Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font face=arial size=1 color=#ff9900>Industri Penerbangan</font><br />Akrobat Menjelang Tenggat

Ketentuan minimal kuota pesawat efektif berlaku pada awal tahun depan. Demi kesehatan maskapai.

17 Oktober 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA bulan empat pesawat. Rumus itu menjadi pegangan maskapai Kal Star Aviation hari-hari ini. Maskapai yang menguasai rute di wilayah di Kalimantan itu harus menambah empat pesawat lagi agar masih mendapat izin terbang tahun depan. "Sekarang semuanya sedang dalam proses. Kami optimistis bisa memenuhi," kata Taufik Usman, Branch Manager Wilayah Jakarta Kal Star Aviation, pekan lalu.

Kal Star dan perusahaan penerbangan di Tanah Air belakangan memang sedang diburu waktu. Maklum saja, ketentuan minimal pemilikan dan penguasaan pesawat akan segera berlaku. Maskapai niaga berjadwal yang melayani angkutan penumpang reguler harus mengoperasikan minimal 10 pesawat: lima pesawat berstatus hak milik dan lima pesawat dikuasai—diperoleh dengan cara menyewa dari lessor. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, aturan itu akan berlaku efektif pada 12 Januari tahun depan. Maskapai yang tak memenuhi ketentuan akan terkena sanksi pembekuan izin alias tak bisa terbang lagi.

Kuota minimal jumlah pesawat itu tak ayal membuat maskapai tergopoh-gopoh mencari tambahan pesawat atau memproses sebagian pesawat yang dikuasainya menjadi milik sendiri. Sebagian besar maskapai memang rata-rata mengoperasikan pesawat sewa, sesuai dengan rencana bisnis strategis. "Lebih murah dan praktis. Begitu ada keluaran baru, tinggal sewa lagi," kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional (Indonesia National Air Carriers Association) Tengku Burhanuddin, pekan lalu.

Namun regulasi Kementerian Perhubungan kemudian mengubah rencana bisnis maskapai. Mereka buru-buru menambah atau mengambil skema menyewa. Kal Star, misalnya, harus memproses status lima dari enam pesawat yang dioperasikan sekarang menjadi milik sendiri, selain mengejar tambah­an pesawat. Saat ini Kal Star mengoperasikan empat pesawat jenis ATR serta Boeing seri 737-300 dan 500. Kal Star mulai mengoperasikan pesawat ATR-nya sendiri pada 2007, setelah melakukan kerja sama operasi dengan maskapai lain sejak 2000.

Dengan pesawat-pesawat ATR itu, Kal Star melayani hampir semua rute utama di Kalimantan. Pertengahan tahun ini Kal Star "masuk" Jakarta. Rute yang digarap Jakarta-Pontianak, kemudian berlanjut ekspansi rute regional ke Kuching, Malaysia. Ekspansi ke depan sudah dirancang seiring dengan permintaan yang terus meningkat. "Terlepas dari aturan kepemilikan pesawat, ke depannya  memang harus tambah pesawat," kata Taufik.

Bagi sebagian maskapai besar yang sudah beroperasi lebih lama, kuota pesawat ini tidak menjadi masalah. Sriwijaya Air, misalnya, sudah mencatatkan sedikitnya 13 pesawat milik sendiri dari total 37 unit yang dioperasikan. Pesawat milik sendiri menjadi aset strategis. "Bisa dijual kalau kemungkinan terburuk maskapai bangkrut," kata Presiden Direktur Sriwijaya Air Chandra Lie.

Namun tidak semua maskapai besar memilih strategi pesawat milik sendiri dalam bisnisnya. Indonesia AirAsia, contohnya, mengoperasikan pesawat sewa. Tapi, gara-gara akan ada ketentuan lima pesawat hak milik, maskapai milik pengusaha Malaysia itu sempat dibuat repot. Pengelola maskapai ini pun melobi Kementerian Perhubungan, regulator penerbangan di Indonesia, awal tahun lalu. AirAsia meminta agar aturan kepemilikan pesawat bisa mengakomodasi pesawat dalam status sewa beli (lease to purchase). Sebanyak 20 pesawat AirAsia yang dioperasikan, yakni 16 Airbus A320 dan empat Boeing 737-300, memang berstatus sewa dan sewa beli.

AirAsia menyiapkan rencana cadangan jika Kementerian Perhubungan tak memperlunak aturan. AirAsia akan membeli pesawat yang terjangkau. Pesawat yang disasar jenis Boeing 737-300. Presiden Direktur Indonesia Air­Asia Dharmadi menjelaskan, harga pesawat itu sekitar US$ 3 juta (sekitar Rp 27 miliar), jauh lebih murah dibanding Airbus yang US$ 50-80 juta.

Setelah dilobi habis-habisan, pemerintah akhirnya memberi kelonggaran penerapan aturan kuota pesawat tersebut. Pesawat dengan status sewa beli atau yang dibeli dengan mengangsur (purchase on installment) bisa dikategorikan sebagai pesawat milik sendiri atau milik maskapai bersangkutan. "Pada akhirnya pesawat itu kan jadi milik sendiri," kata Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Herry Bakti Singayuda Gumay. Adapun pesawat sewa murni hanya berstatus dikuasai. Pelaksanaan teknis masalah kepemilikan pesawat ini akan diatur dengan keputusan menteri, termasuk soal jangka waktu penyelesaian angsuran dan jaminan tak ada penarikan dari perusahaan penyewaan pesawat dalam perjalanan.

Melihat kelonggaran itu, Indonesia AirAsia optimistis dapat memenuhi ketentuan menurut tenggat. Sesuai dengan rencana strategis korporasi, Air­Asia Berhad—pemegang 49 persen saham Indonesia AirAsia—melalui AirAsi­a International Limited telah memesan 175 unit pesawat Airbus A320. Dari pesawat yang dipesan dengan skema sewa beli itu, Indonesia Air­Asia akan mendapat jatah 25 unit. Status kepemilikan pesawat Indonesia AirAsia pun sudah dilaporkan ke Kementerian Perhubungan sekaligus dengan program pelaporan pencatatan saham perdana di Bursa Efek Indonesia. 

Pelonggaran status pemilikan pesawat itu juga meringankan beban Lion Air, yang mengoperasikan 60-an pesawat dalam status sewa dan sewa beli. Selain oleh Lion Air, pesawat lama dan baru—Lion memesan 178 Boeing 737-900 Extended Range—akan dioperasikan oleh Wings Air, saudara Lion Air. "Pesawat diarahkan sesuai dengan orientasi layanan masing-masing," kata Direktur Umum Lion Air Edward Sirait, yang juga menjabat Direktur Keuangan Wings Air. Lion merencanakan ekspansi bermain di layanan penuh, selain penerbangan murah seperti yang selama ini dijalankan.

Di luar kelonggaran itu, sejauh ini tak ada perubahan lain mengenai syarat kepemilikan pesawat, baik tenggat waktu maupun ketentuannya. "Ini amanat undang-undang," kata juru bicara Kementerian Perhubungan Bambang Ervan. Sesuai dengan semangat saat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dirumuskan, kuota minimal pesawat digunakan sebagai filter agar bisnis penerbangan diisi pemain-pemain yang kuat dari sisi finansial. Salah satu pertimbangannya untuk menjamin keberlanjutan layanan penerbangan. "Jangan sampai terbang setahun terus tutup. Harus yang napasnya panjang," katanya.

Dengan sedikit pemain berkualitas, kata dia, pengawasan akan lebih optimal dan aspek keselamatan lebih terjamin. Semangat itu terkait dengan trauma publik setelah horor kecelakaan pesawat sepanjang 2007. Ketika itu hampir saban bulan terjadi insiden ataupun kecelakaan. Soal intervensi kepemilikan pesawat ini, sebelumnya tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 83 Tahun 1958 dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992. Mulai diatur melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 81 Tahun 2004, yang mensyaratkan minimal dua pesawat milik, dan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2008, yang mewajibkan dua pesawat milik dan menguasai tiga pesawat.

Menurut pengamat penerbangan Dudi Sudibyo, maskapai yang sehat sejak awal memang lebih berpeluang memberikan layanan berkualitas dan optimal menjaga aspek keselamatan. "Rumusnya safety follow the plane," katanya. Dari studi kasus yang dilakukannya, fenomena itu terlihat di Cina. Saat maskapai marak, kecelakaan begitu sering terjadi, dan berkurang signifikan setelah pemerintah Negeri Panda itu melakukan seleksi hanya pemain kuat yang boleh terbang.

Sesuai dengan sifat bisnis penerbangan, pelaku bisnis atau investor yang akan masuk harus benar-benar kuat secara finansial. Ini diperlukan agar tidak terjadi kemacetan dinamika bisnis. Pemain kuat diperlukan dalam bisnis penerbangan yang ketat. "Margin penerbangan itu setipis rambut," kata Dudi.

Harun Mahbub

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus