Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font face=arial size=1 color=brown><B>Pariwisata</B></font><BR >Jeda Properti Bali Selatan

Proyek akomodasi wisata di Bali selatan dihentikan hingga 2015. Demi menutup ketimpangan.

7 Maret 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SATU agenda mustahak bakal mengubah nasib bukit gersang di kawasan Jimbaran, Kabupaten Badung, Bali. Tanah berpadang rumput dan pepohonan itu akan bersalin rupa menjadi hotel mewah, restoran, dan galeri seni. Pas buat tetirah para pesohor dan hartawan.

Di lahan seluas 250 hektare itulah Bali International Park, convention center terbesar di Asia Tenggara, akan dibangun. Pada 2013, area ini bakal menjadi persinggahan 21 kepala negara peserta forum Asia Pacific Economic Cooperation (APEC). Nilai investasi proyeknya lumayan jumbo, US$ 280 juta atau sekitar Rp 2,6 triliun. ”Murni pendanaan swasta,” kata Komisaris PT Jimbaran Hijau, pengembang Bali International Park, Frans Bambang Siswanto, kepada Tempo di Bali pekan lalu.

Bali International Park segera digarap demi mengejar target Agustus 2013. Sayangnya, rencana itu terancam gagal. Penyebabnya, pemerintah Bali menerbitkan aturan moratorium atau penghentian pembangunan properti dan fasilitas wisata di wilayah Bali selatan, termasuk Jimbaran.

Perintah jeda pembangunan properti berlaku mulai 5 Januari lalu, dan berakhir pada 2015. Bali International Park kena getahnya. Pemerintah Kabupaten Badung menyetop rencana pembangunan proyeknya. ”Mereka sudah melakukan presentasi, tapi izinnya kami tunda,” ujar Kepala Biro Hubungan Masyarakat Pemda Badung, Wayan Weda Darmaja, Rabu pekan lalu.

Bagi Pulau Dewata, pembangunan properti buat keperluan sektor pariwisata kini jadi perkara pelik. Pasalnya, investasi besar, hotel dan restoran, hanya menumpuk di daerah selatan, seperti Denpasar, Gianyar, dan Badung. Tercatat dari total investasi senilai Rp 5,6 triliun pada 2010, lebih dari dua per tiganya terkonsentrasi di kawasan ini. Tiga wilayah itu memang memiliki obyek wisata kelas dunia, semisal Pantai Kuta, Sanur, Tanah Lot, dan Istana Tampak Siring. Masalahnya sekarang wilayah selatan menanggung beban tata ruang, seperti kemacetan, kepadatan penduduk, dan melonjaknya kebutuhan air bersih.

Pada akhir 2010, Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata melakukan penelitian. Tercatat jumlah kamar hotel, vila, dan pondok wisata mencapai 55 ribu unit atau tumbuh 19 persen dari tahun sebelumnya. Dari jumlah itu, 50 ribu unit di antaranya ada di kawasan selatan. Badung 36 ribu kamar, Denpasar 10 ribu kamar, dan Gianyar 4.000 kamar. ”Wilayah selatan memang sudah penuh,” kata Direktur Jenderal Pengembangan Destinasi Wisata Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Firmansyah Rahim di Jakarta pekan lalu.

Bagi pemerintah Bali, padatnya bagian selatan jadi peluang untuk mengalihkan investasi pariwisata ke kawasan Bali utara dan barat, yang relatif sepi properti besar. Wilayah utara dan barat punya obyek wisata tak kalah aduhai. Sebut saja Pantai Lovina dan Taman Nasional Bali Barat. ”Moratorium di selatan diperlukan demi pemerataan dan keseimbangan Bali,” ujar Gubernur Bali Made Mangku Pastika.

Sayangnya, niat baik memeratakan pembangunan menimbulkan kontroversi. Sikap pelaku industri pariwisata terbelah. Asosiasi Biro Perjalanan Wisata (Asita) Bali mendukung moratorium. Koordinator Asita Bali dan Nusa Tenggara Bagus Sudibya mengatakan tingkat hunian hotel di Bali hanya 49 hingga 52 persen. Tingkat okupansi kamar hotel idealnya 75 persen. ”Kelebihan pasokan kamar bisa menimbulkan persaingan tak sehat,” ujarnya.

Sebaliknya, Sekretaris Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Bali Perry Markus cemas dengan moratorium. Penyebabnya, di wilayah utara dan barat jalan dan listrik belum memadai. Pembangunan hotel akan mubazir bila ketersediaan infrastruktur transportasi dan energi minim. ”Seharusnya infrastruktur itu dulu dibangun, sebelum moratorium dilaksanakan,” ujarnya.

Bupati Gianyar Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati juga pusing tujuh keliling. Banyak investor mengancam akan hengkang dan memindahkan proyeknya ke Lombok, Nusa Tenggara Barat. Padahal, kata dia, di Bali selatan masih banyak lokasi wisata potensial yang belum tergarap maksimal. ”Jangan sampai moratorium malah merugikan potensi daerah,” kata dia.

Fery Firmansyah, Rofiqi Hasan,I Wayan Agus Purnomo (Bali)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus