Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika terjadi keributan soal naiknya pajak film impor di Indonesia, beberapa orang perfilman mencoba membandingkannya dengan Thailand. Ketua Badan Pertimbangan dan Perfilman Nasional Deddy Mizwar, misalnya, membandingkan masalah pembenahan perpajakan film ini dengan Thailand.
Menurut Deddy, Thailand memberlakukan pajak per meter film impor 30 baht atau US$ 1 per meter. Bila satu kopi film panjangnya 3.000 meter, pajaknya US$ 3.000. Bila satu judul film rata-rata diperbanyak 50 kopi, tiap judul akan dikenai pajak US$ 150 ribu atau sekitar Rp 1,5 miliar. ”Jumlah ini tidak berat jika disandingkan dengan pendapatan film yang berkali lipat, seperti Avatar,” kata Deddy.
Tapi melihat perkembangan perfilman Thailand tak bisa dari sekadar besaran pajaknya. Menurut Patsorn Sungsri, dosen Rajamangala University of Technology Thanyaburi, Pathumtani, Thailand, perfilman di negerinya dipengaruhi setidaknya oleh kerajaan, pemerintah, serta perusahaan film lokal dan film asing. Hal ini dipaparkannya dalam Thai Cinema as National Cinema: An Evaluative History, tesis yang disusunnya di Murdoch University pada 2004.
Industri film di sana dimulai berkat peran besar kerajaan. Raja Pradjadhipok, yang berkuasa selama 1925-1935, adalah pencinta film, baik sebagai penonton maupun pembuat film. Pada 1930, dia mendirikan dan menaja Amateur Cinema Association of Siam (ACAS). Pada tahun yang sama, Amateur Cinema League Inc. di New York mengangkatnya sebagai anggota kehormatan. Ini menunjukkan hubungan yang baik antara monarki dan studio film Amerika. Maka, ketika Pradjadhipok mendirikan perusahaan film Saha Cinema Company, perusahaan itu jadi importir utama film Hollywood. Adapun kegiatan ACAS termasuk memutar film tentang keluarga kerajaan dan menjual peralatan film.
Selama resesi 1920-an, banyak pejabat pemerintah yang diberhentikan. Sebagian kemudian terjun ke bisnis film. Misalkan Loung Sunthorn Asawaraj, pejabat bagian Drama Kerajaan, mendirikan The Siamese Film Co. Bangkok. Long Kon Kan Jean Jit, juru kamera kerajaan selama kekuasaan Raja Vajiravudh, jadi tokoh penting dalam Bangkok Film Company. ”Jadi produksi film Thailand dimulai oleh para pejabat pemerintah yang punya latar belakang pembuatan film. Di luar itu, para pengusaha lokal juga membangun bisnis film,” tulis Patsorn.
Pada 1930, Pradjadhipok membangun Sala Chalerm Krung, bioskop modern dan besar di Bangkok. Dua tahun kemudian, Saha Cinema Company mengambil alih Siam Film Company dan Queen Theatre Company. Praktis perusahaan milik Raja memonopoli bisnis film untuk impor, distribusi, dan pemutaran film di Negeri Gajah Putih.
Setelah monarki absolut jatuh pada 1932, pemerintahan konstitusional menggantikan peran kerajaan dalam bisnis film, khususnya pembuatan film-film propaganda. Meski demikian, sebagian keluarga kerajaan dan kelas menengah terus menjalankan bisnis filmnya. Raja Bhumibol, yang naik takhta pada 1951, menjadi patron bagi industri film Thailand sejak 1960-an. Sang Raja memberikan penghargaan dan menghadiri pemutaran film perdana.
Thailand memang pernah menaikkan pajak impor film hingga membuat berang Hollywood. Pada 1977, pemerintah Thailand di bawah Perdana Menteri Thanin Kraivichien mengeluarkan tiga dekrit untuk mendorong bisnis film lokal. Pertama, pajak impor film dinaikkan dari US$ 0,11 per meter menjadi US$ 1,5 per meter. Kedua, menghapus bea masuk 7 persen, tapi mengenakan pajak impor film berdasarkan nilai barangnya. Ketiga, menurunkan pungutan dari 50 persen menjadi 40 dan 10 persen, bergantung pada harga tiket.
Hal ini membuat Motion Picture Export Association of America memboikot ekspor film Hollywood ke Thailand. Tapi mereka kemudian mencabut boikot itu pada Mei 1981 dan meneruskan ekspor filmnya ke sana. Selama masa itu, film-film Amerika mendominasi bioskop-bioskop Thailand. Ketika masa boikot berlangsung dan film Hollywood menjadi langka, layar kosong bioskop jadi peluang besar bagi para produsen film lokal dan memang jumlah film Thailand pun bertambah. Pada masa sebelum 1976, angka tertinggi produksi film lokal per tahun hanya 91 film.
Setelah boikot terjadi, film lokal beredar sebanyak 115 film pada 1977 dan melonjak jadi 161 pada 1978. Hingga 1989 produksi film Thailand per tahun selalu di atas angka 100. Sebaliknya, film baru Hollywood yang beredar rata-rata 90 judul per tahun dan bahkan sama sekali kosong pada 1984 dan 1986.
Namun musim panen perfilman lokal ini tidak lama. Menurut Patsorn Sungsri, pada 1992 pemerintah Amerika di bawah Bill Clinton menekan Thailand untuk menurunkan pajak film impornya, dari 30 baht per meter menjadi 10 baht per meter, sebagai timbal balik dari Sistem Preferensi Umum (perlakuan khusus komoditas tertentu di luar aturan umum WTO) untuk komoditas Thailand, khususnya tekstil.
Perdana Menteri Thailand Chuan Leekpai mematuhinya, dan akibatnya jumlah film Hollywood yang beredar mencapai lebih dari 100 judul per tahun. Sebaliknya, produksi film Negeri Seribu Pagoda pun anjlok, hingga hanya 9 film yang dirilis pada 1999. Pendapatan film Thailand juga menurun drastis, dari 18,94 persen pada 1996 menjadi 5,8 persen pada 1998. Adapun pendapatan film Barat terus naik dan menguasai pasar, dari 75,95 persen pada 1996 menjadi 90,08 persen pada 1998.
Tapi pada era 1990-an muncul gejala baru lahirnya sineas-sineas baru dalam industri perfilman Thailand, seperti Nonzee Nimibuth, Wisit Sasanatieng, Yongyooth Thongkonthun, dan Pen-Ek Ratanareung. Mereka tak hanya menghasilkan film yang laris, tapi juga meraih penghargaan di festival internasional.
Menurut catatan Patsorn, misalkan film 2499 Antapan Klong Moung karya sutradara Nonzee Nimibuth mampu mengeruk 75 juta baht dari tiket dan memenangi Grand Prix Award dalam Festival International du Film Independence pada 1997 di Belgia. Nang Nak, karya lain Nonzee, meraup 150 juta baht, melampaui pendapatan film Hollywood, Jurassic Park, yang cuma 78 juta baht. Nang Nak juga memenangi film terbaik dan sutradara terbaik pada Asia-Pacific Film Festival 1999. Fun Bar Karaoke karya Pen-Ek Ratanareung hanya menghasilkan 5 juta baht, tapi mendapat Hadiah Khusus Juri untuk Tiga Benua di Nantes, Prancis, pada 1998.
Terakhir, kita tahu, Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Lives karya Apichatpong Weerasethakul mendapat Palme d’Or, penghargaan tertinggi Festival Film Cannes tahun lalu.
Kurniawan, Aguslia Hidayah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo