Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font face=arial size=1 color=brown><B>Perikanan</B></font><BR />Menjaga Kantong Tetap Aman

Program revitalisasi tambak udang bekas Dipasena sementara dihentikan. Terimbas krisis finansial global.

30 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JATMIKO cuma bisa termangu. Rencana petambak plasma PT Aruna Wijaya Sakti itu menebar benih udang di awal bulan ini berantakan. Pekerjaan ini urung dilakukan gara-gara revitalisasi di area tambak bekas milik pengusaha Sjamsul Nursalim itu terhenti sejak Januari lalu. Tambak garapan Jatmiko kini kering dan mulai ditumbuhi rumput liar. ”Air cepat surut karena tambak bocor,” kata pria 43 tahun yang mendiami Blok 2, Kampung Bumi Dipasena Utama, Lampung, itu pekan lalu.

Puluhan ekskavator yang lima bulan lalu didatangkan untuk mengeruk lumpur kini teronggok di belakang kantor Aruna Wijaya Sakti. Perusahaan itu, kata Wakil Ketua Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu PT Aruna, Thowilun, praktis menghentikan seluruh aktivitas. Satu-satunya yang beroperasi hanya ekskavator di Blok 3.

Padahal, menurut perjanjian kerja sama yang ditandatangani Desember dua tahun lalu, revitalisasi mencakup 16 blok di delapan desa seluas 16.250 hektare. Program itu ditargetkan kelar pertengahan tahun ini. Namun, hingga akhir Desember lalu, pekerjaan baru menyentuh Blok 3 Desa Dipasena Utama. Perbaikan di blok itu pun, kata Thowilun, baru setengah jalan.

Adalah PT Central Proteinaprima Tbk. yang bertanggung jawab atas keberlangsungan revitalisasi setelah perusahaan itu menjadi pemilik baru Dipasena, Mei dua tahun lalu. Melalui konsorsium Neptune, Central Proteinaprima terpilih dalam tender terbuka yang diadakan PT Perusahaan Pengelola Aset. Central Proteinaprima kemudian mengubah nama PT Dipasena Citra Darmaja—bekas anak perusahaan Gadjah Tunggal Group milik Sjamsul—menjadi PT Aruna Wijaya Sakti.

Konsorsium Neptune menjadi pemenang setelah menyodorkan harga penawaran Rp 688 miliar. Sisanya yang Rp 1,7 triliun akan disetor ke dalam rekening penampungan untuk merevitalisasi plasma dan perusahaan inti. Plasma berhak atas modal kerja serta perbaikan saluran air dan sarana umum. Uang sebesar itu juga digunakan untuk memperbaiki operasionalisasi dan membayar utang perusahaan.

Harapannya, revitalisasi tambak udang terbesar di Asia Tenggara itu bisa menambah jumlah tambak milik Central Proteinaprima. Sebelum mengakuisisi Dipasena, perusahaan ini sudah memiliki 8.200 hektare tambak udang. Seluas 4.700 hektare tambak berada di area Wahyuni Mandira, anak usaha Central Proteinaprima, di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Sisanya berada di area Central Pertiwi Bahari, anak usaha Central Proteinaprima lainnya.

Bila revitalisasi mulus, perseroan itu akan memiliki 14 ribu hektare tambak pada akhir tahun ini. Targetnya, produksi udang Central Proteinaprima akan melonjak dari 57 ribu metrik ton (sebelum akuisisi Dipasena) menjadi lebih dari 200 ribu metrik ton pada 2010. Gunawan Taslim, Direktur Keuangan Central Proteinaprima, kepada juru warta pernah mengatakan pendanaan revitalisasi itu dihimpun dari hasil penjualan aset perusahaan pakan unggas di Semarang senilai Rp 108 miliar dan pembangkit listrik bernilai Rp 900 miliar.

Kenyataannya, revitalisasi tidak semulus seperti yang diharapkan. Kondisi sebagian besar blok lebih parah daripada Blok 3 yang sudah dikerjakan PT Aruna. Di Blok 14, misalnya, puluhan tambak kini musnah dan menyatu dengan kanal karena tergerus abrasi. Ratusan tambak yang berdampingan dengan sabuk hijau (green belt) terancam direlokasi. Dari penelusuran Tempo, sabuk hijau sepanjang 16 kilometer dengan lebar 500 meter itu rusak parah. Sabuk itu berfungsi menahan terjangan air laut.

Rumput liar tumbuh di sekitar tambak dan gudang pakan. Jembatan masih dalam keadaan rusak. Sedangkan pengerukan kanal dan saluran air hanya sedalam 1,5 meter. Menurut Thowilun, kedalaman normal saluran air masuk dan keluar mestinya paling sedikit dua meter.

Para petambak juga merasa terjebak segunung utang. Selain masih harus membayar Rp 20 juta sisa utang di era Sjamsul Nursalim, setiap petambak harus melunasi pinjaman Rp 900 ribu per bulan, yang diberikan untuk biaya hidup plasma. ”Utang itu akan terus bertambah jika tambak belum juga beroperasi,” kata Thowilun.

Ratusan karyawan PT Aruna, kata dia, kini dikerahkan untuk menanam jagung di lahan seluas 20 hektare yang berada di sisi kanal. Sebagian besar petambak kini memilih menjadi nelayan dan mencari ikan di sekitar tambak. Petambak juga merasa harga pakan, obat, dan kebutuhan budi daya ditentukan sepihak. Aliran listrik hanya nyetrum 12 jam. Hanya Blok 3 yang menyala 24 jam.

Karut-marut ini membuat petambak mulai ragu terhadap kemampuan Central Proteinaprima mengelola kemitraan. ”Mereka hanya bernafsu besar tapi tenaga kurang,” kata Mulyadi Zak, Koordinator Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Organisasi Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu PT Aruna.

Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu Dipasena juga mengirim surat ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono awal Februari lalu. Isinya melaporkan dan mempertanyakan janji revitalisasi yang didengung-dengungkan dalam program seratus hari pemerintahan Yudhoyono.

Mulyadi khawatir peristiwa 1998 terulang jika pemerintah tidak segera menyelesaikan persoalan ini. Ketika itu, ribuan petambak plasma mengamuk dan merusak aset perusahaan. Seorang petambak dan dua anggota Brigade Mobil Kepolisian Indonesia meninggal dalam peristiwa itu. Sjamsul Nursalim, yang sempat dikepung massa, selamat.

Thowilun mendesak perusahaan inti segera menggelar pertemuan. ”Kami menuntut perusahaan menepati janji revitalisasi,” katanya. Central Proteinaprima, kata dia, tidak bisa beralasan, gara-gara krisis finansial global, revitalisasi seketika dihentikan. Terbengkalainya revitalisasi itu, menurut dia, terjadi karena perusahaan terlalu berpusat pada satu blok saja. Petambak menilai semestinya perusahaan memprioritaskan pengerukan saluran air masuk-keluar tambak, sehingga petambak bisa melakukan budi daya mandiri.

Perseroan memang punya itung-itungan sendiri. Menurut Fajar Reksoprodjo, Corporate Communications Manager PT Central Proteinaprima, krisis ekonomi global membuat perusahaan menerapkan prinsip manajemen keuangan lebih hati-hati. Itu sebabnya revitalisasi sementara dihentikan. Program itu, kata dia, suatu saat pasti kembali dilanjutkan. Kapan itu dilakukan, ia tidak bisa memastikannya. ”Kami tidak tahu kondisi ekonomi ke depan seperti apa,” katanya.

Prinsip kehati-hatian ini, menurut dia, untuk menjaga cadangan arus kas perusahaan. ”Ini untuk menjaga 250 ribu jiwa yang hidupnya bergantung pada perseroan,” ujarnya. Itu sebabnya Central Proteinaprima dalam paparan publiknya memotong belanja modal dari Rp 500 miliar menjadi Rp 400 miliar. Sedangkan program revitalisasi itu, kata dia, selama ini mengeruk dana dari belanja modal perusahaan.

Komitmen kepada plasma, kata Fajar, juga selalu dipenuhi perusahaan. ”Karena situasi krisis, cicilan tidak kami tagih,” ujarnya. Dan dana Rp 900 ribu per bulan itu, menurut dia, bukan pinjaman, melainkan tunjangan buat plasma. Fajar mengatakan harga pakan yang ditengarai kelewat mahal juga sudah masuk poin yang diteken dalam perjanjian.

Ia meminta petambak tidak meragukan niat perusahaan merevitalisasi Aruna Wijaya. Buktinya, Central Proteinaprima berhasil merevitalisasi area tambak Wahyuni Mandira, akhir Desember 2007. ”Revitalisasi Aruna Wijaya kami jadwal ulang,” katanya.

Soal pembatasan pemakaian listrik diakui Fajar. ”Kami harus serba berhemat,” katanya. Adapun penanaman jagung oleh petambak dilakukan untuk memberdayakan lahan kosong dan sumber daya yang ada di tengah keterbatasan ekonomi. ”Jagung yang ditanam petambak itu kemudian dibeli perusahaan sebagai bahan baku pakan,” katanya.

Made L. Nurjana, Direktur Jenderal Perikanan Budi Daya Departemen Kelautan dan Perikanan, mengatakan persoalan pembiayaan revitalisasi itu sudah bukan lagi kewenangan pemerintah. ”Tapi, karena ini melibatkan ribuan petambak, pemerintah akan mempelajari persoalan itu,” katanya. Ia sendiri belum menerima laporan resmi soal macetnya revitalisasi itu. Ia berpendapat revitalisasi harus dituntaskan karena tren harga udang di pasar dunia meningkat.

Analis Samuel Sekuritas, Ike Rahmawati, dalam risetnya menyebutkan tertundanya revitalisasi bisa menurunkan penjualan perseroan pada 2009 sebesar 5-10 persen. Hingga September 2008, penjualan perseroan Rp 5,7 triliun. Tapi laba bersihnya turun 35 persen karena beban operasional meningkat 61 persen. Mestinya, jika digarap serius, tambak ini bisa mendongkrak kinerja Central Proteinaprima.

Yandhrie Arvian, Nurochman Arrazie (Tulang Bawang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus