Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUHU ruangan lima kali lapangan bulu tangkis itu sangat panas. Selain karena tertimpa terik matahari, ada empat mesin pemanggang roti di beberapa sudut yang menghasilkan temperatur hingga 180 derajat Celsius. Toh, puluhan karyawan terlihat biasa. Diselingi obrolan, mereka tetap konsentrasi mengerjakan tugas masing-masing. "Cuma, produksi roti sedang tidak maksimal," kata Ajat, staf keuangan pabrik roti Lucky Bakery.
Produsen roti di Kampung Bojong Poncol, Kunciran, Tangerang, itu bebe rapa minggu ini memang tengah mengurangi olahannya. Biasanya, perusahaan itu dalam sehari memproduksi sampai 80 kali adonan yang menghabiskan sekitar 3,2 ton terigu. Dari jumlah terigu sebanyak itu dihasilkan 96 ribu roti siap jual seharga Rp 1.000. Kini, produksi Lucky Bakery sudah berkurang seperempatnya.
Menurut Nenti Herawati, pemilik Lucky Bakery, selain karena siklus tahunan menjelang puasa dan Lebaran, kenaikan harga terigu juga dipicu oleh membubungnya harga gandum internasional. Terigu, yang komposisinya hampir 80 persen dari semua bahan, harga nya memang terus menanjak. September tahun lalu, dengan Rp 98 ribu, Nenti bisa membeli 25 kilogram terigu berprotein tinggi. Pekan kemarin, harganya sudah Rp 117 ribu. "Ini benar-benar parah. Saya mencoba bertahan sampai Lebaran," kata Nenti.
Setidaknya, selama satu bulan ibu dua anak ini harus nombok hingga Rp 73 juta hanya untuk mencukupi stok terigu. Kenaikan komponen yang satu ini membuat biaya produksi membengkak 20 persen. Belum lagi kenaikan bahan lain yang tak kalah gilanya, seperti mentega, dari Rp 80 ribu menjadi Rp 118 ribu per 15 kilogram. Juga, telur dan susu yang ikut-ikutan makin mahal.
Bersama para staf, Nenti sudah merancang langkah pasca-Lebaran. Beberapa opsi telah disiapkan. Dua pekan lalu, satu tim bereksperimen mencampurkan terigu kualitas tinggi dengan sedang. Hasilnya lumayan. Produk tetap terjaga. Pasar masih bisa menerimanya. Namun, ini belum selesai. Jika harga terus menanjak, ukurannya akan dipangkas atau harga jual dinaikkan. "Kalau harga terigu tetap naik, untuk efisiensi tenaga, mau tidak mau ada yang harus dikeluarkan," katanya. Itu berarti jumlah 300 karyawan saat ini bakal menyusut.
Lucky Bakery hanya sepotong kisah pengusaha produk terigu yang terpukul akibat kenaikan harga terigu. Menurut Ketua Koperasi Pengusaha Roti Jakarta Ikhsan Abdullah, semua kelas peng usaha terkena dampaknya. Mulai dari penjual martabak dan mi basah hingga produsen roti sekelas PT Nippon Indosari Corpindo. Produsen merek Sari Roti dan Boti yang mengkonsumsi terigu hingga 800 ton setiap bulan ini sudah ancang-ancang menaikkan harga. "Kami akan menaikkan harga 10 persen," kata Gene ral Manager PT Nippon Yusuf Hadi.
Agar bisa bertahan, Ikhsan yang telah bergelut dengan terigu sejak 19 tahun lalu itu menyarankan penggunaan produk alternatif. Dia mencontohkan terigu impor dengan kualitas yang cukup baik. Kenaikan harganya tak se tinggi produsen dalam negeri. Namun, apa mau dikata, tetap saja banyak yang tumbang. Sejak awal tahun, tak kurang dari enam perusahaan roti kelas mene ngah di Jakarta gulung tikar. "Mereka tidak kuat menghadapi kenaikan ini," kata Ikhsan.
Kenaikan tahun ini memang luar biasa. Menurut Ikhsan, kejadian tahun ini lebih parah dibandingkan dengan pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia pada 1998. Ketika itu, harga tertinggi terigu per sak bertengger di angka Rp 110 ribu. Nenti menambahkan, biasa nya kenaikan harga bulanan berkisar Rp 1.000 per sak, tapi kini sudah Rp 5.000. Bahkan pernah dalam satu bulan naik dua kali.
Presiden Direktur PT Bogasari Franciscus Welirang menjelaskan, akibat perubahan iklim global, sejumlah negara produsen gandum seperti Australia, Kanada, Amerika, dan beberapa negara di Eropa pada tahun lalu mengalami kemarau, sehingga ladang-ladangnya kekeringan. Panen pun jeblok. Ukraina, misalnya. Penghasil gandum terbesar dunia keenam dengan kapasitas 14 juta ton ini memiliki luas lahan gandum sekitar 10 juta hektare. Dari luas itu, pada tahun lalu, 650 ribu hektare di antaranya rusak.
Hal yang sama juga terjadi di ba nyak negara produsen gandum. Selain itu, kampanye bahan bakar ramah ling kungan ikut berperan. Sekarang, biji-bijian itu tidak hanya dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan pa kan ternak. Sebagian, rupanya disedot untuk keperluan biofuel. Di Amerika lain lagi. Di sana, banyak petani yang lebih tertarik memperluas lahan jagung daripada gandum karena dianggap lebih menguntungkan. Maka, makin susutlah produksi gandum.
Alhasil, tahun ini cadangan gandum internasional hanya 114,8 juta ton. Ini merupakan level terendah dalam 26 tahun terakhir. Berkurangnya su plai ini akhirnya menaikkan harga gandum. Awal tahun lalu, harga gandum di pa sar internasional masih US$ 170 per metrik ton. Enam bulan kemudian naik menjadi US$ 203. Kecenderungan harga yang biasanya menurun pada awal-awal tahun ternyata tidak terjadi. Pada Januari lalu malah menjadi US$ 217 dan US$ 250 pada April. Akhir bulan lalu, harga gandum sudah menembus angka US$ 299.
Ini belum memperhitungkan ongkos kirim yang mencapai US$ 50 per ton. Karena harga gandum naik, kata Welirang, "Kami juga menaikkan harga terigu 2-4 persen per bulan." Sampai akhir tahun, bos Bogasari ini memperkirakan kenaikan harga terigu akan mencapai 30 persen.
Industri pengguna terigu menyesalkan hal ini. Ikhsan mengatakan, sebagai produsen terigu terbesar di Indonesia, Bogasari seharusnya bisa menekan kenaikan harga. Menurut dia, pengadaan gandum tertuang dalam kontrak panjang sehingga tidak semua pembelian menggunakan harga baru. Selain itu, kenaikan harga gandum ini juga bisa diatasi dengan meningkatkan efisiensi.
Menanggapi permintaan ini, Direktur Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia Ratna Sari Loppies mengaku tidak bisa berbuat banyak, karena kenaikan harga ini lebih disebabkan faktor eksternal. Upaya efisiensi juga sudah maksimal dilakukan. Namun, jika harus menekan margin setipis mungkin ia menolak. "Kalau untungnya hanya delapan persen, ngapain buka usaha? Lebih baik uangnya didepositokan," kata Ratna.
Para pengguna terigu memang diha dapkan pada pasar terigu yang ha nya berisi empat pemain dengan tingkat persaingan yang rendah. Tahun ini, kebutuhan terigu diperkirakan mencapai 3,9 juta ton, sekitar 75 persennya dipasok Bogasari. Dua puluh persen lagi di sumbang oleh tiga produsen, dan sisanya yang lima persen ditutup dengan terigu impor. Pada kenyataannya, kata Ikhsan, terigu impor lebih murah.
Hanya saja, karena pasarnya seperti sekarang, terigu impor susah bersaing. Akibatnya, para pengusaha rotilah yang kini terpaksa menjerit. Tak lama lagi, konsumen yang giliran berteriak.
Muchamad Nafi
Pergerakan Harga Terigu
per sak (25 Kg)
2006 | Rendah | Sedang | Tinggi |
---|---|---|---|
September | 73.590 | 88.440 | 98.560 |
Oktober | 76.615 | 89.540 | 98.660 |
November | 82.500 | 91.740 | 101.200 |
Desember | 84.700 | 92.950 | 102.300 |
2007 | |||
Januari | 87.945 | 94.600 | 112.530 |
Februari | 89.265 | 95.700 | 112.530 |
Maret | 91.245 | 96.800 | 104.600 |
April | 91.245 | 96.800 | 104.600 |
Mei | 93.225 | 98.450 | 105.600 |
Juni | 95.205 | 100.100 | 107.250 |
bgcolor=#D5D5FFJuli | 97.900 | 103.400 | 110.550 |
Agustus | 102.850 | 107.250 | 114.950 |
September* | 103.400 | 110.350 | 116.850 |
*Minggu pertama
Dalam rupiah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo