Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rapat pleno Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia di Hotel Novotel, Lampung, Selasa dua pekan lalu, berlangsung panas. Seabrek persoalan hendak diusung oleh Bonnie Muhammad Thamrin, Direktur Telekomunikasi Kementerian Komunikasi dan Informatika. Ada soal satelit, frekuensi, juga ada masalah perizinan telekomunikasi di daerah terpencil.
Tapi Bonnie memilih menyodorkan masalah pelanggaran izin PT Link Net, anak perusahaan penyedia layanan Internet pita lebar dan televisi berbayar PT First Media Tbk, sebagai bahan pembahasan pertama. Menurut anggota Komite Regulasi Telekomunikasi, Nonot Harsono, masalah itu sebenarnya sudah berulang kali dibahas di Jakarta. "Tapi perlu ada satu bukti lagi untuk memutuskan persoalan ini," katanya kepada Tempo pekan lalu.
Bukti yang dimaksudkan adalah ada atau tidaknya klausul dalam notulen rapat umum pemegang saham Link Net, Juni lalu, yang menyebutkan perubahan struktur kepemilikan perusahaan akan berlaku setelah ada persetujuan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Klausul itu dijadikan dalih Link Net buat membantah dugaan pelanggaran yang ditemukan Direktorat Telekomunikasi.
Ternyata pemeriksaan Direktorat Telekomunikasi tak menemukan klausul yang dicari. Artinya, keputusan rapat umum pemegang saham langsung berlaku tanpa harus lebih dulu mendapat restu Kementerian Hukum. Walhasil, tak perlu waktu lama untuk membahas persoalan ini, rapat memutuskan Link Net melanggar peraturan penyelenggaraan jaringan telekomunikasi karena mengubah struktur kepemilikan perusahaan ketika masih mengantongi izin prinsip. "Surat untuk mencabut izin Link Net sedang dalam proses," ujar Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Syukri Batubara.
KASUS ini berawal dari surat Presiden Direktur Link Net Roberto Feliciano kepada Syukri pada 30 Juni lalu. Isinya, unit usaha milik Grup Lippo itu melaporkan perubahan struktur modal dan pemegang saham. Sebelumnya, First Media menguasai 99,68 persen saham Link Net, sedangkan sisanya, 0,32 persen, dimiliki PT Margayu Vatri Chantiqa. Kini Margayu digantikan Asia Link Dewa Pte Ltd. Anak perusahaan grup investasi global CVC Capital Partners itu menguasai 33,94 persen saham Link Net. Saham First Media terdilusi menjadi tinggal 66,06 persen.
Laporan tersebut menarik perhatian tim Direktorat Telekomunikasi, bawahan Syukri. Sesuai dengan ketentuan, pemegang izin penyelenggaraan tak diperbolehkan mengubah susunan kepemilikan, kecuali telah memenuhi minimal 50 persen dari total kewajiban membangun jaringan.
Berbekal dugaan itu, Direktorat Telekomunikasi melakukan penyelidikan. Hasilnya lebih mengejutkan. Keputusan perubahan kepemilikan saham ternyata diambil dalam rapat umum pemegang saham Link Net pada 16 Juni 2011, sebelas hari sebelum izin penyelenggaraan diterbitkan. Artinya, struktur pemodal berubah ketika Link Net masih mengantongi izin prinsip yang diterbitkan Mei lalu, hal yang juga dilarang oleh aturan penyelenggaraan jaringan telekomunikasi. Dugaan pelanggaran perizinan oleh perusahaan milik kelompok usaha Lippo ini semakin kuat.
Tak terima, Link Net melayangkan surat penjelasan kepada Bonnie. Link Net berkeyakinan perubahan susunan kepemilikan saham akan direalisasi setelah akta perubahan perseroan disetujui Kementerian Hukum. "Rapat umum pemegang saham hanya menyetujui, tapi belum efektif berlaku," kata Komisaris Utama PT Link Net Peter Frans Gontha kepada Tempo pekan lalu. Akta perubahan itu diterbitkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 27 Juni 2011, tepat saat Kementerian Komunikasi menerbitkan izin penyelenggaraan kepada Link Net.
Sumber Tempo di Kementerian Komunikasi mengatakan, sejak awal, Direktorat Telekomunikasi sudah memantau aktivitas First Media dan Link Net. Sebab, proses perubahan kepemilikan Link Net terendus sejak diberitakan banyak media massa Maret lalu. Ketika itu, First Media meneken perjanjian investasi dan pembagian kepemilikan saham dengan Asia Link pada 21 Maret. Nilainya mencapai Rp 2,35 triliun, di antaranya Rp 1,62 triliun untuk kepemilikan saham Link Net oleh Asia Link.
Mei lalu, First Media juga menggelar rapat umum pemegang saham luar biasa di Hotel Aryaduta yang menyetujui rencana kerja sama investasi tersebut. First Media juga akan mengalihkan berbagai asetnya, termasuk jaringan distribusi dan berbagai kontrak perizinan miliknya, kepada Link Net. "Ini menguatkan dugaan sejak awal mereka mengurus izin untuk kemudian perusahaannya dijual," ujar sumber tadi. Adanya klausul pengalihan aset First Media kepada Link Net kini juga sedang diselidiki Kementerian. "Bukan tidak mungkin First Media ikut terseret persoalan ini."
Peter, yang juga Executive Chairman PT First Media Tbk, membantah perusahaannya menjadi calo perizinan. Kerja sama investasi semata-mata untuk meningkatkan kemampuan Link Net, yang berencana mengembangkan lini bisnisnya. "Kami justru ingin memperluas jaringan dan meningkatkan layanan," katanya. Soal aset yang akan dialihkan, dia memastikan tak terkait dengan aset-aset yang diwajibkan dalam izin penyelenggaraan First Media.
JAUH dari perhatian publik, pemeriksaan terhadap perizinan Link Net terus bergulir di Gedung Sapta Pesona, kantor Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika. Yakin telah terjadi pelanggaran, Direktorat Telekomunikasi menyusun surat rekomendasi agar Kementerian Komunikasi mencabut izin prinsip perseroan. Jika izin prinsip dibatalkan, begitu pula seharusnya izin penyelenggaraan. "Rekomendasi sudah dikirim ke bagian hukum pertengahan September lalu," kata sumber Tempo di Kementerian Komunikasi.
Hampir bersamaan dengan proses rekomendasi tersebut, Bonnie membalas penjelasan Link Net. Inti surat jawaban Bonnie menjelaskan proses perubahan kepemilikan tetap tak dibenarkan. Sekalipun perubahan kepemilikan dianggap berlaku setelah proses di Kementerian Hukum atau sesudah surat izin penyelenggaraan terbit, Link Net seharusnya melaporkan rencananya sebelum merealisasi transaksi. Direktorat juga mengevaluasi syarat minimal 50 persen kewajiban Link Net membangun jaringan, yang dipersyaratkan dalam izin penyelenggaraan.
Singkat kata, perubahan kepemilikan Link Net melanggar ketentuan. "Kami akan memproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan," sebut surat Direktorat Telekomunikasi tertanggal 24 Agustus.
Belakangan surat tersebut menyeret persoalan baru bagi Bonnie. Sumber Tempo mengatakan, beberapa waktu lalu, Syukri menegur anak buahnya tersebut karena bertindak tanpa koordinasi dengan menyatakan Link Net bersalah. Sebelumnya, Syukri baru "disemprot" oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring karena alasan yang sama.
Eh... rupanya, sebelum memanggil Syukri, Menteri Tifatul baru ditelepon Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto. Bekas Panglima Tentara Nasional Indonesia itu menanyakan persoalan yang membelit Link Net. Rupanya, surat penjelasan Link Net kepada Bonnie awal Agustus lalu juga ditembuskan kepada Djoko. "Entah apa maksudnya, mungkin karena ini terkait dengan investasi yang sangat besar," ujar sumber tadi.
Djoko Suyanto tak membantah telah menghubungi Tifatul. Tapi dia membantah mengintervensi kasus Link Net. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, kata dia, tak punya kewenangan ikut menangani persoalan korporasi. "Makanya saya tidak mau ngurusi. Saya suruh ngurus ke Menkominfo, yang berwenang," kata Djoko lewat pesan pendek pekan lalu. "Tidak boleh mengambil alih kewenangan kementerian teknis."
Peter Gontha mengaku mengirimkan tembusan surat penjelasan kepada Djoko. Tujuannya mencari kepastian hukum. Sebab, menurut dia, Kementerian Komunikasi berada di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. "Kami sudah berupaya agar investor mau masuk, masak izin mau dicabut," ujarnya. Dia menduga ada pihak yang sengaja berupaya menjegal perusahaannya.
Menteri Tifatul belum bisa dimintai konfirmasi. Pertanyaan Tempo lewat pesan pendek dan melalui stafnya belum direspons. Bonnie juga tak mau berkomentar. Tapi, kepada Tempo, Syukri membantah ditegur bosnya karena menindak Link Net. "Itu cuma gara-gara surat-menyuratnya bukan kepada saya atau Pak Menteri, malah ke bawahan saya," katanya.
Toh, sekarang Direktorat Telekomunikasi ketar-ketir pengalaman saat proses izin prinsip seluler untuk PT Bakrie Telecom beberapa waktu lalu terulang. Saat itu, mereka merekomendasikan penolakan terhadap permohonan anak perusahaan Grup Bakrie itu, tapi keputusan Tifatul malah sebaliknya.
Agoeng Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo