Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TUJUH pria kulit putih memasuki gedung utama kantor pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Rawamangun, Jakarta Timur, Jumat dua pekan lalu. Tiga di antaranya wakil dari asosiasi industri film Amerika Serikat (Motion Picture Association of America/MPA). Lainnya produsen film Walt Disney Studios Motion Pictures, Sony Pictures Entertainment Inc., Twentieth Century Fox Film Corporation, dan Warner Bros Entertainment Inc.
Tamu-tamu itu rupanya hendak bertemu dengan Direktur Teknis Kepabeanan Heri Kristiono. Heri mengundang para juragan film itu membahas rencana tambahan pungutan bea masuk dan pajak bagi film impor. Dalam pertemuan di gedung Kementerian Keuangan sehari sebelumnya, mereka protes. ”Ketimbang berdebat di sana, saya suruh mereka ke kantor,” kata Heri kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.
Usai ibadah Jumat, rapat digelar. Bersama timnya, Heri diberondong pertanyaan tentang aturan main perpajakan dan kepabeanan. Tetamu berkeras bahwa bea atas royalti (bagi hasil) yang dibayar importir dari hasil pemutaran film asing itu tak lazim di dunia internasional.
Sebaliknya Heri berkukuh aturan ini sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan dan aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Dua jam berdebat, tak ada kesepakatan. Eh, ujung-ujungnya salah satu dari mereka mengancam. ”Ada kemungkinan kami menyetop distribusi film ke Indonesia,” ujar Heri menirukan.
Di luar Rawamangun, kabar boikot film asing sudah ramai. Isu panas beredar di jejaring sosial, setelah Noorca M. Massardi, juru bicara 21 Cineplex—salah satu jaringan bioskop terbesar di Indonesia—menulis di salah satu media online. Noorca menyatakan Motion Picture Association tak akan lagi mendistribusikan filmnya di Indonesia.
Film baru yang sudah masuk tak akan ditayangkan, sedangkan yang telanjur tayang sewaktu-waktu bisa dicabut. Semuanya, tulis Noorca, lantaran ada perbedaan persepsi mengenai pungutan bea masuk hak distribusi film. ”Itu tidak lazim,” kata Noorca kepada Kodrat Setiawan dari Tempo, Jumat dua pekan lalu.
RABU sore, 10 Februari 2010. Dua jam lebih menunggu, Deddy Mizwar, Rudy Sanyoto, dan Ukus Kuswara akhirnya diperbolehkan menemui Anggito Abimanyu—saat itu Kepala Badan Kebijakan Fiskal—di Kementerian Keuangan. Mereka rombongan dari Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N). Deddy yang juga aktor kawakan menjabat ketua, Rudy wakilnya, dan Ukus sekretaris, yang juga Direktur Perfilman Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Deddy Mizwar dan kawan-kawan menyodorkan hasil kajian BP2N kepada Anggito. Kajian itu menunjukkan pajak produksi film nasional jauh lebih tinggi ketimbang film impor. Perbandingannya bisa lima kali lipat lebih.
Menurut Rudy, selama ini importir tak memasukkan nilai royalti yang disetorkan ke produsen film asing. Akibatnya, bea masuk maupun perpajakan dalam rangka impor lain sangat rendah. Jika perhitungan nilai royalti dihitung secara benar, kewajiban bea masuk film impor bisa sepuluh kali lipat dari yang selama ini dibayar importir.
Sejak itu Badan Pertimbangan Perfilman Nasional intensif menanyakan respons pemerintah atas hasil kajian tadi. Sukses. Empat bulan kemudian Badan Kebijakan Fiskal menyurati Direktorat Jenderal Bea dan Cukai agar nilai pabean film impor ditetapkan sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan. Tak butuh waktu lama, Juli tahun lalu, Bea-Cukai menggeber audit kepatuhan penerapan bea masuk impor film periode 2008-2010.
PT Camila Internusa Film, salah satu importir dan distributor film di bawah bendera Grup 21, bolak-balik dipanggil ke Rawamangun. ”Sudah kami serahkan semua data, tidak ada yang ditutup-tutupi,” kata T.R. Anitio, salah satu bos Camila.
Akhir tahun lalu audit tuntas. Dari pemeriksaan diketahui bahwa proses bisnis impor film bermula dari importir membeli hak edar dari studio film—produsen film di luar negeri, misalnya di Hollywood. Lalu studio meminta laboratorium mencetak filmnya buat importir.
Cetakan film dikirim ke Indonesia dengan harga US$ 0,43 per meter—rata-rata satu rol film panjangnya 3.000 meter. Harga pembelian cetak film ini diklaim importir sebagai nilai barang yang akan kena bea masuk 10 persen, pajak pertambahan nilai impor barang 10 persen, dan pajak penghasilan 2,5 persen.
Rupanya, setelah film asing diputar di Indonesia, importir membayar royalti kepada produsen film di luar negeri tadi. Tapi, ”Royalti ini tak pernah dilaporkan importir,” ujar Heri. Padahal, sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan 2006, royalti barang impor diperhitungkan sebagai komponen nilai pabean alias wajib dikenai bea atau pungutan. ”Kami meminta importir menambahkannya agar bea atas royalti film bisa dihitung. Tapi mereka menolak,” ujarnya.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Thomas Sugijata memperkirakan kurang bayar pungutan atas royalti film impor selama dua tahun terakhir sekitar Rp 30 miliar dari 1.759 judul film. Lalu mengapa baru sekarang diterapkan? Heri menjawab sepele, ”Sejak 1995, kepabeanan menggunakan metode perhitungan sendiri (self-assessment).” Maksudnya, importir menghitung sendiri komponen dan nilai bea yang akan dikenakan.
Bos Grup 21, Harris Lesmana, membantah perusahaannya melanggar aturan perpajakan, apalagi sengaja menutup-nutupi royalti agar tak dikenai bea masuk. Justru, kata dia, produsen film anggota Motion Picture Association menilai aturan Organisasi Perdagangan Dunia tak memperhitungkan royalti atas pendistribusian film. Negara lain yang juga mengimpor film dari Hollywood, katanya, tak pernah menerapkan bea atas royalti.
Menurut Harris, sebagai satu-satunya pemegang hak distribusi film Hollywood, Grup 21 tak bisa memaksa asosiasi tetap memasok film ke Indonesia. Apalagi jika Grup 21 dianggap sengaja berkomplot tak mengimpor film sebagai protes kepada pemerintah. ”Siapa kami? Masak, bisa mengatur mereka? Mereka perusahaan publik besar,” kata Harris. Sejak Kamis dua pekan lalu, kata Harris, beberapa studio di Amerika Serikat menunda pendistribusian film ke Indonesia hingga ada kepastian hukum. ”Bagi mereka, ini prinsip.”
AROMA persaingan bisnis tercium dari ribut-ribut ancaman penghentian peredaran film Hollywood ini. Terasa ada saling sikut di antara pemain bisnis perfilman. Bukan rahasia lagi, jaringan bioskop di Indonesia dikuasai Grup 21. Dulu grup ini ditukangi Sudwikatmono, adik sepupu mantan presiden Soeharto dan Benny Suherman (Grup Subentra). Belakangan Sudwikatmono ”menarik diri”. Sekarang Grup 21 dioperasikan Harris Lesmana dan Benny.
Grup 21 menguasai jalur distribusi dari enam produsen film atau studio utama anggota Motion Picture Association. Perusahaan importir Grup 21 di antaranya Camila yang dipimpin Harris, PT Satrya Perkasa Esthetika Film, dan PT Amero Mitra Film. Amero khusus merambah film Amerika non-MPA.
Tak hanya itu, Grup 21 juga mengendalikan jaringan bioskop lewat PT Nusantara Sejahtera Raya. Jangan heran bila importir film dari Grup 21 berani ”mengancam” menghentikan peredaran film Hollywood. ”Kami akui memang kami dominan, tapi kami tak memonopoli bisnis ini,” kata Anitio.
Dominasi Grup 21 di jagat pendistribusian film inilah yang diduga memancing sengkarut. Menguasai 130 bioskop dari total 178 bioskop di Indonesia, grup ini dituding menghambat kiprah film nasional dengan gelontoran film impor. Tahun lalu, Rudy Sanyoto mencatat 144 judul dari 207 film asing berasal dari Amerika Serikat. Sedangkan film nasional hanya 77 judul. ”Sebagian besar dari studio Motion Picture Association. Bagaimana film nasional bisa bersaing dapat tempat?”
Rudy Sanyoto memang berkepentingan terhadap kelangsungan film nasional. Rudy adalah bos PT Inter Pratama Studio, laboratorium pencetak film—kebanyak film lokal—di daerah Ragunan, Jakarta Selatan. Makin banyak film nasional diproduksi, makin gede peluang usaha kopi film kebanjiran order. ”Saya tak memungkiri itu, tapi apa iya hanya saya yang diuntungkan dari bangkitnya film nasional?” kata Rudy.
Kisruh pajak film impor memancing Raam Punjabi ikut bicara. ”Ini momen emas buat film lokal,” ujarnya pekan lalu. Bos studio film PT Tripar Multivision Plus ini telah mengantongi izin prinsip dari Badan Koordinasi Penanaman Modal untuk mendirikan laboratorium kopi film PT Multivision Kantana hasil patungan dengan Grup Kantana, studio film terbesar asal Thailand.
Raam lewat PT Parkit Film juga siap memasok film asal Amerika Serikat. Raam diam-diam menggandeng bos tabloid Cek & Ricek, Ilham Bintang. ”Raam yang cari film, saya yang memasarkan,” ujar Ilham. Kongsi ini sudah mengantongi sedikitnya 17 judul film dari studio independen di Amerika Serikat yang siap mengisi layar bioskop jika Hollywood benar-benar hengkang.
Agoeng Wijaya
Berebut Layar
Rencana Film Impor Grup 21 (dari Motion Picture Association):
- Harry Potter 7 (Part 2)
- Transformers 3
- Pirates of the Caribbean 4
- Kungfu Panda 2
- X-Men: First Class
- Mission Impossible 4
- Fast and Furious 5
- Thor
- Captain America
- Cars 2
- The Adventures of Tintin
- Green Lantern
- Sherlock Holmes 2
- Justin Bieber, dll
Film Amerika yang disiapkan Raam Punjabi dan Ilham Bintang:
- The Warrior’s Way
- Drive Angry
- The Courier
- The Lincoln Lawyer
- Elephant White
- Conan
- Trust
- The Son of No One
- The Fields
- Karate
- The Resident
- Singularity
- The Hessen Affair
- Killer Inside Me
- Dog Pound
- The Burma Conspiracy
- L’assault
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo