Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Iklan ikhtisar laporan keuangan Bank Indonesia serentak muncul di berbagai surat kabar nasional, Senin pekan lalu. Warnanya biru muda. Ukurannya jumbo, menyita separuh halaman koran. Sepintas pariwara itu biasa saja, mirip laporan keuangan yang biasa dipublikasikan bank-bank komersial atau perusahaan terbuka lainnya. Tapi, ada yang menarik dalam neraca bank sentral itu. Dalam iklan itu, Bank Indonesia mengumumkan berhasil membukukan surplus Rp 17,2 triliun pada tahun buku 2008.
Sisa kelebihan dana bank sentral itu sungguh fantastis. Nilainya melonjak tajam hampir 18 kali lipat dibanding tahun sebelumnya yang tekor Rp 1,4 triliun. Besarnya surplus lantaran penerimaan pengelolaan moneter, penyumbang terbesar penerimaan lembaga ini, naik 57 persen menjadi Rp 44,7 triliun pada 2008. Surplus besar juga karena biaya bank sentral untuk mengendalikan moneter menurun signifikan dari Rp 25 triliun pada akhir 2007 menjadi Rp 21,3 triliun pada tahun lalu.
Ironisnya, surplus Bank Indonesia tersebut terjadi di tengah pelemahan tajam rupiah atas dolar Amerika Serikat. Sepanjang 2008, rupiah babak-belur dihajar dolar. Rupiah terdepresiasi hampir 18 persen dari Rp 9.500-an per dolar pada akhir 2007 menjadi Rp 11.100 per dolar pada akhir 2008. Bahkan rupiah sempat menembus Rp 12.190 per dolar pada November 2008.
Suara sumbang pun bermunculan. Keuangan Bank Indonesia seolah-olah justru diuntungkan oleh pelemahan rupiah atas dolar Amerika. ”Ada kesan seperti itu. Tapi, jika ditelisik, Bank Indonesia surplus lantaran rupiah melemah, itu tak sengaja saja,” kata ekonom Bank BNI, Tony Prasetiantono.
Pelemahan rupiah, menurut Tony, memang cukup tajam karena tekanan krisis global begitu kuat. Dolar juga menguat terhadap semua mata uang. Alhasil, Bank Indonesia tak banyak melakukan intervensi, tetapi hanya menjaga agar nilai tukar rupiah tidak terlalu bergejolak. ”Intervensi tak kan banyak menolong rupiah. Cadangan devisa justru habis jika BI melawan secara frontal,” kata Tony. Ini pulalah yang membuat biaya moneter menurun.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Mulia juga menampik bahwa BI diuntungkan oleh pelemahan rupiah. Penguatan dolar memang ikut mendorong penerimaan bank sentral. Tapi pengaruhnya tak signifikan dibanding pendapatan dari pengelolaan cadangan devisa. Pada akhir 2008 jumlahnya US$ 56 miliar, bahkan pernah mencapai US$ 60 miliar. ”Pada sebagian periode 2008, suku bunga sangat tinggi dan memberikan pendapatan besar,” katanya.
Seorang pejabat Bank Indonesia lainnya membisikkan, pengelolaan likuiditas uang beredar melalui ekspansi (juga kontraksi) mata uang rupiah dan valuta asing juga memberikan pendapatan yang lumayan bagi Bank Indonesia. Ketika membutuhkan likuiditas rupiah atau valuta asing, katanya, bank-bank menukarkan (repo) surat berharga negara (SBN) atau juga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) ke bank sentral. Bank Indonesia mengenakan biaya kepada bank-bank. Biaya itu pun menjadi penerimaan bank sentral.
Pemberian fasilitas pembiayaan jangka pendek (FTJP) untuk mengatasi krisis likuiditas tahun lalu juga memberikan pendapatan kepada Bank Indonesia. Tapi, menurut pejabat itu, pendapatan dari fasilitas pemberian pinjaman kepada bank ini relatif kecil dibanding pengelolaan devisa dan operasi moneter.
Adapun mengenai penurunan biaya pengelolaan moneter, menurut Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom, lebih disebabkan oleh menurunnya jumlah SBI dan tingkat suku bunganya yang relatif tidak terlalu tinggi. ”SBI lebih murah, dan (volume) juga lebih sedikit,” katanya, pekan lalu.
Data Bank Indonesia menunjukkan, sepanjang 2008, tingkat bunga SBI 7,93-11,24 persen. Jumlah SBI menurun dari Rp 245 triliun pada akhir Desember 2007 menjadi Rp 177 triliun pada akhir 2008. Ekonom Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, suku bunga SBI sebenarnya cenderung naik pada kisaran 10-11 persen pada akhir 2008. Kenaikan itu mestinya mendorong pelaku pasar domestik yang menyimpan duit di instrumen moneter ini meningkat.
Namun Bank Indonesia agaknya kian pandai mengelola neraca. Outstanding SBI pada akhir 2008 justru menurun. Boleh jadi, itu karena BI membatasi penyerapan agar tak terbebani bunga tinggi. ”Ini salah satu kelemahan sistem bank sentral kita,” kata Yudhi. Ia lalu menyarankan BI agar memperbaiki sistemnya, sehingga neracanya pada masa mendatang tidak terancam.
Padjar Iswara, Amandra Megarani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo