Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Warren Buffett membuat pernyataan yang tidak biasa tatkala memimpin pertemuan tahunan pemegang saham Berkshire Hathaway di Qwest Center, Omaha, Nebraska, Amerika Serikat, awal bulan ini. ”Saya gagal menutup tahun (2008) dengan kemenangan,” kata pria 78 tahun pemilik kekayaan US$ 37 miliar ini.
Pernyataan orang terkaya kedua di dunia itu sangat mengejutkan. Di tangan Buffett, Berkshire hampir tak pernah rugi. Perusahaan investasi yang didirikan pada 1965 ini baru sekali tekor, yakni pada triwulan terakhir 2001. Itu karena perusahaan asuransi yang sahamnya mereka pegang harus mengeluarkan banyak uang setelah bom 11 September.
Makanya, bagi pasar modal Amerika, Buffett adalah ”dewa” dan digelari ”The Miracle from Omaha”. Malah tahun lalu, ketika banyak perusahaan gulung tikar akibat krisis subprime mortgage, Berkshire masih untung US$ 4,9 miliar, meski asetnya turun sekitar 10 persen. Jadi, apa maksud kata ”gagal”?
Belakangan baru jelas. Ternyata, pada triwulan pertama tahun ini Berkshire rugi US$ 1,53 miliar! Ini muncul dalam laporan keuangan perusahaan yang dirilis pada Jumat dua pekan lalu. Menurut Buffett, dia telah keliru berinvestasi di ConocoPhillips. Dia membeli saham perusahaan minyak itu pada musim gugur tahun lalu, persis menjelang harga minyak jatuh bebas.
Meskipun demikian, kerugian paling besar diakibatkan oleh kalah ”taruhan” di pasar derivatif. Seperti kebanyakan perusahaan asuransi dan keuangan lain, General Reassurance dan Geico yang dikendalikan oleh Berkshire memiliki banyak kontrak derivatif. Akibat krisis, hingga April lalu perusahaan sudah mengeluarkan lebih dari US$ 2 miliar untuk membayar kontrak derivatif yang jatuh tempo.
Tapi siapa pula yang bisa selamat dari krisis Wall Street? Di Amerika, hingga akhir bulan lalu sudah sekitar 5,7 juta orang kehilangan pekerjaan, setengah juta di antaranya di sektor keuangan. Ini tidak pernah terbayangkan, terutama ketika indeks Wall Street mencapai angka tertinggi sepanjang masa, 1576,09 pada Oktober 2007.
Sebenarnya dalam dua bulan terakhir investor mulai merasakan pasar yang menunjukkan gejala sangat positif. Mereka beranggapan bahwa krisis sebenarnya tidak separah yang diduga. Soalnya, bank ternyata tidak membutuhkan suntikan dana sebesar yang diperkirakan.
Pada saat yang sama, laju pengurangan lapangan kerja juga menurun tak setinggi hitungan para ahli ekonomi. Terakhir, bulan lalu, hanya terjadi 539 ribu pemutusan hubungan kerja. Ini terkecil sejak Oktober, meski angka pengangguran meningkat menjadi 8,9 persen dari 8,5 persen pada Maret.
Menurut data Dealogic—perusahaan yang menyediakan jasa analisis perbankan—pada awal Mei perusahaan-perusahaan Amerika berhasil menjual saham dan convertible bonds senilai us$ 28,9 miliar. Jumlah itu berkali-kali lipat dibanding total penjualan selama Maret yang hanya us$ 6,5 miliar.
Inilah yang membuat banyak analis dan pelaku pasar berbesar hati: krisis akan segera berlalu. Apalagi di bursa, hingga dua pekan lalu, indeks Dow Jones Industrial naik 29 persen setelah menyentuh titik terendah dalam 12 tahun terakhir, 6547,05, pada 9 Maret. Indeks Standard&Poor 500 bahkan naik hingga 34 persen.
Namun optimisme ini mulai runtuh pekan lalu. Penjualan sektor retail pada April yang turun 0,4 persen membuat indeks kembali anjlok. ”Ini memicu debat apakah kita benar sedang bullish atau malah masuk jebakan bear-market,” kata James Paulsen, Manager Investasi Wells Capital Management di San Francisco.
Michael Farr, Kepala Bagian Portofolio Farr, Miller & Washington, di Washington, termasuk yang percaya bahwa investor tengah masuk ke jebakan bear-market. Menurut dia, investor bergairah karena laporan keuangan perusahaan-perusahaan yang positif. ”Mereka mengira kita sudah berada di ujung krisis,” katanya. Padahal, menurut dia, resesi terlalu ”dalam” untuk bisa dilewati dengan cepat.
Beberapa pengamat mengingatkan pengalaman Wall Street setelah krisis pada Oktober 1929. Ketika itu, dalam dua bulan berikut indeks saham jatuh sekitar 48 persen. Enam bulan berikutnya indeks kembali merangkak naik 48 persen. Investor pun bergairah, mengira krisis sudah berakhir. Nyatanya, sejak itu selama dua tahun setelahnya, indeks terus meluncur turun hingga 86 persen.
Tapi banyak pelaku pasar lain, termasuk Richard Sparks, analis senior pada Schaeffer’s Investment Research, Cincinnati, Ohio, menolak teori itu. Dia percaya, intervensi pemerintah yang agresif sangat menolong pasar. Ini berbeda dengan awal-awal Depresi Besar pada 1930, ketika pemerintah seolah tak tahu harus melakukan apa.
Nah, di tengah kebimbangan investor ini, pemerintah AS mengumumkan niat untuk menata transaksi derivatif yang dianggap sebagai biang krisis keuangan global. ”Untuk pertama kalinya kami akan melakukan standardisasi,” kata Menteri Keuangan Timothy Geithner ketika mengumumkan rencana ini Rabu pekan lalu. Banyak pengamat menduga ini merupakan tindak lanjut dari kesepakatan G20 agar Amerika lebih mengetatkan pasar derivatifnya.
Maklum, di Amerika setiap harinya ada triliunan dolar produk derivatif diperdagangkan. Tapi, sebagian besar luput dari pengawasan yang berwenang karena dilakukan secara tertutup. Hingga tahun lalu, 90 persen pasar derivatif dikontrol oleh empat bank besar: JPMorgan Chase & Co., Bank of America Corp., Citigroup Inc., dan Goldman Sachs Group Inc. Keempatnya kini menggelepar dan menerima suntikan dana pemerintah.
Aturan baru yang diajukan oleh departemen keuangan Amerika ini mewajibkan perdagangan derivatif di tempat-tempat resmi. Perusahaan yang menjual produk derivatif juga nantinya harus memiliki modal minimal dengan jumlah tertentu.
Sebagian perusahaan keuangan di Amerika—seperti yang dilaporkan Wall Street Journal—menyambut baik rencana ini. ”Soalnya, itu bisa meningkatkan partisipasi dan margin keuntungan bagi broker dan dealer kecil,” kata Michael Gooch, Chief Executive GFI Group, salah satu broker besar di pasar derivatif Amerika. Tapi ada juga pelaku pasar yang khawatir penataan transaksi derivatif justru mempersulit mereka ”menata” risiko bisnisnya.
Dalam suratnya kepada para investor Berkshire pada Maret lalu, Warren Buffett juga menegaskan soal bahaya transaksi derivatif. ”Secara dramatis dia telah meningkatkan risiko sistem finansial kita,” tulisnya.
Namun, bagi Buffett, yang punya pengalaman tak enak dengan kontrak derivatif, problem ini tak bisa diatasi hanya dengan transparansi—membawa transaksi ke tempat yang terang. Celakanya, belum ada mekanisme yang bisa mengukur risiko portofolio derivatif yang begitu kompleks. ”Auditor tak bisa mengaudit kontrak-kontrak ini, dan regulator tak bisa mengatur mereka,” tulisnya.
Barangkali itu pula sebabnya, dalam berbagai kesempatan Buffett kini selalu mengecam derivatif, yang dia gambarkan sebagai bom waktu yang terus berdetak. ”Dia seperti senjata finansial pemusnah massal,” katanya.
Philipus Parera (New York Times, Bloomberg, Businessweek, Washington Post)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo