Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font face=arial size=1 color=#FF9900>Industri Kreatif</font><br />Manis Legit Bisnis Konten

Perputaran uang bisnis penyedia konten mencapai triliunan rupiah. Setahun bisa balik modal.

17 Oktober 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUANG utama rumah di Jalan Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan, itu disulap jadi lobi. Tak ada hiasan, poster, atau kursi tamu. Juga tidak ciri yang menunjukkan ruang tunggu sebuah kantor. Hanya ada sepasang meja di pojok ruangan tepat di samping tempat petugas penerima tamu. Tak ada yang mengira kantor sederhana itu telah menghasilkan uang miliaran rupiah.

Rezeki berlimpah itu datang dari bisnis layanan konten yang digeluti PT Colibri Networks, si empunya kantor. Perusahaan yang berdiri sejak 2007 itu berkibar ketika lagu Tak Gendong milik Mbah Surip (almarhum) meledak. Colibri kecipratan untung lantaran menjadi penyedia konten untuk layanan nada sambung atau ring back tone lagu ini.

Nada sambung Tak Gendong yang dinyanyikan dengan kocak dan terkesan main-main itu diunduh jutaan kali oleh pengguna seluler sejak Agustus dua tahun lalu. Barangkali hingga kini. "Padahal sebetulnya lagu itu sudah terkenal setahun sebelumnya," kata Andri W. Kusuma, konsultan hukum Colibri di Jakarta, pekan lalu.

Hingga 4 Agustus 2009hari kematian Mbah Suriplagu Tak Gendong berada di posisi teratas dari 10 nada dering top milik operator telepon seluler swasta. Nada tunggu milik Mbah Surip jauh lebih digemari ketimbang You Are Not Alone milik superstar Michael Jackson.

l l l

Nada sambung merupakan salah satu produk yang disediakan perusahaan penyedia layanan konten semacam Colibri. Produk lain berupa permainan, wallpaper, atau layanan keagamaan. Dalam tiga minggu terakhir, bisnis konten menjadi buah bibir ketika publik menuding mereka dan operator bekerja sama menyedot pulsa pelanggan seluler.

Lepas dari konotasi negatif itu, bisnis layanan konten ternyata memang menggiurkan. Seorang pelaku bisnis informasi dan teknologi membeberkan, dengan modal berkisar Rp 50 juta, pengusaha dapat mendirikan perusahaan konten berskala kecil. "Tingkat pengembalian investasinya tergolong cepat," ujarnya kepada Tempo pekan lalu.

Perhitungannya begini. Dari modal Rp 50 juta, sekitar Rp 5 juta habis buat mengurus izin badan hukum perusahaan, syarat utama sebelum melamar ke operator telekomunikasi. Perusahaan perlu memiliki server sebagai jantung usaha. Harga server baru sekitar Rp 20 juta, dengan kapasitas ratusan gigabita.

Server itu cukup buat mengirimkan jutaan konten ke nomor milik operator-operator seluler. Kocek lebih irit bila pengusaha menyewa server di pusat data operator, dengan biaya Rp 3-5 juta per bulan. Plus menggaji programmer yang bertugas mengirimkan konten ke server operator seluler, sekitar Rp 10 juta per bulan.

Dengan modal minimalis itu, ternyata pendapatan dari bisnis konten itu bisa aduhai. Sekretaris Jenderal Indonesia Mobile and Online Content Association (Imoca) Ferrij Lumoring menyebutkan, untuk bisnis konten yang "lurus-lurus saja" tanpa mengumbar kalimat jebakan dan iming-iming palsu ke konsumenpendapatan kotor perusahaan bisa mencapai Rp 100 juta per bulan atau minimal Rp 1,2 miliar setahun. "Setahun sudah balik modal, bahkan untung gede," kata seorang sumber menambahkan.

Saat ini layanan konten terbesar tetap bersumber dari produk nada sambung artis kesayangan. Produk andalan lain adalah konten yang bersifat ramalan dan gosip. "Kalau konten tradisional seperti pesan teks dan wallpaper, pendapatan tidak bakal sampai ratusan juta rupiah," ujar Ferrij.

Sumber Tempo menambahkan, pendapatan akan berbeda jika penyedia layanan nekat mengirim konten dengan modus menjebak lewat pesan pendek atawa SMS. Apalagi bila ditambah iming-iming seperti naik haji gratis, bonus kendaraan bermotor, dan fulus puluhan juta rupiah, pendapatan "pengusaha hitam" bisa berlipat-lipat.

Misalnya, perusahaan konten nakal mengirim konten ke sejuta nomor seminggu dengan tarif Rp 2.000 per SMS. Katakan, dari sejuta nomor tersebut, separuhnya melakukan registrasi, pendapatan mencapai Rp 1 miliar. Hasilnya dibagi dua dengan operator yang digandeng perusahaan. Dalam seminggu perusahaan mengantongi Rp 500 juta. Bisa dibayangkan pendapatan mereka setahun.

Ciri khas layanan itu biasanya perkawinan tiga, empat, atau lima angka sakti. Umpamanya 7272. Modus ini banyak dikeluhkan pelanggan, seperti yang ditulis majalah Tempo edisi 26 September-2 Oktober, gara-gara kerap mampir ke nomor telepon seluler tanpa izin pemiliknya.

Menurut Ferrij, perputaran duit di bisnis layanan kontentermasuk layanan tipu-tipudi Tanah Air mencapai Rp 3 triliun. Sebelumnya, anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia, Heru Sutadi, mengatakan, dengan tarif Rp 2.000 per SMS, uang yang beredar di bisnis ini menembus puluhan triliun rupiah.

Tak mengherankan, kata sumber Tempo, ada mitra bisnisnya dalam setahun sudah mengoleksi sedan mewah Ferrari. "Bukan lagi membeli, tapi sudah mengumpulkan Ferrari," ujar sumber yang sudah belasan tahun bergelut di ranah teknologi dan informasi ini.

Saking sedapnya, pengusaha berduyun-duyun mendirikan perusahaan konten. Imoca mencatat, anggotanya hanya 56 perusahaan. Tapi Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia menyebut ada 200 perusahaan jasa konten terdaftar di pemerintah. Sementara operator terbesar, PT Telekomunikasi Selular, mengaku bekerja sama dengan 400 perusahaan.

Wajar jika bisnis konten menjadi idola operator. Setidaknya itu tecermin dari laporan keuangan operator. PT XL Axiata, misalnya, terus menikmati pendapatan dari layanan konten sejak 2008. Layanan tradisional lain, semacam panggilan suara dan SMS, semakin tertinggal.

Tahun lalu, bisnis layanan konten atau value added service milik XL mengeduk Rp 960 miliar dari 23 juta pelanggan, atau tumbuh 40 persen ketimbang periode serupa tahun sebelumnya. Selama Januari hingga Agustus tahun ini, pertumbuhan pendapatan dari panggilan suara turun 7 persen dari total 35 juta pelanggan, walau mencetak pendapatan paling jumbo sekitar Rp 3,87 triliun.

Adapun Telkomsel dan Indosat meraup pendapatan dari layanan konten rata-rata 7 persen dari total pendapatan tahunan perusahaan. Tahun lalu, Telkomsel membukukan pendapatan Rp 45,5 triliun, dan Indosat mencatatkan hasil sedikitnya Rp 19,2 triliun. Artinya, jika sumbangan dari bisnis konten 7 persen, pendapatan Telkomsel dan Indosat masing-masing bisa mencapai Rp 3,2 triliun dan Rp 1,3 triliun.

Juru bicara XL, Nadira Febriati, menyebutkan, ring back tone tetap menjadi jualan utama dalam layanan konten. Tapi ia menampik perusahaannya ikut menggerus pulsa tanpa izin pelanggan untuk menggenjot pendapatan. "Kami tidak mau mempertaruhkan kepercayaan konsumen," ujarnya.

Selama ini XL sangat selektif memilih mitra penyedia layanan. XL membuka pintu bagi semua perusahaan penyedia konten asalkan memenuhi persyaratan. Termasuk kesepakatan sistem bagi hasil dan sanggup memenuhi target lalu lintas pengiriman konten (traffic).

Tak hanya pemain lokal dan operator yang untung besar dari bisnis konten ini. Pebisnis asing dari Prancis, India, Malaysia, dan Inggris juga sudah ikut bermain. Padahal mereka tidak banyak berkontribusi bagi industri kreatif dalam negeri. "Seperti teknologi nada sambung yang dikuasai pengusaha Korea Selatan," ujar sumber Tempo.

Banyak juga perusahaan konten mengambil jalan pintas, seperti membajak para manajer konten di perusahaan operator. Mereka diiming-imingi gaji di atas Rp 50 juta per bulan. Mereka diincar karena memiliki akses data ke nomor seluler dan lobi ke direksi perusahaan. Mereka juga dipasang di perusahaan operator sebagai kaki tangan pengusaha konten.

Untuk mengurangi penyimpangan, kata juru bicara Kementerian Komunikasi dan Informatika Gatot Dewa Broto, pemerintah akan mewajibkan setiap operator telekomunikasi menjalin kerja sama dengan perusahaan konten yang terdaftar di Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia. "Untuk mempermudah pengawasan."

Bobby Chandra, Agung Sedayu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus