasikan penundaan dan pembatalan pesanan. ”Kita terbebas dari denda dan kerugian,” kata sumber itu.
Divisi itu juga menggagas konsep baru: ada dealing room seperti di perbankan. Transaksi lelang harus dilakukan di dalam ruang tersebut dan semuanya direkam. Tapi rencana ini mandek di angan-angan. Kini ISC bertugas sebagai perencana saja. Restrukturisasi ISC, kata Karen kepada pers di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Kamis dua pekan lalu, dilakukan berdasarkan rekomendasi komisaris.
Maizar mengatakan tidak ada restrukturisasi fundamental. ISC tetap diarahkan sesuai dengan konsep awal, yakni merencanakan pengadaan minyak Pertamina. Toharso menambahkan, restrukturisasi dilakukan supaya efisien dan efektif. Sebab, ada peran ISC dan Petral yang bersinggungan, yakni peran trader. Maka keduanya disinergikan.
Rupanya, pemegang saham tak tahu-menahu soal itu. Kamis dua pekan lalu juga, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Sofyan Djalil memanggil Karen. Menurut Sofyan, kebijakan tersebut sepenuhnya keputusan manajemen Pertamina. ”Saya menerima laporan setelah terjadi.”
Sudirman Said, komandan perdana ISC, tak bersedia berkomentar banyak. Ia hanya mengatakan telah mengembalikan jabatannya kepada direktur utama, dua pekan lalu, setelah menerima surat keputusan pencopotan dirinya. Bersama Sudirman, Vice President ISC untuk Pengadaan, Penjualan, dan Analisis Pasar Daniel S. Purba juga diganti. Seakan seperti sebuah urut-urutan, Direktur Utama Petral John Sunarmo pun segera diganti.
Anggota Komisi Energi dan Sumber Daya Mineral Dewan Perwakilan Rakyat, Tjatur Sapto Edy, mengatakan yang esensi bukan pemangkasan kewenangan ISC. Persoalannya, Pertamina tidak punya blue print untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan hilir migas, terutama dalam pengadaan crude dan bahan bakar minyak. Akibatnya, semua bergantung pada direktur utama.
”Ibarat pilot pesawat terbang, mau didaratkan di mana Pertamina, itu terserah dia. Ini tidak sehat untuk perkembangan perusahaan migas negara.” Mestinya rel Pertamina kuat, sehingga siapa pun yang duduk sebagai direktur utama akan menuju titik yang sama, yakni good corporate governance. ”Kalau begini caranya, nanti Bu Karen selesai, Dirut baru bisa menghidupkannya lagi.”
Pengamat perminyakan Kurtubi mengatakan, seandainya belajar dari pengalaman pahit masa lalu, Pertamina tidak akan menyerahkan pengadaan minyak ke Petral. Perusahaan ini kerap dijadikan tempat ngumpulin duit kelompok elite tertentu. Efisiensi, Kurtubi menambahkan, mestinya dilakukan dengan memperbanyak kontrak bisnis dengan produsen, bukan dengan trader, yang harganya lebih mahal. ”Kalau perlu, Dirut ’kongko-kongko’-nya dengan produsen, bukan dengan trader.”
Langkah yang disarankan Kurtubi inilah yang sebetulnya juga sudah dilakukan ISC dalam umurnya yang cuma tiga bulan itu. Sumber Tempo mengungkapkan, mereka sudah menjalin kontak dengan sejumlah perusahaan minyak dan negara produsen minyak, seperti Libya dan Kuwait. ”Cara ini memang lebih menguntungkan kedua belah pihak dibanding lewat broker,” katanya. Penghematan yang dilakukan ISC dalam tiga bulan itu mencapai US$ 3,9 juta. Sebetulnya, ISC sudah berencana mengurangi porsi pengadaan melalui trader ini dari 35 persen menjadi di bawah 25 persen.
Kini semua pengadaan itu akan dilakukan Petral. Berbeda dengan Kurtubi, Toharso tentu tak pesimistis terhadap Petral. Sebab, menurut dia, semua ada prosedurnya. Proses pengadaan juga dilakukan terbuka. Dan orang dapat dengan mudah mengakses harga, untuk mengontrol apakah harga lelang Petral kemahalan atau tidak. ISC, kata Toharso, juga akan mengontrol harga dan volume pengadaan.
Persoalannya, tak ada jaminan tradisi transparansi yang sedang dibangun ISC, seperti melalui iklan di media, akan berlanjut. Malah proses registrasi ulang calon partner, yang ditutup akhir Maret ini, tak jelas nasibnya. Wassalam juga untuk daftar mitra yang mestinya diumumkan Mei nanti.
Retno Sulistyowati, Amandra Megarani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo