Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nasrul pulang dari Logam Mulia selalu dengan tangan hampa. Sudah empat kali manajer sebuah perusahaan ritssluiting ini datang ke unit usaha PT Aneka Tambang yang terletak di kawasan Pulogadung, Jakarta, itu. Tapi empat kali pula ia gagal memburu emas. ”Saya selalu kehabisan,” kata Nasrul pekan lalu.
Sebagai orang yang lebih dulu berinvestasi emas, Nasrul kebetulan dimintai tolong koleganya untuk membeli 350 gram emas batangan—dalam bentuk pecahan 10 gram. Tapi, setiap kali pria 37 tahun itu ke sana, yang tersisa tinggal emas 1 atau 2 gram. Perburuan selama dua pekan terakhir ini pun tak membuahkan hasil.
Kesulitan mendapatkan emas itu terjadi karena kian banyaknya investor, baik perorangan maupun korporasi, yang memburu emas. ”Permintaan terus meningkat,” kata Martono, anggota staf pemasaran Logam Mulia. Padahal pasokan emas yang diterima Logam Mulia dari PT Aneka Tambang segitu-gitu saja, sekitar 200 kilogram per bulan.
Tingginya minat itu bisa dilihat dari antrean yang kian panjang di Logam Mulia. ”Padahal bulan lalu belum seramai sekarang,” kata Nasrul. Alhasil, kata Martono, mereka yang tidak kebagian terpaksa membeli dengan sistem inden. Bila dihitung sejak proses pemurnian hingga pencetakan, emas yang dipesan bakal diterima investor 10-14 hari kemudian—bisa lebih lama, tergantung jumlah pesanan.
Logam kuning itu sedang diburu karena nilainya sedang membuat orang silau. Awal tahun lalu, harga emas US$ 636,7 per troy ounce, tapi awal tahun ini sudah mencapai US$ 835,6 per troy ounce atau Rp 252 ribu per gram (1 troy ounce setara dengan 31,1 gram).
Senin pekan lalu, harga emas di London Metal Exchange bahkan sempat menembus US$ 914,3 per troy ounce—tertinggi sepanjang sejarah dunia—sebelum ditutup di kisaran US$ 875 per troy ounce akhir pekan lalu. Melonjaknya harga emas itu seiring dengan mencelatnya harga minyak dunia ke US$ 90-an per barel.
Di tengah terkulainya nilai dolar Amerika Serikat akibat tergerus krisis kredit perumahan dan ancaman resesi di Negeri Abang Sam yang belum surut, kemilau nilai logam mulia itu membuat investor menyala-nyala minatnya dan memalingkan investasinya ke emas. ”Investor melihat emas merupakan sarana lindung nilai yang paling aman karena tahan terhadap inflasi,” kata Mohamad Ihsan Palaloi, konsultan investasi emas.
Kenaikan harga emas ini, kata konsultan perencana keuangan, Roy Sembel, memang menarik perhatian banyak orang. Salah satu yang kecipratan dari melejitnya harga emas itu tak lain para investor yang mendekap saham-saham perusahaan tambang emas. ”Naiknya luar biasa,” kata Roy.
Goldman Sachs, lembaga keuangan asal Amerika, bahkan sampai menaikkan proyeksi harga emas. Seperti dikutip CNN Money, Selasa pekan lalu, analis Goldman Sachs, Oscar Cabrera, memperkirakan rata-rata harga emas tahun ini bertengger di kisaran US$ 910—naik dari proyeksi semula US$ 800—per troy ounce. Nilai emas ditaksir akan turun menjadi US$ 870 tahun berikutnya, tapi bangkit lagi menjadi US$ 940 pada 2010.
Itu sebabnya Ihsan menyarankan investor selalu mengalokasikan investasinya dalam bentuk emas, meski sedikit-sedikit. ”Minimal 10 persen dari total aset dicurahkan untuk investasi emas,” ujar penulis buku Kemilau Investasi Emas itu.
Namun Roy menaksir laju kenaikan harga komoditas seperti emas tidak akan sekencang tahun lalu. ”Emas hanyalah tempat parkir sementara yang aman buat investor,” ujarnya. Karena itu, Roy menyarankan investor juga membidik portofolio investasi lain, terutama reksadana saham. Dengan perkiraan indeks harga saham gabungan di bursa bisa menembus 3.250 pada tahun ini, reksadana jenis ini diperkirakan bisa mendulang untung 15-20 persen.
Rizka Baely, Presiden Direktur PT Momentum Asset Management, sependapat dengan Roy. Menurut dia, emas hanyalah salah satu instrumen untuk menghadapi tekanan inflasi. Toh, setelah menyentuh US$ 750 per troy ounce pada 1980, emas butuh lebih dari 25 tahun untuk kembali ke titik itu.
Itu sebabnya, untuk investasi, Rizka menyebut reksadana saham tetap paling layak dikoleksi tahun ini, disusul surat utang negara. ”Risiko dan bagi hasilnya masih bagus,” katanya. Sebaliknya, Rizka menilai, sudah bukan masanya lagi buat investor membeli emas saat ini karena harganya sudah terlalu tinggi.
Yandhrie Arvian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo