Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font face=verdana size=1>Industri Batu Bara</font><br />Jadi Kura-kura Bumi

Harga saham perusahaan batu bara merangkak naik. Kinerja triwulan pertama membaik. Booming tidak akan lama.

18 Mei 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAMBAH dua ratus,” seorang pria paruh baya sedikit berteriak dari balik ruang kaca. ”Oke, dua ratus lot,” jawab perempuan, di luar ruangan. Sementara dering telepon bersahut-sahutan, memecah konsentrasi para pialang yang tengah serius menatap pergerakan saham di layar komputer masing-masing. Ruang perdagangan Erdikha Elit Sekuritas, di Jalan Kebon Sirih, Jakarta, meriah sekali, Rabu pekan lalu.

Sejumlah investor beberapa kali berteriak memesan, begitu melihat peluang menarik atas saham yang diincar. Pembeli lain, yang tidak berada di ruang perdagangan, bisa ”memasang” via telepon. Sanusi, seorang investor, tak bisa berlama-lama ketika Tempo mengajaknya ngobrol. ”Takut kehilangan momen,” kata pria 40-an tahun itu.

Pasar modal memang sedang bergairah. Sejak awal Februari lalu, indeks harga saham gabungan merangkak naik. Indeks menembus level tertinggi tahun ini dalam penutupan perdagangan pada Jumat dua pekan lalu, di posisi 1.862,532. Pada Rabu pekan lalu, sebenarnya indeks sempat menyentuh 1.865,460, tapi akhirnya ditutup di level 1.851,33.

Saham perusahaan tambang, terutama batu bara, mendominasi kenaikan (lihat grafik). Kinerja mereka memang cukup oke pada kuartal pertama tahun ini. PT Adaro Energy Tbk., misalnya, membukukan laba bersih Rp 1,145 triliun, padahal pada periode yang sama 2008 masih rugi Rp 12 miliar. PT Indo Tambangraya Megah Tbk. mengumumkan pendapatan bersih US$ 102 juta, naik dari tahun lalu US$ 19 juta.

Menurut Ekonom BNI Sekuritas Noriko Gaman, permintaan batu bara berpotensi meningkat tahun ini. Konsumsi domestik terdongkrak, seiring dengan mulai beroperasinya sebagian proyek pembangkit listrik 10 ribu megawatt. Pasar luar negeri juga bakal naik. Kebutuhan Cina dan India bakal bertambah lantaran pertumbuhan ekonominya masih positif.

Namun, secara keseluruhan, saham grup Bakrie bisa dikatakan sebagai pendongkrak utama pasar karena paling aktif diperdagangkan. Bayangkan, dari total transaksi Rp 9,09 triliun, Rabu pekan lalu, separuh lebih diserap kelompok tersebut. Salah satunya adalah PT Bumi Resources Tbk., pemilik mayoritas PT Kaltim Prima Coal—produsen batu bara terbesar di Indonesia yang beroperasi di Kalimantan Timur.

Saham perusahaan berkode BUMI itu sempat mencapai Rp 2.200 per lembar, Rabu pekan lalu. Saham Bumi memang fenomenal. Pada Juni 2008 harga saham ini terangkat ke level tertinggi Rp 8.550, tapi jeblok ke posisi terendah Rp 710 pada November. Saat itu terjadi aksi jual besar-besaran. Antrean penjualan mencapai 600 juta lembar pada 11 November—rekor sepanjang sejarah Bursa Efek Indonesia.

Itulah waktu yang tepat bagi Ardi, pemain saham, untuk membeli. Ia memborong BUMI pada harga Rp 900. Beruntung, kata dia, modalnya tak dihabiskan saat itu juga. Sehingga, ketika BUMI terjungkal ke posisi Rp 500 pada Januari 2009, warga Bintaro, Tangerang, Banten, ini masih bisa kulakan. Tak seperti pemain lain yang ramai-ramai melepas saham agar tak merugi lebih lanjut, Adi justru mantap membeli. ”Suatu saat pasti naik,” kata pria 49 tahun itu.

Sehari-hari, Ardi tak lepas dari layar komputer yang menayangkan secara online pergerakan saham di lantai bursa. Ketika berbincang dengan Tempo pun, bola matanya sekali-sekali melirik ke monitor. Kini Ardi, yang telah mengantongi seribu lot lebih saham BUMI, tinggal menghitung laba. Bila mengacu pada harga Jumat lalu, Rp 1.790 per lembar, bapak dua anak ini sudah punya modal lebih dari cukup untuk memborong saham lain. ”Saya kebetulan dapat hoki.”

Komar, pemain lain, sebenarnya ngiler juga menyaksikan lonjakan harga BUMI. Apa daya, kantongnya terlalu cekak untuk membeli saham yang kerap dipakai sebagai acuan ini. Duitnya amblas ketika bursa jatuh tahun lalu. Tapi, ia tak mau kehilangan momen booming saham grup Bakrie. Komar pun belanja saham kelompok Bakrie lain, Energi Mega Persada dan Bakrieland. Hari itu, harga saham keduanya ditutup Rp 485 (ENRG) dan Rp 255 (ELTY) per lembar. Tapi, sehari berikutnya saham-saham Bakrie pula yang memotori penurunan indeks bursa.

Sayangnya, kue pesta di lantai bursa tak terkirim ke masyarakat di sekitar tambang. Desa Tamiyang, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Provinsi Kalimantan Selatan, misalnya. Sekitar 500 meter dari desa yang sepi ini, terbentang jalan khusus angkutan batu bara. Di situ berseliweran trailer raksasa bermuatan 100 ton batu bara dari lokasi tambang Tutupan di Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan, ke pelabuhan Klanis di Kalimantan Tengah.

Tamiyang dihuni sekitar 300 kepala keluarga, 80 persennya petani karet. Saban pagi, warga menyadap karet di hutan. Hasilnya, 20-30 liter getah cair. Pasangan suami-istri Razuli dan Siti Aisyah, misalnya, memperoleh 15-20 liter per hektare. Adaro sempat memberikan bibit karet unggul. Siti kebagian 100 batang plus 3 karung pupuk. Tapi tak ada penyuluhan bertani karet. Sebagian tanaman Siti pun mati. ”Bujur ulun, betul ditanam, tidak dijual,” kata ibu dua anak ini.

Adaro juga mengucurkan dana pembangunan rumah asap karet ukuran 4 meter persegi setinggi 10 meter, senilai Rp 18 juta. Rumah asap ini dipakai warga Tamiyang. Mestinya, kata Kepala Seksi Corporate Social Responsibility Adaro, Abdurahman, Tamiyang juga menerima bantuan modal kerja Rp 15 juta. Yang ini tak jelas alirannya. Hanya program pengembangan sapi bali yang tergolong oke. Dari 100 ekor ternak yang dibudidayakan sejak 2006, sekarang menjadi 170 ekor.

Tapi warga Tamiyang tak perlu terlalu ngiler. Sebab, pelaku pasar Roland Has menaksir booming saham akan segera berakhir. Banyak saham sudah over-valued. Biasanya, harga saham pada Januari sampai April atau Mei memang naik. Akhir Mei-Juni mulai turun, dan berlanjut ke Juli-Agustus karena investor asing berlibur. Pada September-Oktober kerap ada koreksi besar oleh isu dari luar negeri. Baru November-Desember bergairah kembali.

Muhammad Reza, Kepala Riset Erdikha Sekuritas, sepakat bahwa euforia lantai bursa tak akan berlangsung lama. Para fund manager atawa hedge fund biasanya cuma bermain tiga bulanan. Artinya, bila mereka masuk pada Februari atau Maret, akhir Mei akan kabur. Ia memberikan petunjuk cara mengendus jejak hedge fund. Pelemahan rupiah yang sempat menembus Rp 11.000-an adalah sinyal masuknya mereka.

”Skenario” ini dibuat agar pemain bisa mengkonversi dolarnya dengan banyak rupiah. Lantas mereka belanja saham ketika harga jeblok. Kemudian, ”disetel” skenario kenaikan. Begitu harga saham terkerek, perlahan mereka melakukan profit taking. Nah, pas posisi rupiah paling kuat, mereka menjual. Hasilnya langsung dipakai untuk memborong dolar. ”Jadi double gain.”

Menurut Roland, bagusnya kinerja pada kuartal I tahun ini akibat mereka masih menikmati harga jual tinggi, hasil dari kontrak tahun lalu. ”Setelah kuartal pertama, harga batu bara pasti turun,” kata dia. Apalagi harga minyak yang cenderung naik akan meningkatkan ongkos produksi.

Malahan, Direktur Indonesian Coal Society, Singgih Widagdo, memperkirakan harga masih akan landai sampai akhir triwulan kedua, yakni di kisaran US$ 63-70 per ton. Harga modal yang mahal akan memperlambat pertumbuhan. Banyak proyek akan ditunda, termasuk pembangkit listrik, sehingga konsumsi batu bara tidak akan naik terlalu tinggi.

Pasar Asia diperkirakan hanya tumbuh 3 persen atau 12-15 juta ton, terutama dari Cina dan India. Kapasitas ekspor batu bara Australia juga hanya naik tidak sampai 7 persen menjadi 124 juta ton tahun 2009. Karena itu, Roland yakin, kenaikan harga saham batu bara lebih karena spekulasi ketimbang faktor fundamental. ”Kenaikannya terlalu cepat dan terlalu tinggi,” katanya.

Ardi sepakat, harga saham BUMI memang melompat terlalu cepat. Toh, ia tetap akan menyimpan portofolionya ini. Sebab, kata dia, permintaan batu bara akan terus ada. Ia memprediksi harga BUMI akan mencapai Rp 3.000-an. Bila harga sudah mendekati level itu, barulah Ardi akan melepas. ”Sekarang saya jadi kura-kura saja: memasukkan kepala, diam saja,” kata dia berseloroh.

Retno Sulistyowati, V. Kusnandar (PDAT), Khaidir Rahman (Banjarmasin)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus