Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hingga akhir pekan lalu, raksasa asuransi Amerika, American International Group (AIG), jadi bulan-bulanan publik. Masyarakat Amerika marah gara-gara perusahaan itu membagikan bonus US$ 165 juta atau sekitar Rp 1,9 triliun kepada para eksekutifnya.
Saking jengkelnya, Michael Kazim, profesor sejarah di Universitas Georgetown, menyebut para eksekutif AIG ”orang besar” yang mencoba merebut negara dari tangan rakyat. ”Ini negara Anda,” tulis Kazim di Newsweek edisi pekan lalu. ”Jangan biarkan orang-orang besar merebutnya dari tangan Anda.”
Bonus besar bagi para eksekutif sebenarnya bukan hal baru di Amerika. Chief Executive Officer Ford Motor Company Alan Mulally, menurut The Wall Street Journal, pada 2007 menerima bayaran tambahan hingga US$ 21,67 juta (Rp 253,5 miliar). Padahal pada tahun itu perusahaan merugi US$ 2,72 miliar.
Nah, AIG dipersoalkan karena perusahaan publik itu tahun lalu nyaris bangkrut. Perusahaan itu masih ada lantaran pemerintah Amerika menyuntikkan dana TARP—pinjaman untuk membersihkan aset-aset bermasalah—US$ 170 miliar. Ini bagian dari program bailout senilai US$ 700 miliar.
Bonus itu kian menohok karena para pembayar pajak yang uangnya dipakai AIG kini sedang susah. Data Bureau of Labor Statistics Amerika menunjukkan, dalam empat bulan terakhir 2,6 juta pekerjaan raib. Angka pengangguran melonjak hingga 8,1 persen dari 6,7 persen pada Desember lalu—tertinggi dalam 25 tahun terakhir, dan mungkin akan terus bertambah.
Presiden Barack Obama pun marah bukan main. ”Tak ada maaf bagi yang memperkaya diri dengan uang pembayar pajak. Para bankir dan eksekutif di Wall Street harus tahu itu,” katanya awal pekan lalu. Dia mencap eksekutif perusahaan itu sembrono dan rakus.
Tapi kepada anggota DPR Amerika, Edward Liddy, yang baru enam bulan memimpin AIG, mengatakan bahwa mereka tidak punya pilihan. Bonus untuk 200-an eksekutif divisi produk keuangan itu merupakan konsekuensi dari perjanjian kerja yang dibuat manajemen sebelumnya.
Alasan lain, kata Liddy, meski divisi itu menjadi penyebab goyahnya AIG—tahun lalu portofolio divisi ini jatuh lebih dari US$ 1 triliun—ia tetap unit terpenting. ”Portofolio mereka masih sangat besar, US$ 1,6 triliun, dan masih mengandung risiko,” katanya. Perusahaan khawatir, jika bonus tak diberikan, para eksekutifnya akan mengundurkan diri dan divisi itu bisa rontok.
Meskipun demikian, banyak kalangan yang menganggap kekhawatiran Liddy berlebihan. ”Para eksekutif AIG harus meminta maaf kepada masyarakat Amerika dan melakukan hal berikut: mundur atau harakiri,” kata senator Iowa, Charles Grassley.
Grassley meminta para eksekutif perusahaan di Amerika mencontoh Jepang. Sejak krisis merebak pertengahan tahun lalu, eksekutif perusahaan di Negeri Sakura rame-rame merelakan gajinya dipotong. Presiden Japan Airlines Haruka Nishimatsu, misalnya, kini naik bus kota pulang-pergi ke kantor. Setiap hari dia antre bersama pegawai lain untuk membeli makan siang di kafetaria kantor.
Riset harian ekonomi Nikkei menunjukkan, lebih dari 200 pimpinan perusahaan di Jepang secara sukarela memotong gajinya sejak setahun lalu. Beberapa dari mereka malah memutuskan tidak menerima gaji hingga krisis berlalu, di antaranya Yukio Sakamoto, Presiden Elpida Memory, yang memproduksi cip komputer. Toyota Motor juga menghapus bonus eksekutif tahun ini.
Edward Liddy memang mengatakan bahwa dia telah mengimbau para penerima bonus di atas US$ 100 ribu mengembalikan uang tersebut, paling tidak setengahnya. ”Banyak yang sudah bersedia, bahkan mereka ingin mengembalikan seluruhnya,” kata dia. Para wakil rakyat Amerika tak puas dengan janji itu. Apalagi pembagian bonus eksekutif ternyata juga dilakukan beberapa perusahaan penerima dana bailout seperti Citigroup, Merrill Lynch, dan Fannie Mae.
Karena itu, DPR Amerika telah meloloskan rancangan undang-undang untuk memajaki bonus eksekutif perusahaan penerima bail out hingga 90 persen. Senat rencananya akan membahas soal pajak ini pada Senin pekan depan. ”Rancangan undang-undang yang telah kami loloskan punya tujuan yang sangat baik. Sepertinya Senat juga akan menyetujuinya,” kata Ketua PDR, Nancy Pelosi.
Philipus Parera (New York Times, Bloomberg, Time)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo