Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AYU akhirnya bisa mendapatkan formulir pemesanan ORI 008. Ia telah mengincar instrumen investasi itu sejak pemerintah mengumumkan rencana penerbitannya beberapa bulan lalu. Ayu memang investor setia obligasi retail negara. Wanita berusia 31 tahun itu telah menyimpan tiga seri produk serupa. Dua di antaranya ORI 001, telah jatuh tempo dua tahun lalu, dan ORI 003, yang baru cair pada 12 September lalu.
Dua pekan lalu, staf pemasaran Bank BRI datang ke rumah ibu satu anak itu, menjelaskan surat berharga terbaru milik pemerintah tersebut. Tanpa banyak tanya, karyawan perusahaan swasta di Jakarta Pusat ini mengambil dan mengisi formulir. "Sret, sret, langsung saya teken," kata nasabah "kelas bisnis" BRI itu kepada Tempo, Rabu pekan lalu. Kali ini ia memesan Rp 20 juta.
Ayu satu dari delapan ribu lebih nasabah pemesan ORI 008. Surat utang negara retail ini memang diburu investor. Pemerintah resmi membuka penawaran pada 7 Oktober lalu. Baru tiga hari kerja dijajakan, pemesanan telah menembus Rp 5 triliun. Selasa pekan lalu, Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan mencatat, pesanan hari itu saja mencapai Rp 1,72 triliun.
Bank dan sekuritas yang menjadi agen penjualan ORI benar-benar kebanjiran pemesanan. BNI, misalnya. Total permintaan yang masuk mencapai Rp 1,06 triliun per Selasa pekan lalu. Pada hari yang sama, Bank Mandiri mencatat total pemesanan Rp 938 miliar, dan BCA Rp 646 miliar. Direktur Perbankan Mikro dan Retail Mandiri Budi Gunadi Sadikin mengatakan rata-rata order Rp 235 miliar sehari.
"Laris banget," Vice President Wealth Management BNI Alwas menambahkan. Biasanya, kata Alwas, pemesan ORI via BNI berdatangan menjelang akhir masa penawaran. Tapi kali ini investor membanjir sejak hari pertama penawaran dibuka. Bahkan, jatah BNI menjual senilai Rp 1,09 triliun hampir ludes. Rencananya, bank ini akan mengajukan penambahan kuota.
Pemerintah memang menyuguhkan tawaran menggiurkan. Dengan modal minimum Rp 5 juta (untuk lima unit obligasi), seorang investor bisa mendapatkan bunga 7,3 persen per tahun. Bandingkan dengan surat utang bertenor sama dengan ORI 008-tiga tahun-rata-rata tingkat kupon bunganya 6,45 persen.
Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Rahmat Waluyanto mengatakan ORI bisa menjadi instrumen pengganti deposito. Sebab, nantinya ada kecenderungan bunga deposito turun, seiring dengan penurunan suku bunga acuan alias BI Rate. Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia, Selasa pekan lalu, menurunkan BI Rate 25 basis point menjadi 6,50 persen. Ini penurunan pertama sejak bank sentral menetapkan bunga acuan pada level 6,75 persen pada Februari tahun ini.
Koreksi terhadap suku bunga acuan itu akan berimbas pada penurunan bunga tabungan dan deposito perbankan. Bank sentral sudah memberikan sinyal penurunan suku bunga. "Artinya, ORI akan semakin menarik," kata Rahmat kepada Tempo. Kelebihan lain, Rahmat berpromosi, bunga ORI dibayarkan saban bulan. Berbeda dengan surat utang negara lain yang pencairan kupon dilakukan per enam bulan.
Tak mengherankan jika investor di berbagai daerah juga memburu ORI 008 kendati selisih bunganya dengan deposito tipis. Di BRI Cabang Solo, misalnya, suku bunga deposito maksimal 7,25 persen, beda 0,05 persen saja dengan ORI. Tapi biasanya bunga setinggi itu hanya diberlakukan bagi nasabah kakap. Jika depositonya tidak terlalu besar, bunganya kecil. Itu sebabnya, kini banyak nasabah BRI justru berburu ORI.
Baru dua hari ORI 008 dipajang di lapak, kata petugas pemasaran BRI Solo Slamet Riyadi, Wiwik Suswantini, pemesan telah mencapai separuh dari target Rp 700 juta. Pemburu ORI umumnya investor yang ingin bermain aman alias penghindar risiko. "Biasanya pensiunan yang punya uang banyak dari pesangon," kata Slamet.
ORI 008 diluncurkan selang sepekan setelah pemerintah mencabut status "waspada" terhadap pasar Surat Utang Negara, Selasa tiga pekan lalu. Kondisi berbahaya itu ditetapkan 14-30 September, sesuai dengan Protokol Manajemen Krisis (Crisis Management Protocol). Waktu itu volatilitas di pasar saham dan pasar obligasi negara tidak menentu.
Di pasar saham, arus modal keluar tergolong besar. Pada 19 September, misalnya, indeks harga saham gabungan tercatat 3.755,05. Sepekan kemudian tinggal 3.316,14 atau turun 438,91 poin. Di pasar obligasi, surat berharga negara juga ditinggalkan pemain asing. Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan mencatat, laju penurunan kepemilikan asing dari instrumen investasi ini terjadi sejak Agustus 2011. Namun waktu itu dana asing yang keluar cuma Rp 1 triliun selama sebulan. Pada September, arus dana keluar makin deras, mencapai Rp 28,43 triliun selama 17 hari saja, pada 9-26 September.
Kepanikan di pasar mendorong investor mengamankan asetnya dengan memegang dolar Amerika. Akibatnya, nilai tukar rupiah melorot. Mereka juga ramai-ramai melepas Surat Utang Negara. Harga obligasi negara anjlok. Efeknya, tingkat imbal hasil atawa yield melesat 45 basis point dalam tempo setengah hari. Imbal hasil surat utang negara tenor 10 tahun, misalnya, naik dari 6,7 persen menjadi 7,1 persen, bertambah 45 basis point.
Untuk meredam penurunan harga Surat Utang Negara, pemerintah buru-buru melakukan aksi pembelian kembali. Pada 14 September, pemerintah membeli kembali satu seri SUN FR0030 yang jatuh tempo pada 15 Mei 2016. Seratus ribu unit SUN itu ditebus pada harga Rp 100 miliar. Esoknya, pemerintah membeli kembali SUN senilai Rp 393 miliar. Hari berikutnya, ditarik lagi Rp 303 miliar.
Aksi borong-memborong kembali digelar pekan berikutnya. Pada 21 September, Kementerian Keuangan menarik delapan seri obligasi negara seharga Rp 2,082 triliun, dari 12 seri obligasi negara yang ditawarkan senilai Rp 12,389 triliun. Besoknya, ditarik dua seri SUN senilai Rp 363 miliar. Hari berikutnya, ditebus lagi Rp 11,786 miliar. Total jenderal, pemerintah telah menggelontorkan dana Rp 3,13 triliun untuk menstabilkan pasar Surat Utang Negara.
Bank Indonesia ikut turun tangan dengan memborong obligasi negara. Awalnya, bank sentral menyerap Rp 1,74 triliun. Pekan berikutnya disedot lagi Rp 1,2 triliun. Lantas Rp 230 miliar. Alhasil, kepemilikan obligasi negara milik Bank Indonesia melonjak. Statistik Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang menunjukkan obligasi negara yang dipegang Bank Indonesia per 16 September cuma Rp 3,77 triliun. Sepuluh hari berikutnya sudah menggelembung menjadi Rp 10,75 triliun. Itu berarti, BI telah menghabiskan Rp 6,98 triliun untuk menstabilkan rupiah, dalam tempo kurang dari dua pekan. Hasilnya, rupiah yang sempat melemah ke level Rp 9.100 per dolar menguat lagi menjadi Rp 8.750 per dolar.
Menurut Rahmat, pasar saham dan pasar obligasi membaik ketika status waspada dicabut. Investor asing kembali berdatangan. Pada 7 Oktober lalu, posisi beli asing (bersih) tercatat Rp 2,7 triliun dalam sehari. Imbal hasil obligasi negara bertenor sepuluh tahun-obligasi acuan-telah turun menjadi 6,47 persen, Rabu pekan lalu, dari sebelumnya 7,4 persen. "Ini yang menyebabkan kami beranggapan, kondisi sudah pulih," kata Rahmat, "makanya ORI 008 dikeluarkan."
Namun bukan itu saja yang membikin pemerintah percaya diri. ORI 008, kata dia, memang punya sederet keunggulan dibanding beberapa instrumen investasi lain yang setara (lihat tabel). Apalagi sasaran ORI pemodal retail, bukan investor institusi. Makanya, pembayaran kupon pun diberikan bulanan, bukan per semester, seperti obligasi negara umumnya.
Jumat pekan ini adalah tenggat bagi para pemesan ORI 008 untuk membereskan transaksi. Investor boleh membeli sesuai dengan nilai nominal di dalam formulir. Bisa juga kurang, atau lebih banyak. Nantinya bank akan memutuskan jatah seorang nasabah, disesuaikan dengan kuota yang dimiliki bank tersebut. Penyerahan barang ditetapkan pada 26 Oktober. Baru keesokan harinya, ORI 008 resmi melantai di Bursa Efek Indonesia. "Harga pasti akan premium di bursa," kata Rahmat. Karena itu, investor yang biasa menyimpan dana dalam bentuk tabungan kini saatnya mencoba bergeser ke obligasi aman.
Harun Mahbub
Struktur ORI 008 |
Masa penawaran:7-21 Oktober 2011 Penjatahan:24 Oktober 2011 Settlement:26 Oktober 2011 Pencatatan di bursa:27 Oktober 2011 Jatuh tempo:15 Oktober 2014 Nilai nominal per unit:Rp 1.000.000 Minimum pemesanan:Rp 5.000.000 (dan kelipatan Rp 5.000.000) Maksimum pemesanan:Rp 3.000.000.000 Tingkat kupon:7,3 persen per tahun Pembayaran kupon pertama:Rp 10.008 per unit (dibayarkan pada 15 Desember 2011) Pembayaran kupon berikutnya:Rp 6.083 per unit (dibayarkan tiap tanggal 15 per bulan) |
ORI dari Masa ke Masa | |||
Seri | Bunga (Persen) | Terbit | Tenor |
001 | 12,05 | 9-8-2006 | 3 |
002 | 9,28 | 28-3-2007 | 3 |
003 | 9,40 | 12-9-2007 | 4 |
004 | 9,50 | 12-3-2008 | 4 |
005 | 11,45 | 3-9-2008 | 5 |
006 | 11,45 | 12-8-2009 | 3 |
007 | 7,95 | 4-8-2010 | 3 |
Perbedaan ORI dengan Instrumen Investasi Lain | ||||
  | Saham | Deposito | Reksadana Terproteksi | ORI |
1. Jatuh tempo | - | ada | ada | ada |
2. Kupon/bunga | - | volatil | - | ada (tetap) |
3. Deviden | ada | - | - | - |
4. Potensi capital gain | ada | - | ada | ada |
5. Jaminan Negara | - | - | - | - |
6. Perdagangan di pasar sekunder | ada | - | ada | ada |
7. Standby buyer di pasar sekunder | - | - | - | ada |
8. Pajak atas bunga | - | 20% | 5% | 15% |