Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GUBERNUR Nusa Tenggara Barat, Lalu Serinata, geram. Pria yang sehari-hari kalem itu, suara nya meninggi, alisnya sampai naik. Ia tegas menolak pinjam an dari PT Newmont Nusa Tenggara untuk membeli saham perusahaan tambang emas itu.
Menurut Serinata, skema utang yang ditawarkan Newmont tidak menguntungkan. Ia menghitung, pinjaman baru akan lunas setelah 109 tahun. ”Tidak ada apa-apanya divestasi itu. Hanya untuk nama saja. Pada saat memiliki, per usahaan itu sudah pergi entah ke mana,” kata Serinata dalam konferensi pers di kantor gubernuran, Selasa pekan lalu.
Rupanya, kekesalan Serinata pada Newmont sudah berlangsung lama. Dulu, katanya, sebelum proyek Batu Hijau di Sumbawa Barat beroperasi, mere ka menggembar-gemborkan bahwa penambangan emas ini merupakan yang terbesar di Asia Tenggara. Orang-orang pun bermimpi, semua bisa dibikin dari emas: gigi, piring, bahkan jembatan.
Pada kenyataannya, kata dia, yang diangkat adalah konsentrat yang kandungan emasnya hanya nol koma sekian persen. ”Kita terima saja. Saya tidak tahu.” Saat ini, dari cadangan emas 11,9 juta ons (hampir 1.200 ton), setiap tahun ditambang sekitar 20 ton. Sedangkan tembaga yang ditambang rata-rata 230 juta pound dari cadangan hampir 11 miliar pound. ”Nilainya per tahun sekitar Rp 4 triliun,” kata Serinata. Dengan kapasitas produksi sekarang, tambang akan habis pada 2025.
Nah, agar daerahnya juga bisa ikut menikmati kemilau emas itu, melalui surat yang dikirim pada 3 September 2007, Serinata meminta PT Newmont segera memproses divestasi se suai kontrak karya dan ketentuan yang berlaku. Kontrak karya yang diteken pada 1986 mewajibkan Newmont menjual 51 per sen saham kepada Indonesia, pemerintah atau swasta nasional.
Sebanyak 20 persennya telah diambil PT Pukuafu milik Jusuf Merukh, sehingga kewajiban divestasi Newmont tinggal 31 persen. Saat ini, mayoritas saham dipegang Newmont Partnership, perusahaan patungan Newmont Indonesia Limited (56,25 persen) dan Nusa Tenggara Mining Corporation yang di kendalikan Sumitomo Jepang (43,75 per sen). Merekalah yang harus membagi 31 persen ke pihak Indonesia.
Proses divestasi saham dilakukan secara bertahap mulai 2006. Pada tahun pertama akan dilepas 3 persen, kemudian 7 persen per tahun hingga 2010. Harga 7 persen saham tahun ini adalah US$ 282 juta. Ini didasarkan atas nilai 100 persen saham Newmont yang mencapai US$ 4,1 miliar (Rp 38,642 triliun). Perhitungan ini sudah disetujui Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.
Harga patokan itu meningkat lebih dari 10 persen dibandingkan tahun 2006 yang ketika itu nilai 100 persen saham Newmont US$ 3,6 miliar (Rp 33,93 trili un), sehingga harga 3 persennya hanya US$ 109 juta.
Mekanismenya, Newmont akan me na warkan kepada pemerintah pusat dulu. Namun Menteri Keuangan Sri Mulya ni Indrawati mengatakan bahwa kondisi keuangan negara tidak memungkin kan untuk itu. Maka, penawaran dialihkan ke Provinsi NTB, Kabupaten Sumbawa , dan Kabupaten Sumbawa Barat. Bila mereka menolak, baru dibuka penawaran kepada swasta nasional.
Pada divestasi tahap pertama, 3 per sen saham dinyatakan belum terjual. Alasannya, respons pemerintah daerah telat. Menurut kontrak, respons harus disampaikan paling lambat 90 hari sejak penawaran pada Maret 2006. Itu arti nya, kata Presiden Direktur PT Newmont Pasific Nusantara, Martiono Hadianto, proses divestasi telah masuk tahap berikutnya, yakni business to business.
Namun, Martiono menambahkan, pihaknya masih membuka kesempatan bagi pemerintah daerah. Malah, untuk mengatasi persoalan dana, pemegang saham asing (Newmont Indonesia Limited dan Nusa Tenggara Mining Corporation) siap memberikan dana talangan.
Makanya, mereka melayangkan proposal pada 10 Agustus 2007 yang ber isi tawaran pinjaman dengan tingkat bu nga tertentu. Pinjaman bersifat non-recourse, dalam arti pembayaran hanya boleh bersumber dari dividen dan segala hak yang berasal dari saham PT Newmont. Artinya, bila di tengah jalan. Pemda memiliki sumber pembia yaan lain, pelunasan utang tidak bisa dilakukan.
Konsekuensinya, tidak ada jadwal pem bayaran yang pasti karena sa ngat tergantung dari kemampuan perseroan membayar dividen. Sebagai ganti, Newmont Indonesia Limited dan Nusa Tenggara Mining Corporation akan memberikan US$ 333.333 per tahun untuk setiap persen saham yang dimiliki, hingga utang lunas.
Pinjaman akan dijamin dengan peng ikatan gadai saham, pengalihan dividen kepada penjual untuk mencicil utang, kuasa untuk memberi suara, dan kuasa menjual saham.
Proposal yang diteken Robert Gallagher dari Newmont Indonesia Limited dan Yuuji Morita dari Nusa Tenggara Mining Corporation itu telah dibahas secara rinci bersama Departemen Energi. Namun, Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral dan Batu Bara Departemen Energi, Mangantar S. Marpaung, mengatakan pembicaraan itu sifatnya hanya laporan. ”Kami tidak merespons, tidak bilang tidak dan tidak bilang ya.”
Menurut Marpaung, Newmont akan membagi-bagikan saham dan mencarikan sumber dana, bila pemerintah setuju, divestasi diakumulasikan menjadi 10 persen. Nantinya, Provinsi NTB dan Kabupaten Sumbawa akan kecipratan 2 dan 1 persen saham dari penawaran 2007. Sumbawa Barat diberi jatah 3 persen, terdiri dari 1,5 persen dari penawaran 2006 dan 1,5 persen dari 2007.
Sisanya, 4 persen, akan diberikan kepada mitra strategis swasta, yakni yang telah memiliki hubungan usaha dengan Newmont. Sumber Tempo membisikkan, mitra strategis yang dimaksud kemungkinan besar adalah Trakindo. Perusahaan yang berafiliasi dengan Caterpillar, produsen alat berat asal Amrik itu, menjadi kontraktor proyek Batu Hijau sejak 1980. Soal ini, Martiono tak bersedia memberikan komentar.
Persoalannya, dengan skema itu, Sumbawa Barat kini mesti menyiapkan US$ 1,155 miliar, jauh lebih besar ketimbang kebutuhan tahun lalu, US$ 109 juta. Bupati Sumbawa Barat, Zulkifli Muhadly, mencak-mencak. Ia memprotes pemecah an saham itu. ”Seharusnya kami menerima utuh tiga persen dari jatah 2006.”
Zulkifli merujuk pada kesepakatannya bersama Provinsi NTB dan Kabupaten Sumbawa untuk bersama-sama mendapatkan saham Newmont. Apalagi, Departemen Energi mendukung pembelian 3 persen saham oleh Sumbawa Barat, dan 7 persennya bagi NTB dan Kabupaten Sumbawa.
Toh, Zulkifli belum memutuskan menerima atau menolak tawaran pembiaya an itu. Ia menunggu hasil pertemuan konsultannya di Jakarta, M. Asoka Bra tanata, dengan Newmont. Kepada Tempo, Asoka, memberikan penjelasan singkat karena terikat confidentiality agreement. Intinya, kata dia, ”Pembeli tidak harus terikat menjadi debitor dari pihak yang sama, karena ada prinsip kedaulatan untuk memilih.”
Sumbawa Barat memang kepincut berat dengan perusahaan tambang emas itu. Betapa tidak, dengan dividen rata-rata US$ 200 juta setahun, Bupati Zulkifli Mahdli memperkirakan, sedikitnya US$ 6 juta bisa dikantongi daerahnya. Ini tentu menggiurkan bagi kabupaten yang pendapatan asli daerahnya hanya Rp 17,5 miliar dan APBD Rp 279 miliar pada 2006.
Sebagai daerah lokasi tambang, pemerintah daerah ini yang pertama mengajukan penawaran. Soal sumber pendanaan, Zulkifli belum bersedia buka suara. Tapi, Asoka pernah mengatakan bahwa dia sedang melakukan penjajakan dengan beberapa lembaga keuangan. Pekan lalu, Sumbawa Barat telah mengajukan permohonan uji tuntas.
Provinsi NTB dan Kabupaten Sumbawa memilih bermitra dengan PT Bumi Resources Tbk. Lobi-lobi dilakukan sejak akhir 2006, berujung pada pene kenan nota kesepahaman dan nota kesepakatan yang melibatkan perusahaan daerah Kabupaten Sumbawa PT Gerbang NTB Emas, dan Bumi untuk membentuk PT Bumi Sumbawa Emas. Gubernur Serinata membenarkan adanya kerja sama itu, kendati tidak membeberkan skema pembiayaannya.
Komisaris Bumi, Suryo Sulisto, menga takan, Bumi sangat serius untuk menggarap Newmont. Direktur Keuangan Eddie Soebari sudah menyiapkan duitnya. ”Kalau pendanaan, kami sudah siap,” kata dia pekan lalu. Kelompok usaha Bakrie itu memang lagi berkantong tebal. Akhir Juni lalu, mereka melego PT Kaltim Prima Coal dan PT Arutmin Indonesia—anak usahanya di bidang pertambangan batu bara—senilai US$ 1,1 miliar kepada Tata Power Company Li mited asal India.
Retno Sulistyowati, Supriyanto Khafid (Sumbawa)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo